Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel
Terletak di belahan bumi berbeda, dua kamp di Eropa dan Papua jadi tempat buangan orang-orang modern yang jadi musuh rezim.
SUDAH tak terhingga peneliti sejarah atau sejarawan mengulik dan mempublikasikan tulisan-tulisan sejarah tentang kamp-kamp pengasingan di delapan penjuru mata angin. Tetapi yang mengkomparasikannya satu sama lain, terlebih menilik kesamaan kehidupan orang-orang buangan di Eropa dan daratan Papua mungkin baru Prof. Rudolf Mrázek.
Mrázek, sejarawan yang juga guru besar emeritus University of Michigan itu sampai melintas belahan bumi untuk melakoni riset dan wawancaranya dari Israel hingga Papua. Puncaknya, ia terbitkan bukunya pada 2020 dengan tajuk The Complete Lives of Camp People: Colonialism, Fascism, Concentrated Modernity (terj. Keseharian Orang Buangan di Kamp Kolonial). Di dalamnya, Mrázek menyelami kehidupan para orang buangan di Kamp Ghetto Theresienstadt di kota Theresienstadt (kini Terezín, Czechia/Ceko) dan Kamp Pengasingan Boven Digoel di Tanah Merah, Papua yang berada di dua belahan bumi berbeda dengan jarak 13 ribu kilometer.
“Mungkin bagi kalangan akademisi atau para ahli (sejarah), tidak masuk akal karena kedua kamp berada di dua sisi dunia yang berbeda. Satu kamp (Digoel) untuk para tahanan politik (tapol) komunis, orang-orangnya (Sutan) Sjahrir, pemuda liberal democrat, sosialis kiri, pemuda gerakan Islam yang semuanya musuh politik rezim (pemerintah Hindia Belanda). Dan (kamp) Theresienstadt untuk orang-orang Yahudi dan dijadikan propaganda politik (Nazi Jerman). Kedua orang-orang buangan itu memang kelihatan berbeda,” ujar Mrázek dalam Forum Diskusi Budaya Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional bertajuk “Keseharian Orang Buangan di Kamp Kolonial” secara daring di Youtube PMB BRIN, Senin (5/8/2024).
Baca juga: Om Sjahrir dan Anak-Anak Banda Neira
Banyaknya perbedaan antara kedua kamp, termasuk dengan jarak yang jauh, jelas memerlukan effort lebih untuk menelitinya. Tapi itu tak menyurutkan langkah Mrázek.
“Tetapi justru itu jadi tantangan buat saya untuk melihat sesuatu yang saya sebut, ‘campness’, semacam kualitas (kehidupan) di kamp. Saya juga menyebutnya ‘concentrated modernity’ karena yang diisolasi adalah orang-orang modern yang tak bisa bebas ke mana-mana tapi di satu sisi mereka hidup bukan di sebuah kamp pemusnahan, bukan kamp konsentrasi yang seperti kita tahu dalam sejarah Jerman abad ke-20,” tambahnya.
Agar lebih detail menyelami kehidupan mereka yang terisolasi di dua kamp itu, Mrázek tak hanya mengubek-ubek sejumlah arsip. Penulis sejumlah buku tentang Indonesia, seperti Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (1994) dan A Certain Age: Colonial Jakarta through the Memories of Its Intellectuals (2010), itu juga mewawancarai para penyintas maupun keluarganya di Israel hingga Jakarta dan Papua.
“Saya ke Israel dalam rangka riset saya dan bertemu banyak penyintas Theresienstadt dan orang-orang Yahudi di sana menyambut saya dengan hangat. Ada seorang perempuan mengaku menemukan cinta pertamanya di kamp dan lelaki yang dicintainya kemudian dipindahkan ke (kamp konsentrasi) Auschwitz,” lanjut Mrázek.
Begitu pula dengan yang di Kamp Boven Digoel. Mrázek masih sempat bertemu para penyintas tapol Boven Digoel maupun keluarga mereka yang ikut menjalani pengasingan bersama Sjahrir, Tauchied Abdul Moerad, atau Hamdani Burhanuddin.
“Saya sempat bertanya pada Nyonya Moerad, apa hal terburuk di kamp. Dia bilang, ‘nyamuk’ dan ‘para tetangga’. Lalu saat di Arsip Nasional (Jakarta), saya bertemu anak dari tapol lain yang juga meriset tentang ayahnya. Ia bicara membangga-banggakan ayahnya. Padahal saat saya cek arsip tentang ayahnya, ternyata ada nama ayahnya pernah disidang karena merudapaksa istri dari sesama tapol,” kenangnya.
Orang-Orang Modern yang Terbuang
Dari sisi kamp, Boven Digoel memang sudah lebih dulu ada, yakni medio 1927. Kendati begitu, Theresienstadt sebagai sebuah kota lebih tua usianya.
“(Kota) Theresienstadt dibangun sebagai kota yang indah pada akhir abad ke-18. Kota yang juga dibangun sebagai kota milter tapi ketika orang-orang Yahudi dikirim ke sana, kotanya sudah berusia 200 tahun,” sambung Mrázek.
Theresienstadt atau kini Terezín dibangun sebagai kota benteng pada 1784 oleh Kaisar Josef II penguasa Kekaisaran Habsburg. Nama kotanya mengabadikan nama ibu sang kaisar, Ratu Maria Theresa, yang berkuasa di Kekaisaran Habsburg periode 1745-1765.
Menurut Livia Rothkirchen dalam The Jews of Bohemia and Moravia: Facing the Holocaust, seiring Konferensi Wannsee yang menentukan “Solusi Akhir” dari persoalan Yahudi, pada 20 Januari 1942 kota benteng itu dijadikan kamp ghetto atau permukiman Yahudi. Para petinggi Jerman Nazi menjadikannya situs untuk propaganda politik bahwa diktator Nazi Adolf Hitler “memberikan” kota untuk tempat tinggal orang-orang Yahudi.
Meski begitu, peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN Saiful Hakam menggarisbawahi salah satu bab dalam buku Mrázek, bahwa baik Kamp Pengaingan Boven Digoel maupun Kamp Ghetto Theresienstadt sama-sama bermula dari “babat alas”.
“Hal itu berlaku di Eropa maupun jantung hutan Papua. Menurut (filsuf Jerman) Martin Heidegger yang dikutip Pak Mrázek dalam buku ini, babat alas ini tak lain dari pada lichtung. Artinya sebagai eksistensi sudah bersih. Lichtung kata Heidegger adalah kelapangan yang an sich. Mempersiapkan kamp sama artinya dengan babat alas. Dus, cahayapun datang. Itulah lichtung yang mengandung kata ‘licht’, artinya cahaya,” timpal Saiful.
Menurut catatan Abdoel Chalid Salim, adik Haji Agus Salim yang pernah mendekam di Boven Digoel selama 15 tahun (1928-1943), lanjut Saiful, para tapol gelombang pertama mulanya ditempatkan di barak-barak sementara yang kemudian berubah menjadi Kampung A. Berangsur-angsur dibangun lagi perkampungan-perkampungan lain, Kampung B, C, dan D dekat sungai, dan Kampung E, F, dan G yang lebih jauh di pedalaman hutan dan jauh dari sungai.
“Lalu (kamp ghetto) Theresiestadt juga dibuka dengan lichtung. Guna mengasingkan para Yahudi, kota itu harus dibabat pula. Sebagaimana dimaklumatkan (perwira Schutzstaffel/SS) Obersturmbannführer Adolf Eichmann, pada Maret 1942 kota harus dikosongkan. Pengosongan atau pengusiran, der raumur der stat, para penduduk kota itu dilakukan seketika secepat kilat sebelum kamp dibuka,” tambahnya.
Sebagaimana para tapol di Boven Digoel, para Yahudi yang diisolasi di Kamp Theresienstadt adalah orang-orang modern yang terpelajar. Bukan parasit, sebagaimana yang digembar-gemborkan propaganda anti-semit oleh Nazi.
“Jadi baik yang di Theresienstadt maupun di Boven Digoel itu bukan orang-orang sembarangan. Kebanyakan mereka adalah engineer, ekonom, bahkan ilmuwan. Demikian pula di Boven Digoel yang kebanyakan punya profesi profesional,” imbuh Saiful.
Dalam bukunya, Mrázek secara detail mencatat para tapol di Boven Digoel sebelumnya punya profesi dari penggembala ternak, pramuniaga, juru tulis, juru gambar, kasir bank, operator telepon, pegawai pegadaian, pegawai kantor pos, buruh keretaapi, kondektur trem, sub-pengawas oderopzichter, perawat, agen asusransi, agen mesin jahit Singer, guru di sekolah agama Islam, sekolah misi Kristen, dan sekolah dasar, mekanik, sopir, pembuat jam, hingga jurnalis. Beberapa gelintir saja di antaranya yang petani, nelayan, dan pengangguran.
