Orang Hokian di Pusat Borneo
Usia komunitas Tionghoa di Sampit sudah mencapai ratusan tahun. Awalnya mereka datang sebagai pedagang dan buruh kasar.
KOTA Sampit dibekap mendung senja itu. Air Sungai Mentaya berwarna kecoklat-coklatan, tanda hujan sudah mulai turun di hulu. Beberapa bocah yang sedang berenang segera merapat ke pinggir. Di Pelabuhan Sampit, orang-orang yang tengah berniaga masih saja ramai. Sekelompok pedagang nampak masih asyik beradu harga dengan para pembelinya. Mereka sebagian besar adalah orang Tionghoa.
Menurut Wahyudi Kaspul Anwar, orang-orang Tionghoa sudah ada di Sampit sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan kata salah satu tokoh masyarakat kota yang masuk dalam wilayah provinsi Kalimantan Tengah tersebut, istilah “sampit” sendiri sejatinya berasal dari kata “sam” dan “it” yang bermakna angka “31”. Itu merujuk kepada 31 perantau Tionghoa asal Hokian (Fujian) yang kali pertama datang ke Sampit.
“Mereka datang ke sini tadinya hanya untuk sekadar mencari penghidupan yang lebih baik, namun malah akhirnya membuat loji sendiri,”ungkap mantan Bupati Kotawaringin Timur itu
Namun bukan berarti penjelasan Wahyudi diamini oleh semua orang di Sampit. Dalam Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942, Yusri Darmadi, Yusriadi dan Rezza Maulana menyebut masyarakat Tionghoa di Sampit sendiri malah tidak seia-sekata mengenai versi tersebut.
“Bahkan ada yang menduga, istilah Sampit itu berasal dari nama seorang Cina yang tinggal di seberang,” tulis Yusri Darmadi dan kawan-kawan.“Seberang” yang dimaksud oleh Yusri dkk adalah Mentaya Seberang. Di era Hindia Belanda, sejatinya pusat kota Sampit berada di seberang sungai tersebut.
Seperti halnya pendapat yang dianut oleh Wahyudi Kaspul Anwar, banyak kalangan di Sampit meyakini para perantau Tionghoa sudah mulai berdatangan ke Sampit sejak abad ke-19. Mereka bergerak menuju Sampit selain untuk menjadi pedagang juga menjadi buruh. Sebagian besar kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Belanda untuk bekerja di perkebunan-perkebunan karet.
Berdasarkan hasil penelusuran Yusri Darmadi dan kawan-kawan, pada awal abad ke-20, masyarakat Tionghoa di pusat Borneo (nama lama Kalimantan) tersebut bahkan sudah menjadi suatu komunitas yang mapan dan keberadaannya diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Itu dibuktikan dengan adanya makam seorang letnan Tionghoa bernama Kwee Sioe Lian (1863-1949) di Sampit.
Sumber Belanda sendiri baru mencatat jumlah orang Tionghoa di Sampit sejak tahun 1900. Dalam Grongebied en Bevolking 1905, 1908 & Bevolkinggassterkte per district 1920 of 1930, disebutkan jumlah mereka pada 1900 adalah 212 orang. Lima tahun kemudian jumlah itu berkurang menjadi 201 dan pada 1930 menjadi 863 orang.
Pada 1930-an, sebagian besar orang Tionghoa terlibat aktif dalam bisnis di Sampit. Mereka berperan sebagai pembeli dari penampung berbagai hasil alam seperti rotan, kayu, getah karet. Ada dua orang Tionghoa yang terkenal sebagai juragan getah kala itu di Sampit. Masing-masing bernama Ong Cun Cing dan Cu So Go.
“Ong Cun dan Cu So selanjutnya menjual semua komoditas tersebut ke Surabaya dan Singapura,” ungkap Yusri dkk.
Hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk pribumi (suku Dayak) berlangsung harmonis. Sejak kedatangan para perantau tersebut ke Sampit, tak ada cerita mereka pernah berkonflik dengan pribumi. Alih-alih terlibat konflik, di antara mereka malah ada yang kawin mawin dengan orang-orang dari suku Dayak.
Vera Tan, salah seorang pengusaha perempuan Tionghoa di Sampit, menyebut keharmonisan itu tercipta karena adanya komunikasi di antara kedua kelompok etnis tersebut. Sejak dahulu, jika ada masalah yang melibatkan orang-orang Tionghoa dan Dayak, maka para pimpinan pun akan turun tangan.
“Biasanya kami akan berkumpul dan mencari sebab masalah itu terjadi lalu kami musayawarahkan cara penyelesaiannya,” ujar Vera.
Bisa jadi karena tradisi tersebut, saat Sampit didera konflik berdarah pada 1996,1997 dan 2001, masyarakat Tionghoa di sana sama sekali tak tersentuh. Alih-alih menjadi korban, sebagian dari mereka malah terlibat dalam penanganan para pengungsi.
Baca juga:
Duka Warga Tionghoa
Ho Im: Iklan Dukacita Tionghoa
Jejak Tionghoa di Pondok Cina
Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung
Tambahkan komentar
Belum ada komentar