Om Sjahrir dan Anak-Anak Banda Neira
Bersahabat dan mengajar anak-anak jadi pengobat kesunyian Sutan Sjahrir di masa pembuangan. Tiga bocah Banda dijadikannya anak angkat.
PANORAMA laut biru berpadu dengan deretan pulau dan gunung nan cantik jadi pelengkap pesona Pulau Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah. Di pulau itu Sutan Sjahrir bersama Mohammad Hatta menjalani masa pembuangannya yang kedua setelah dipindah dari Boven Digul, Papua.
Seorang bocah Banda yang kelak jadi anak angkat Bung Hatta, Des Alwi, mengenang momen kedatangan Sjahrir dan Hatta ke Banda Neira pada Februari 1936. Saat itu, keduanya datang dengan kapal berbendera Belanda, Fommelhaut, yang melepas jangkar di Pelabuhan Banda Neira.
“Tuan-tuan itu berwajah pucat,” kenang Des Alwi dalam buku Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman.
Baca juga: Om Kacamata di Banda Neira
Kepada Des Alwi di dermaga, Sjahrir dan Hatta menanyakan rumah dua tokoh lain yang juga sudah sejak 1928 menghuni Banda usai dipindahkan dari Boven Digul, dr. Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri.
“Jauh, meneer. Tetapi di depan dermaga ini ada rumah Iwa Kusumasumantri,” jawab Des Alwi yang ikut mengantarkan keduanya ke rumah Iwa.
Mulanya, Sjahrir tinggal bersama Hatta di rumah yang disewa seharga 10 gulden dari pemilik perkebunan pala Belanda, Tuan De Vries. Rumah di Kampung Ratu (kini Kampung Nusantara) itu bersebelahan dengan sebuah sekolah setingkat sekolah dasar, Europeesche Lagere School (ELS).
Meski dalam masa pembuangan, kesunyian Sjahrir sedikit terobati karena berkawan dengan anak-anak sekitar. Salah satunya Lily Gamar Sutantio yang bersama saudarinya, Mimi dan Ali yang masih bayi. Mereka masih kerabat tokoh Banda, Raja Baadilla, kelak diangkat anak pula oleh Sjahrir.
“Kami sering melihat Om Sjahrir dan Om Hatta di depan rumah mereka karena dalam perjalanan ke tempat pengajian di Kampung Baru, kami mesti melewati rumah mereka itu,” kenang Lily dalam buku Mengenang Sjahrir yang dihimpun Rosihan Anwar.
Baca juga: Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan
Mengajar dan Mengangkat Anak
Perkenalan pertama Lily dan saudara-saudaranya dengan Sjahrir terjadi saat putra Iwa Kusumasumantri berulangtahun. Sjahrir mulai menyapa Lily dan saudara-saudaranya yang usianya berkisar 8-10 tahun saat sedang bermain engklek di depan rumah Iwa. Sejak saat itu si “Bung Kecil” mulai dipanggil “Om Rir” atau “Om Sjahrir”.
“Om Sjahrir datang ke tempat kami bermain kemudian menanyakan nama kami satu per satu dan bertanya pula kami sekolah di mana. Kebanyakan kami belum sekolah karena orangtua harus gelijkgesteld (disamakan secara hukum dengan orang Eropa) untuk dapat masuk sekolah Belanda,” lanjut Lily.
Prihatin, Sjahrir pun menawarkan mereka dan teman-temannya yang lain yang belum tersentuh pendidikan untuk datang ke rumah Sjahrir dan Hatta guna belajar. Tentu atas seizin orangtua Lily, Des, dan saudara-saudaranya.
“Penekanan pada edukasi membuat Sjahrir demikian terlibat. Di Banda Neira teman-temannya yang paling akrab adalah anak-anak kecil, yang hampir setiap hari bermain ke rumahnya yang baju-baju mereka dia jahit sendiri dengan mesin jahit. Mereka menjadi murid-murid pelajaran privat, di mana mereka diajar membaca, menulis, berbahasa dengan benar, dan berani bertanya agar membuka pintu bagi mereka ke dunia ilmu pengetahuan,” tulis Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity, 1909-1966.