“Artinya orang-orang yang di Boven Digoel itu, misalkan jurnalis atau orang yang terbiasa memegang pena, tiba-tiba di Boven Digul memegang cangkul. Sungguh betapa berat hidup di sana. Di Theresienstadt ada para ekonom, mekanik, ilmuwan. Bahkan perempuan yang tercatat di sana, 40 persennya pernah menjadi wanita karier,” jelas Saiful lagi.
Seperti yang dituangkan Mrázek dalam bukunya, para orang buangan itu tetap diberi kesempatan menjalani minat dan hobi mereka. Baik para penjaga Nazi Jerman maupun pengawas Hindia Belanda tetap memberi ruang adanya teater hingga pertunjukan musik.
“Entah orang Belanda (di Digoel) maupun Jerman Nazi di Eropa, mereka memberikan orang-orang buangan itu banyak hal semampu mereka. Diperbolehkan bercocok tanam, beternak ayam, memancing di sungai, dibolehkan membawa instrumen musik. Sampai ada teater, orkestra jazz, alat-alat meluki. Jadi sangat menarik melihat apa yang terjadi pada orang-orang modern itu,” urai Mrázek.
Bagaimanapun, status mereka tetap tahanan. Semua izin yang diberikan itu terbatas.
“Tentu dibatasi karena mereka hidup di ruang yang sempit dan dijaga. Mereka juga sadar, baik di Theresienstadt maupun di Boven Digoel, kematian senantiasa menghantui, bahwa mereka sadar hidup mereka akan singkat. Oleh karenanya mereka berusaha menjalani sisa hidup dengan sebisanya,” lanjutnya.
Seiring Perang Pasifik (1941-1942), segelintir tapol Boven Digoel ada yang dipindah ke Banda Neira, lalu kembali ke Pulau Jawa, seperti Sjahrir atau Moh. Hatta. Namun sebagian besar tapol dipindahkan ke Kamp Tawanan Perang Cowra dan kamp-kamp sejenis di Australia.
Sedangkan para buangan di Theresienstadt, miris nasibnya. Sebagian menemui ajal. Memang pada Februari 1944 jelang kunjungan Palang Merah Denmark dan Komite Palang Merah Internasional ICRC ke Theresienstadt, pihak SS mempropagandakan para Yahudi itu “terpelihara” dengan baik kehidupannya. Tapi di balik itu untuk memberi kesan positif, pada April-Juli 1943 sebelum kunjungan itu, SS mendeportasi lebih dari 7 ribu interniran, utamanya yang penyakitan, renta, dan difabel, ke Auschwitz yang berujung pemusnahan.
“Sementara sisanya pada musim panas 1944, menjadi masa-masa terbaik kami (di Theresienstadt). Tidak ada yang berpikir mereka akan dideportasi,” kenang salah seorang penyintas, dikutip Rothkirchen.
Kunjungan itu bahkan didokumentasikan lewat video dan dijadikann film bertajuk Der Führer schenkt den Juden eine Stadt (Fuhrer memberikan kota/pemukian untuk Yahudi). Tetapi di balik itu, cerita Theresienstadt tetaplah kelam. Terlebih pasca-kunjungan Palang Merah, deportasi ke kamp-kamp konsentrasi sejenis Auschwitz kembali terjadi dan Judenrat (Dewan Yahudi) yang dibentuk di antara para interniran, dipaksa memilih siapa-siapa saja yang akan dideportasi.
Dari total 144 ribu orang yang pernah mendekam di Theresienstadt sejak 1941 hingga dibubarkannya pada 8 Mei 1945 sejurus Kapitulasi Jerman, tercatat 33 ribu orang meregang nyawa dan sekitar 88 ribu lainnya dideportasi ke kamp-kamp pemusnahan. Hanya sekira 27 ribu orang, termasuk 4 ribu di antaranya yang dideportasi dari Theresienstadt selamat sampai akhir Perang Dunia II (1939-1945).
Baca juga: Pelarian Berdarah di Kamp Cowra
Tambahkan komentar
Belum ada komentar