Pemikiran Soendari Darmobroto dalam Pendidikan dan Perkawinan
Soendari Darmobroto, pendiri Wanito Sworo, amat lantang menyuarakan akses pendidikan perempuan dan keadilan dalam perkawinan.
Dalam pidatonya di Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928, Siti Soendari Darmobroto dengan tegas menentang permaduan. Soendari mengeluhkan sikap lelaki yang suka memperlihatkan kekuasaannya. Baginya, sangat tidak pantas bila seorang lelaki memamerkan kegagahan dan kekuasaannya lewat poligami sewenang-wenang.
Sebaliknya, dia menganjurkan agar lelaki dan perempuan bekerjasama untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan menyediakan ruang untuk perempuan meraih pendidikan serta menyuarakan nasib.
“Sudah lama kaum laki-laki menjadi raja dalam pergaulan hidup dan terkadang juga dalam rumah tangga kita,” kata Soendari dalam pidatonya, dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang. “Kalau Indonesia ingin maju dan harum, haruslah kita semua berada dalam persamaan dengan kaum laki-laki,” sambungnya.
Soendari menyebut bahwa persamaan pertama kali harus dibereskan dalam kehidupan rumahtangga. Lelaki dan perempuan seharusnya bisa salilng menghargai dan berjalan beriringan, bukan berebut siapa yang lebih berkuasa.
Komentar Soendari soal kehidupan rumahtangga yang adil menjadi krusial. Tanpa keadilan dalam rumahtangga, perempuan tidak bisa aktif dalam masyarakat. Mereka juga tidak bisa bebas menempuh pendidikan bila orang tua mereka tidak memberi kesempatan sama untuk belajar, tidak bisa aktif berjuang bila suami menjadikan mereka sebatas konco wingking. “Lelaki juga harus membiasakan diri bahwa perempuan sudah semakin cerdas dan maju,” kata Soendari dalam pidatonya.
Soendari bukan orang baru dalam perjuangan perempuan. Ia merupakan anak dari Wirio Darmobroto, bangsawan Ponorogo yang bekerja sebagai kepala sekolah. Soendari sendiri juga membuka sekolah di Pacitan, Jawa Timur. Namanya sering tertukar dengan Soendari istri Moh. Yamin, pahlawan nasional atau adik dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo.
Soendari Darmobroto merupakan pendiri terbitan berbahasa Jawa Wanito Sworo, yang dia dirikan pada 1913. Sebagai pemimpin redaksi, Soendari kerap menuangkan pemikirannya tentang praktik permaduan. “Penderitaan yang diakibatkan oleh praktik poligami sebenarnya jauh lebih parah dari yang kita bayangkan. Cinta tidak akan bisa dibagi sama rata dan sama rasa,” tulis Soendari seperti dikutip Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia.
Selain soal kedudukan perempuan dalam perkawinan, Soendari juga amat peduli pada isu pendidikan perempuan. Pandangan tersebut ia tuangkan dalam tulisannya di Wanito Sworo. Pendidikan harus diutamakan bagi seluruh perempuan, kaya ataupun miskin. Soendari amat mengagumi kemampuan hidup mandiri perempuan desa. Para istri dari buruh adalah kelompok yang paling ingin mempelajari beberapa keterampilan seperti baca-tulis, menjahit, dan memasak.
Baca juga:
Harry A Poeze dalam Di Negeri Penjajah mengisahkan, Soendari Darmobroto hadir menyuarakan pendidikan bagi para gadis pribumi di Kongres Pengajaran Kolonial Pertama di Den Haag, Agustus 1916. Kala itu ia sedang berada di Belanda, menghadiri pelatihan guru sejak 1915. Dari keterangan Van Deventer, ketika menjalani pelatihan guru, Soendari merupakan janda beranak satu dan anaknya dititipkan di Jawa.
Dalam pertemuan itu Soendari mengatakan pentingnya pendidikan perempuan. Kala itu dia hanya mampu bicara tentang perempuan Jawa karena ia bergelut dalam pendidikan perempuan Jawa. Menurutnya, ibu sebagai guru pertama bagi anak-anaknya haruslah berpendidikan. Maka dari itu, anak perempuan harus menerima pendidikan sama seperti anak lelaki, mengikutsertakan materi matematika, membaca, menulis, dan kemampuan untuk bertahan hidup seperti menjahit, memasak, dan membatik. Selain diajari bahasa Jawa, para gadis juga harus diajari bahasa Belanda.
Soendari pun berpendapat pendidikan untuk perempuan kelas bawah lebih penting mengedepankan pada praktik lantaran akan lebih berguna untuk kehidupan mereka. Pendidikan baca-tulis-hitung harus dibarengi dengan keterampilan membuat batik dan membuat kue. Pengetahuan semacam ini bisa menjadi modal para gadis kampung untuk membuka warung, misalnya. Dengan begitu, mereka akan mandiri secara ekonomi.
Baca juga:
Seperti pembicara lainnya, Soendari juga berpikir pentingnya asrama untuk para perempuan yang mengenyam pendidikan lanjut. Namun, alasan yang dikemukakannya berbeda dari alasan pembicara Belanda. Soendari berpikir asrama akan membantu para siswa untuk lebih memahami budayanya sendiri dan tidak kehilangan identitasnya ketika mengenyam pendidikan Barat. Sementara orang Belanda berpikir bahwa asrama akan memudahkan siswa untuk terbiasa dengan kebiasaan dan gaya hidup Eropa.
Pidato Soendari dalam pertemuan di Den Haag itu ia tutup dengan pernyataan, semangat dari RA Kartini mengiringi usaha kaum perempuan dan menyatukan mereka. Lebih jauh, pendidikan perempuan adalah kunci untuk mengubah kondisi sosial masyarakat Jawa. “Pada akhirnya, saya tahu, tidak ada alat yang paling efektif untuk menghapus adat usang, kecuali pendidikan,” kata Soendari seperti dikutip Susan Blackburn dalam Women and The State In Modern Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar