Musibah Kapal Hibah
Kapal patroli yang didapatkan Indonesia dari hibah Australia ini menemui ajalnya akibat diterjang badai di Selat Malaka.
TNI AL kehilangan salah satu kapalnya Sabtu, 2 Desember 2017, kemarin. KRI Sibarau (nomor lambung 847) dilaporkan karam di Selat Malaka dekat Sumatra Utara setelah diterpa badai dan kerusakan mesin.
Menurut Kepala Dinas Penerangan AL Laksamana Pertama Gig Jonias Mozes Sipasulta dalam keterangan tertulis, KRI Sibarau tenggelam dalam tugas patroli di perairan Sumatra Utara dan tak ada korban dalam peristiwa nahas itu. “Penyebab tenggelamnya masih dalam penyelidikan,” ujarnya.
Tak bisa dipungkiri, kapal patroli cepat yang tergabung dalam satuan patroli Armada Barat (Armabar) itu sudah uzur. Kapal tersebut didapatkan Indonesia dari Australia bukan karena pesanan baru, tapi hibah. Kapal buatan Walkers Ltd. of Maryborough itu dibuat khusus untuk AL Australia pada 1964. AL Australia resmi menggunakan kapal itu pada 14 Desember 1968 dengan nama HMAS Bandolier (P-95).
Kapal “imut” berbobot (bersih) 100 ton dan panjang 32,8 meter serta lebar 6,1 meter itu ditenagai mesin diesel Paxman YJCM 2x16 silinder yang mampu memacu laju hingga 24 knot. Untuk persenjataan, kapal yang diawaki 16 pelaut plus tiga perwira itu memiliki sepucuk meriam Bofors kaliber 40 milimeter dan sepasang senapan mesin M2 Browning.
HMAS Bandolier sering bertugas ke perairan perbatasan, terutama ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Pada 16 November 1973, pemerintah Australia menghibahkan Bandolier kepada TNI AL.
“Kapal seri (Attack Class) ini dirancang untuk misi pengintaian dan pengawasan sepanjang garis pantai Australia. Mereka punya 20 unit dan delapan unit di antaranya digunakan TNI AL lewat program hibah secara bertahap mulai 16 November 1973,” kata pengamat alutsista Haryo Adjie Nogo Seno kepada Historia via pesan singkat.
Tujuh unit lainnya yang juga dihibahkan ke Indonesia adalah HMAS Archer (P-86) yang dihibahkan pada 21 Mei 1974 dan berganti nama menjadi KRI Siliman (848), HMAS Barricade (P-98), 20 Mei 1982, menjadi KRI Sigalu (857); HMAS Barbette (P-97), 15 Juni 1984, menjadi KRI Siada (862); HMAS Acute (P-81), 6 Mei 1983, menjadi KRI Silea (858), HMAS Bombard (P-99), 12 September 1983, menjadi KRI Siribua (859); HMAS Attack (P-90), 21 Februari 1985, menjadi KRI Sikuda (863); dan HMAS Assail (P-89), 18 Oktober 1985, menjadi KRI Sigurot (864).
“Hadirnya kapal patroli dengan senjata meriam ini seolah jadi angin segar buat TNI AL untuk armada patroli (di era 1970-an dan awal 1980-an), terutama setelah berubah haluan alutsista dari blok Timur ke blok Barat,” imbuh Haryo.
Nahas yang menimpa KRI Sibarau ini bukan kali pertama menimpa kapal TNI AL. Pada Juni 1994, KRI Teluk Lampung (540) nyaris mengalami hal sama. Ketika tengah berlayar kembali setelah direparasi di Jerman, KRI Teluk Lampung dihadang badai di Teluk Biscay, Spanyol. Amukan ombak sampai menjebol beberapa pintu kapal hingga air laut masuk.
“Kapal terancam tenggelam. Namun masih bisa mengirim SOS (pesan darurat) yang lantas didengar SAR Prancis dan diteruskan ke SAR Spanyol,” lanjut Haryo.
Nasib KRI Teluk Lampung tak sampai senahas KRI Sibarau. Kapal pendarat itu masih tertolong. Lima puluh satu awaknya diselamatkan dua helikopter SAR Spanyol dan kapalnya diseret kapal tunda hingga diamankan ke Gijon, Spanyol.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar