Nona Manis di Lapangan Ikada
Kehadirannya bukan sekedar pemanis. Mereka berperan dalam menambah semangat juang hingga membuat ciut nyali tentara Jepang
Kendati diangkat menjadi gubernur Jawa Barat yang pertama, Soetardjo Kartohadikusumo lebih banyak berdinas di Jakarta. Keberadaannya di ibu kota negara itu sehubungan dengan rencana kedatangan pasukan Sekutu yang akan mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia. Selain itu, Soetardjo cukup dikenal oleh pejabat pemerintah militer Jepang di Jakarta karena sebelumnya menjabat sebagai syucokan (residen) Jakarta.
“Dalam suatu rapat di kantor Bung Karno, kantor Mahkamah Agung sekarang, diputuskan akan memberitahukan dengan resmi tentang proklamasi kemerdekaan itu kepada pemerintah militer Jepang. Saya ditunjuk sebagai utusannya,” aku Soetardjo dalam otobiografinya Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya yang ditulis Setiadi Kartohadikusumo.
Pada bulan-bulan pertama bertugas di Jakarta, Soetardjo banyak menyaksikan kejadian penting bersejarah. Salah satunya peristiwa di Lapangan Ikada (kini kompleks Monumen Nasional), Gambir, pada 19 September 1945. Itulah perhelatan rapat akbar untuk memaklumatkan proklamasi kemerdekaan kepada masyarakat luas. Mobilisasi massa yang dikerahkan pada hari itu diperkirakan mencapai 200.000 orang.
Baca juga: Ketika Pangreh Praja Bersumpah Setia
Rakyat dari berbagai penjuru Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya datang berbondong-bondong menuju Gambir. Laki-laki, perempuan, orang tua, anak muda, hingga anak-anak turun membanjiri Lapangan Ikada. Tentara Jepang coba menghadang karena ingin mempertahankan status quo. Namun, mereka kalah oleh gelombang massa yang luar biasa banyaknya.
Presiden Sukarno tampil sebagai orator yang ditunggu-tunggu rakyat. Dalam pidatonya, Sukarno menegaskan pemerintah Republik Indonesia akan mempertahankan kemerdekaan. Orasinya yang tak sampai lima menit itu menuai riuh tepuk tangan dan sorak-sorai bergemuruh.
Soetardjo saat itu mengamat-amati penjagaan keamanan di lapangan tempat rakyat berkumpul. Dalam amatannya, bala tentara Dai Nippon sudah tak berdaya lagi. Nona-nona manis bergandengan tangan berdiri tegak di muka meriam-meriam artileri Jepang. Mereka seolah menantang prajurit Jepang yang menjaga meriam-meriam itu.
“Bukan main senangnya hati saya melihat gadis-gadis yang cantik-berani itu. Prajurit-prajurit Nippon yang gagah perkasa tidak berdaya menghadapi mereka,” kenang Soetardjo.
Peran dan kehadiran wanita memang luput dalam potret peristiwa di Lapangan Ikada. G.A. Ohorella, Sri Sutjiatiningsih, Muchtaruddin Ibrahim dalam Peranan Wanita Indonesia dalam Pergerakan Nasional menyebut Nyonya Markisah Dahlia --istri dari Mr. Mohamad Roem-- seorang aktivis perempuan yang ikut berjuang dengan kemampuan yang ada. Dia menyediakan rumahnya di Jl. Kwitang 10 untuk menyelenggarakan kegiatan dapur umum.
Sementara itu, Partinah Iskandar dari organisasi Barisan Putri turut hadir dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada. Rakyat Jakarta dan sekitarnya yang berjumlah ratusan ribu itu, tutur Partinah, tiada gentar sama sekali waktu memasuki lapangan. Padahal, di sekeliling lapangan, serdadu Jepang dalam posisi siaga. Mereka berdiri di samping panser-panser, menenteng mitraliur-mitraliur, serta bayonet yang terhunus.
“Kami dari Barisan Putri dengan membawa poster dan bendera Merah Putih besar sekali, masuk dari kantor balaikota. Acungan senapan dengan bayonet tidak kami acuhkan, bahkan kami terus menerobos masuk Lapangan Ikada, bergabung dengan ribuan massa,” ujar Partinah dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45 suntingan Irna H.N. Hadi Soewito.
Baca juga: Yang Terlupa dalam Rapat Raksasa Ikada
Setelah Sukarno selesai berpidato, sambung Partinah, semua rakyat yang berkumpul diminta pulang dengan tenang dan tertib. Namun, tentara Jepang menggunakan kesempatan itu untuk merampas senjata yang dibawa oleh rakyat dari kalangan pria. Terjadilah insiden perebutan senjata, di satu pihak ingin merampas, di pihak lain mempertahankan senjatanya.
“Seingat saya, tidak ada korban yang jatuh. Rupanya Jepang hanya menakut-nakuti saja. Untuk amannya, kami dari Barisan Putri, menolong membawakan dengan menyembunyikannya dalam baju atas tas. Kepada wanita pemeriksaan tidak begitu berat,” terang Partinah.
Soetardjo sendiri mengamini betapa para pemuda maupun pemudi itu tidak kenal takut, bahkan siap ditembak andai terjadi insiden. Rapat akbar di Lapangan Ikada berakhir dengan selamat tanpa ada korban yang jatuh. Peristiwa itu melecut spirit para pejuang maupun rakyat pada umumnya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Baca juga: Rapat Ikada yang Direka
Tambahkan komentar
Belum ada komentar