Kegiatannya mengajar kemudian dipindahkan oleh Sjahrir seiring ia pindah untuk tinggal sendiri di sebuah paviliun milik kerabat Raja Baadilla. Letaknya dekat dari rumah semula yang kemudian hanya ditinggali Hatta. Kepindahan itu dipicu Des dan saudara-saudaranya sering bikin “ulah” sehingga Sjahrir merasa tidak enak pada Hatta.
“Suatu hari seorang dari anak-anak itu menumpahkan vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh Hatta di atas meja. Hatta yang sangat sayang kepada buku-bukunya, marah. Sjahrir pun memutuskan untuk pindah ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Dalam suratnya bertanggal 25 Februari 1936, Sjahrir mengatakan, ‘mereka di sini adalah teman terbaik yang saya miliki,’” ungkap Gunawan Mohamad dalam Tokoh + Pokok.
Di rumah Hatta memang anak-anak itu bisa mencicipi banyak makanan. Namun kebahagiaan yang berbeda turut ditularkan Sjahrir. Tidak hanya ketika mengajar tapi saat mengajak mereka berekreasi ke pantai sembari lantang-lantang menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.
“Lagu yang kami nyanyikan dengan penuh semangat, sebab kami merasa bebas dan oleh karenanya tidak ada orang yang dapat mendengar kami,” imbuh Des.
Baca juga: Bung Karno dan Hari Anak
Lambat-laun anak-anak lain yang belajar di rumahnya berangsur berkurang. Gara-garanya, Politieke Inlichtingen Dienst (PID) memprovokasi bahwa Sjahrir dan Hatta merupakan orang pengasingan dan berbahaya.
“Setelah diberitahukan oleh pihak berwajib bahwa orang-orang buangan itu adalah orang-orang politik, orang-orang ‘komunis’, yang tinggal belajar hanya anak-anak famili kami sendiri, antara lain Does, Des, Mimi, Lily, dan kedua anak angkat Om Tjipto, Louis dan Donald. Kami mendapat pelajaran berhitung, membaca, bahasa Belanda, sejarah, sedangkan kedua anak angkat Om Tjip mendapat pelajaran sekolah lanjutan atas,” sambung Lily.
Atas kepedulian itu, bocah-bocah tersebut diizinkan untuk diangkat anak. Does dan Des Alwi diangkat anak oleh Hatta. Sedangkan Lily, Mimi, dan Ali yang masih bayi diangkat anak oleh Sjahrir.
“Ia (Sjahrir) mengambil seorang bayi berumur 8 bulan bernama Ali karena kedua orangtua anak tersebut terkena penyakit malaria dan ibu si anak sedang mengandung lagi. Anak bayi Ali diasuh Sjahrir dengan susu kaleng. Di Banda Neira ia menemukan keseimbangan antara rasio di satu pihak, keindahan dan kasih sayang di pihak lain,” tulis Rosihan.
Enam tahun pengasingan di Banda Neira pun berlalu. Seiring meningkatnya ancaman Jepang di Perang Pasifik, otoritas Belanda memindahkan Hatta dan Sjahrir ke Jawa pada 1 Februari 1942 dengan pesawat amfibi Catalina.
Baca juga: Repotnya Membawa Buku Bung Hatta
Sjahrir boleh memboyong ketiga anak angkatnya. Sementara, Hatta harus meninggalkan 16 peti buku-bukunya dan diserahkan pada Des Alwi untuk membawanya ke Jawa begitu ada angkutan kapal dari Ambon karena pesawatnya kelebihan beban. Hanya Does Alwi yang batal ikut karena orangtuanya keberatan.
“Begitulah hubungan kedua tokoh pejuang tadi dengan bocah Baadilla amat bernilai. Bahkan bisa dibilang manusia-manusia kecil inilah yang menolong Hatta-Sjahrir bertahan selama masa pengasingan di Banda. Suatu hari kelak dalam pidato pemakaman Sjahrir, Hatta mengingat bagaimana anak-anak Baadilla membantu Sjahrir menyesuaikan diri di tempat baru sesudah perubahan yang tak mudah dari Boven Digul. Mereka obat untuk hati yang luka,” tandas Des Alwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar