Pengunduran Diri Jenderal Soedirman
Mengapa Panglima Besar Jenderal Soedirman berniat mengundurkan diri?
SEBAGAI pernyataan penutup dalam debat calon presiden 22 Juni 2014, Joko Widodo membacakan kutipan Panglima Besar Jenderal Soedirman: “Satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih tetap utuh dan tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia). Maka sebenarnya menjadi kewajiban bagi kita sekalian yang senantiasa tetap mempertahankan tegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk tetap memelihara agar supaya hak milik nasional republik itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimana pun juga.”
Menurut AH Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, kutipan tersebut merupakan bagian dari surat Soedirman tertanggal 1 Agustus 1949 kepada Presiden Sukarno yang ditulisnya ketika sakit. Ketika itu, terjadi krisis politik-militer di Yogyakarta. Sesuai Persetujuan Roem-Royen, Sukarno mengeluarkan perintah gencatan senjata pada 3 Agustus 1949.
“Sudirman termasuk salah seorang perwira yang menentang perjanjian Roem-Royen, karena curiga akan terulangnya kembali kelicikan Belanda,” tulis Mohamad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Volume 1. “Tambahan lagi ia masih dalam keadaan sakit payah, dan merasakan bahwa ia telah mendekati hari-harinya yang terakhir. Ia ingin tinggal bersama pasukan gerilya dan para petani sampai tiba harinya yang menentukan.”
Pada 2 Agustus 1949 pagi, Soedirman memanggil Nasution dan mengajaknya turut menghadap Sukarno di istana Yogyakarta. Soedirman hendak mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan gencatan senjata. “Kami tak bisa lagi mengikuti politik pemerintah, kami terpaksa mengundurkan diri,” kata Soedirman.
“Saya tegaskan bahwa itulah pendirian semua Panglima,” kata Nasution dalam “Kepemimpinan Pak Dirman,” termuat dalam Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman.
“Kalau itu pendirian APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), maka Sukarno-Hatta yang akan lebih dulu mengundurkan diri, kami bersedia mengikuti pimpinan APRI meneruskan perjuangan,” tegas Sukarno.
Seketika, kenang Nasution, airmata pun mengalir. Tak ada lagi pembicaraan. Mereka bersalaman dan berpisah.
Sorenya, Nasution dipanggil ke tempat Soedirman. Ajudannya menyerahkan surat pengunduran diri. Surat itu belum dinomori. Nasution membacanya lebih dulu sebelum mengantarkannya ke Sukarno.
Setelah itu, Nasution menghadap Soedirman yang terbaring sakit di tempat tidur. Dia menyatakan, “lebih penting persatuan pimpinan APRI dengan Sukarno-Hatta daripada soal strategi perjuangan. Bagaimanapun baiknya strategi, kalau pecah antara kedua pucuk pimpinan nasional dan militer, maka perjuangan akan gagal.”
Soedirman sependapat dengan Nasution. “Surat itu tak jadi dikirimkan. Tapi surat itu sampai kini jadi dokumen historis,” kata Nasution.
Menurut Roeslan Abdulgani dalam “Peranan Panglima Besar Sudirman dalam Revolusi Indonesia,” meskipun menentang politik perundingan, Soedirman tetap menunjukan sikap loyal terhadap apa saja yang menjadi keputusan pemerintah.
“Dalam hal ini,” tulis Roeslan, termuat dalam Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman, “beliaulah yang selalu menandaskan: tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara adalah politik negara.”
Baca juga:
Sang Jenderal Soedirman Berpulang
Tak Selamanya Jenderal Soedirman Ditandu
Si Putih, Waria Penunjuk Jalan Jenderal Soedirman
Tambahkan komentar
Belum ada komentar