Pemberontakan Korea di Tanah Jawa
Ribuan pemuda Korea dikirim sebagai penjaga tawanan perang Jepang di Indonesia. Ratusan dari mereka terlibat insiden berdarah di Ambarawa.
FOTO tua itu seolah berbicara banyak. Tigabelas pemuda Asia Timur berpakaian serdadu Jepang berpose menghadap kamera. Salah satu di antara mereka nampak tengah memangku seekor anjing kecil. Tak banyak yang tahu, jika sejatinya para tentara tersebut bukanlah orang-orang Jepang.
“Mereka adalah pemuda Korea yang dikirim oleh militer Jepang ke Jawa pada 1942,” ungkap Rostineu, pemerhati sejarah Korea dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Alkisah, pada Mei 1942 militer Jepang memobilisasi 3.223 pemuda Korea ke wilayah Asia Tenggara. Sebagian besar dari mereka ditugaskan sebagai gunsok (pembantu tentara Jepang) di Burma, Malaya, Singapura, Filipina dan Indonesia.
“Usia mereka berkisar antara 20-35 tahun,” ujar Rostineu di sela-sela diskusi Peran Pejuang Korea dalam Revolusi Indonesia yang diadakan oleh Historika Indonesia bekerja sama dengan KCC (Pusat Budaya Korea) di Jakarta pada Sabtu (18/8).
Phorokamsiwon
Jakarta, 14 September 1942. Sebuah kapal perang Jepang yang datang dari Busan, Korea merapat di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal tersebut memuat sekira 1.400 gunsok berkebangsaan Korea yang ditugaskan sebagai phorokamsiwon (penjaga tawanan perang) di Jawa.
Sejak Desember 1944 para pemuda Korea tersebut disebar ke berbagai kota di pulau Jawa. Mereka ditempatkan sebagai penjaga tawanan perang Jepang di Jakarta, Bandung, Cilacap, Ambarawa, Surabaya, Jember dan Malang. Kendati tenaga mobilisasi, tidak berarti mereka bekerja tanpa upah.
Menurut Jeon Jeong Gun dalam Akamichireul Nomoso (Melintasi Garis Khatulistiwa), para phorokamsiwon selain menerima gaji bulanan sebesar 50 Yen, mereka pun menerima berbagai fasilitas seperti penggantian seragam.
“Ada ikatan kontrak kerja antara mereka dengan pemerintah Jepang selama dua tahun,” tulis Jeon Jeong Gun.
Namun, praktik diskriminasi tetap tak terhindarkan. Alih-alih dianggap sebagai mitra, para tenaga tempur asal Korea itu justru kerap mendapat perlakuan yang tidak adil dari atasan Jepang-nya. Tak jarang kesalahan kecil yang mereka lakukan selalu dibesar-besarkan hingga berimbas hukuman berat.
Rostineu menyatakan bahwa selain perlakuan yang kejam dan tidak adil, ada sebab utama yang membuat para phorokamsiwon membenci para majikannya. Itu terjadi kala secara sepihak militer Jepang lewat Kolonel Nakada Seiichiro, salah satu komandan tentara Jepang di Asia Tenggara pada masa Perang Dunia II, memperpanjang waktu kontrak kerja mereka.
“Inilah yang menyebabkan bibit-bibit pemberontakan mulai muncul di kalangan para phorokamsiwon,” kata Rostineu kepada Historia.
Insiden Ambarawa
Kegundahan akan perlakuan militer Jepang, juga terjadi pada para phorokamsiwon di Kamp Ambarawa. Sadar posisi mereka semakin terancam oleh perlakuan diskriminatif dari militer Jepang, maka pada 29 Desember 1944, 120 phorakamsiwon (dari total 200 orang) secara diam-diam mendirikan organ bawah tanah yang diberi nama Hangukdokripkinyeomgwan (Kelompok Pemuda Pejuang Kemerdekaan Korea).
Kerahasiaan organ bawah tanah ini terbongkar saat terjadi kerusuhan di Kamp Ambarawa pada 4 Januari 1945. Bermula adanya aksi tiga anggota Hangukdokripkinyeomgwan yakni Sun Yang Sup, Min Yeing Hak, dan No Byung Han, yang menolak dipindahkan ke Singapura. Mereka melawan hukuman dengan menyerang salah satu atasan Jepang mereka. Serangan tersebut mendapat perlawanan dari para serdadu Jepang. Selanjutnya, kerusuhan pun membesar di Kamp Ambarawa.
“Pertempuran hebat pun tak terhindarkan, namun karena pihak militer Jepang posisinya lebih kuat, maka perlawanan para pemuda Korea terpatahkan,” kata Rostineu yang pernah menulis tesis untuk Program Studi dan Kebudayaan Korea FIB UI berjudul Gerakan Kemerdekaan Gunsok Korea di Ambarawa.
Kendati jarang diulas dalam sejarah Indonesia, insiden di Ambarawa tersebut cukup mengejutkan pemerintah militer Jepang di Indonesia. Akibat insiden tersebut, 12 orang tentara Jepang tewas dan dua anggota Heiho Indonesia mengalami luka-luka.
“Adanya dua korban dari Heiho Indonesia menjadikan kasus ini semakin menarik, karena itu menjadi bukti adanya hubungan baik antara anggota ‘kelompok pemuda pejuang kemerdekaan Korea’ dengan Heiho Indonesia,” kata Rostineu.
Usai pemberontakan di tanah Jawa itu, militer Jepang melakukan pembersihan besar-besaran di Kamp Ambarawa. Rostineu menyebut ada 12 anggota Hangukdokripkinyeomgwan yang ditangkap usai kejadian tersebut. Sementara tiga anggota lainnya yang dinilai sebagai provokator ditemukan tewas di tahanan. Pihak Jepang menyebut mereka melakukan bunuh diri.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar