Negara Baru, Utang Baru
Utang, jalan keluar masalah finansial negara baru merdeka.
NYAK Sandang, 91 tahun, bertemu Jokowi, sembari membawa obligasi tahun 1950. Kemunculan pria Aceh itu menjadi santapan media. Pun demikian, sejarawan meragukan obligasi yang dibawanya itu didapat dari hasil menyumbang uang untuk pembelian pesawat Seulawah RI-001.
Obligasi atau pinjaman nasional dikeluarkan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang No.4 tahun 1946 yang menyatakan, Menteri Keuangan diberi kuasa untuk menjual surat-surat pengakuan utang atas tanggungan negara.
Sejak mula berdiri, pemerintah Indonesia sudah akrab dengan utang. Sebagai negara baru merdeka, kemampuan finansial Indonesia kala itu masih minim. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah finansial. Salah satunya, menggalang partisipasi masyarakat.
Pada 29 April 1946, Presiden Sukarno dan Menteri Keuangan Soerachman –atas persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)– meneken Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional 1946.
Menteri Keuangan, tulis pasal pertama ayat 1 pada UU tersebut, memiliki kekuasaan untuk menjual surat-surat pengakuan utang atas tanggungan negara dengan kurs dan bunga yang sudah ditentukan guna mendapatkan uang seribu juta rupiah. Pada ayat kedua dan ketiga pasal 1, surat-surat pengakuan utang tersebut hanya bisa dimiliki oleh warga negara RI serta tidak bisa “dilepaskan” (dijual, digadaikan, diwariskan, dan sebagainya) kepada warga negara negeri lain atau kepada badan hukum negeri lain.
“Pinjaman yang hendak ditutup besarnya seribu juta, dipungut dua kali, masing-masing f 500.000.000. Jumlah ini akan dipergunakan masing-masing 400.000.000 untuk pembangunan, membantu perusahaan umumnya dan membangunkan perumahan rakyat. f 100.000.000 untuk membantu belanja negara berhubung dengan jatuhnya harga uang Jepang,” tulis Pantja Raja nomor 13 tahun I, yang terbit 15 Mei 1946.
Selain untuk membiayai pembangunan dan masalah pertahanan, ada tujuan lain dari dikeluarkannya Pinjaman Nasional. “Pemerintah mengumumkan Undang-Undang Pinjaman Nasional guna meringankan beban rakyat dengan jalan mengurangi peredaran uang Jepang,” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah, dan Ediati kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia jilid II. Peredaran mata uang Jepang di masyarakat saat itu diperkirakan sejumlah empat milyar.
Sampai Agustus 1945, tulis Heru Soekadri cum suis dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Timur, mata uang Jepang yang beredar di Jawa saja berjumlah 1,6 milyar.
Beragam upaya ditempuh untuk merealisasikan pinjaman kepada rakyat. Publikasi program itu dilaksanakan melalui berbagai media, mulai radio, surat kabar, sampai badan-badan pemerintah.
Dalam hal pelaksanaan penjualan obligasi, tulis Langgeng Sulistyobudi dalam artikel bertajuk “Ketika Negara Berhutang Kepada Rakyatnya: Pinjaman Nasional 1946”, Kementerian Keuangan menyerahkan tugas tersebut kepada Bank Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan dua bank swasta: Bank Surakarta dan Bank Nasional. Di Jakarta, lanjut Langgeng yang mengutip Berita Antara Mei 1946, pendaftaran juga dibantu oleh Sekolah Menengah Tinggi.
Pendaftaran Pinjaman Nasional berlangsung sejak 15 Mei 1946 hingga 15 Juni 1946, namun diperpanjang sampai akhir Juni 1946, bahkan di bulan-bulan sesudahnya. Nilai obligasi atau surat pengakuan utang yang ditentukan pemerintah adalah lembar obligasi f100 (uang Jepang), lembar obligasi f500 (uang Jepang), dan lembar obligasi f1.000 (uang Jepang).
“Dari surat-surat hutang itu telah dikeluarkan terlebih dahulu di Jawa dan Madura dengan jumlah nilai f500.000.000 dan di Sumatra f500.000.000,” seperti dikutip dari UU nomor 26 tahun 1954 mengenai Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946.
Melalui pasal 3 butir 4, negara menjamin pelunasan utang akan diselesaikan sekurang-kurangnya 40 tahun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar