Menteri Tionghoa di Kabinet Republik Indonesia.
Selama 1945-1965 beberapa Tionghoa dilibatkan dalam lembaga eksekutif pemerintahan Indonesia. Siapa saja mereka?
Selama masa kekuasaan Presiden Sukarno (1945-1967), terbentuk cukup banyak kabinet yang tugasnya menjalankan lembaga eksekutif negara. Di antara para menteri yang pernah menduduki jabatan di kabinet-kabinet tersebut tercatat ada 4 orang menteri yang berasal dari etnis Tionghoa. Mereka datang dari berbagai latar belakang yang berbeda serta mewakili partai dan organisasinya masing-masing.
Berikut 4 tokoh Tionghoa yang pernah menduduki jabatan menteri di Indonesia pada periode 1945-1965.
Tan Po Gwan
Namanya mungkin terasa asing di telinga masyarkat Indonesia saat ini. Namun semasa tahun 1940-an sampai 1950-an, ia cukup aktif dalam berbagai organisasi sampai akhirnya dipercaya menduduki jabatan Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III periode 1946-1947. Tan Po Gwan tercatat sebagai etnis Tionghoa pertama yang masuk jajaran eksekutif di dalam pemerintahan Indonesia.
Dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, pada 24 Oktober 1911, Tan Po Gwan menamatkan sekolah tingkat pertamnya di AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung. Setelah lulus ia melanjutkan pendidikannya di RHS (Rechtshoogeschool) di Batavia (Jakarta), untuk memperdalam bidang hukum. Tahun 1937 ia menamatkan sekolah RHS dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten.
Karir pertama Tan Po Gwan setelah lulus adalah bekerja di Makasar sebagai pengacara. Selama kurun waktu dua tahun (1937-1938) ia bermukim salah satu kota di Sulawesi Selatan itu. Kemudian tahun berikutnya Tan Po Gwan memutuskan mengejar karirnya di Surabaya. Di sana ia juga membuka jasa konsultasi hukum, sama seperti di kota sebelumnya.
Diceritakan Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, ketika berada di Surabaya inilah Tan Po Gwan berkenalan dengan dunia di luar keahliannya, yaitu jurnalistik. Ia bergabung dengan surat kabar Tionghoa Sin Po sejak tahun 1939. Rupanya Tan Po Gwan memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap bidang kepenulisan. Ia diketahui cukup aktif menulis di surat kabar milik Lauw Giok Lan dan Yoe Sin Gie ini.
Baca juga: Pemuda Tionghoa Pun Berjuang
Pada 1942, saat proses perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, Tan Po Gwan masih aktif menulis di Sin Po. Namun di tahun ini juga ia menjadi salah satu orang yang diinternir oleh pemerintah Jepang akibat berbagai aktivitasnya dianggap membahayakan kekuasaan mereka. Hampir sepanjang pemerintahan Jepang berjuasa di Indonesia (1942-1945), aktifitas Tan Po Gwan dibatasi dan diawasi dengan sangat ketat.
Barulah ketika kemerdekaan Indonesia berhasil dikumdangkan, ia mendapatkan kembali kebebasannya. Tercatat dalam Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan sampai Reformasi karya PNH Simanjuntak, Tan Po Gwan mulai aktif berkecimpung di dunia politik, terutama ketika ia diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa dalam Kabinet Sjahrir III, yang dibentuk Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada 2 Oktober 1946 sampai 27 Juli 1947.
Setelah meletakan jabatan menterinya, Tan Po Gwan bergabung dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai anggota pada 1947. Bila Hamid Algadri datang mewakili komunitas orang-orang Arab, Tan Po Kwan dipercaya mewakili komunitas Tionghoa. Ketika itu Tan Po Kwan dan anggota KNIP lainnya ditugasi membantu di segala urusan presiden hingga dibubarkan pada 1950.
Tan Po Gwan aktif juga di kepartaian. Ia diketahui menjadi anggota dari PDTI (Partai Demokrat Tionghoa Indonesia). Kemudian pada 1953 ia bergabung dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang diketuai oleh Sutan Sjahrir. Selain itu Tan Po Gwan pernah ikut berkecimpung di Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Organisasi Tionghoa yang didirikan pada 1954 itu bahkan mencalonkan Tan Po Gwan dalam pemilihan umum 1955. Namun akhirnya batal karena ia memutuskan mengundurkan diri.
Pada tahun-tahun berikutnya kehidupan Tan Po Gwan mulai terasa berat. Ia termasuk dalam kelompok orang yang merasa terasingkan selama masa pemerintaha Sukarno. Sehingga pada 1959 ia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Baru setelah pergantian kekuasaan, Tan Po Gwan kembali ke tanah air. Namun tidak lama, ia memilih menetap di Sydney, Australia. Pada 1985 Tan Po Gwan meninggal dunia di Australia.
Baca juga: Tio Oen Bik, Tokoh Tionghoa yang Terlupakan
Ong Eng Die
Dikenal sebagai ekonom ulung pada era 1950-an sampai 1960-an, Ong Eng Die berhasil menempatkan namanya dalam jajaran menteri pada beberapa kabinet. Ia dipercaya mengatur situasi ekonomi dan keuangan di Indonesia pada masa-masa awal pasca kemerdekaan. Ong Eng Die mampu membuktikan dirinya pantas disejajarkan dengan pakar eknomi lainnya, seperti Mohammad Hatta, atau Sjafruddin Prawiranegara.
Ong Eng Die dilahirkan di Gorontalo, pada 20 Juni 1910, dari pasangan Teng Hoen dan Soei Djok Thie. Tidak banyak informasi mengenai masa kecil Wang Yongli (sapaan akrab Ong Eng Die). Namun diperkirakan ia menempuh pendidikan di sekolah milik pemerintah Belanda hingga tingkat menengah. Pada 1930-an, saat memasuki usia sekitar 20 tahun, Wang Yongli memutuskan untuk pergi ke Belanda, melanjutkan studinya.
Thee Kian Wie dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, menyebut bahwa pada 1940, Wang Yongli tercatat sebagai salah satu sarjana yang lulus dari Fakultas Ekonomi di Universiteit van Amsterdam. Pada 1943, Wang Yongli berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dan mendapat gelar Ph.D untuk disertasinya: Chineezen in Nederlands-Indie een Socigrafie van een Indonesische Bevolkings Group.
Selama dua tahun, setelah memperoleh gelar doktoralnya, Wang Yongli memilih untuk berkarir di Belanda. Kemudian pada 1945, ia memutuskan pulang ke Indonesia. Di dalam negeri, Bank Pusat Indonesia di Yogyakarta menjadi pilihan Wang Yongli untuk menambah pengalamannya di bidang ekonomi. Ia berkarir di sana hingga tahun 1947.
Baca juga: Peran Tionghoa dalam Kemiliteran
Nama Ong Eng Die sebagai lulusan Universitet van Amsterdam mulai terdengar pada 1947. Di tahun yang sama ia juga mulai mendekatkan dirinya pada dunia perpolitikan. Perjalanan pertama di dunia barunya ini terjadi ketika ia ditunjuk sebagai Menteri Muda Keuangan, mendampingi Menteri Keuangan AA Maramis pada era kabinet Amir Sjarifuddin I.
Saat Amir Sjarifuddin membentuk kembali kabinetnya, Kabinet Amir Sjarfuddin II (11 November 1947 – 29 Januari 1948) Wang Yongli masih tetap dipercaya di jabatan yang sama, yakni Menteri Muda Keuangan. Pada masa-masa ini, kata Setyautama, Wang Yongli dipercaya menjadi penasehat ekonomi untuk beberapa pertemuan dengan delegasi luar negeri.
“Beliau adalah salah satu penasehat ekonomi delegasi Indonesia pada saat perundingan Renville,” tulisnya.
Pada 1950-an, Wang Yongli bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia). Saat Ali Sastroamidjojo membentuk kabinetnya (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955), Wang Yongli ditunjuk sebagai Menteri Keuangan. Namun meski jabatan telah dipegangnya, kebijakan ekonomi saat itu lebih didominasi oleh keputusan Sjafruddin Prawiranegara, Djuanda Kartawidjaja, dan para pakar lainnya. Hal itu dilakukan untuk mempersiapkan PNI dalam menghadapi Pemilihan Umum 1955.
Namun selama masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan, terjadi sejumlah permasalahan yang cukup merugikan negara. Bersama dengan Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai Menteri Perekonomian, Wang Yongli disebut hanya membuat kebijakan yang menguntungkan PNI saja. Antara lain dengan mengeluarkan surat izin devisa atau lisensi impor. Pada 1954, jumlah perusahaan impor lokal meningkat lebih dari 2.000 buah. PNI meraup banyak keuntungan dari pemberian lisensi tersebut.
“Lisensi istimiwa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI,” tulis Soebagijo IN dalam biografi Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang.
Setelah meletakkan jabatannya, Wang Yongli masih banyak mengurusi masalah perekonomian sebagai seorang penasehat. Ia memiliki beberapa kantor akuntan, sambil menjalankan berbagai kegiatan kepartaiannya di PNI. Tahun-tahun berikutnya masih dihabiskan Wang Yongli sebagai salah satu pakar eknomi Indonesia. Meski mulai banyak masyarakat yang mencibir karena kasus-kasus selama ia menduduki jabatan menteri.
Pada 1964, ia memilih kembali ke Amsterdam. Di sana, bersama keluarganya, Wang Yongli menjalankan sebuah bisnis. Setelah tinggal cukup lama di luar negeri, kabar kematiannya tidak dapat dipastikan dengan jelas. Tidak ada cukup data yang menjelaskan hal tersebut.
Baca juga: Kuliner Tionghoa di Nusantara
Siauw Giok Tjhan
Siaw Giok Tjhan dikenal luas sebagai seorang politikus yang aktif pada era pemerintahan Sukarno. Ia terlibat dalam berbagai peristiwa dan berkontribusi cukup besar bagi orang-orang Tionghoa dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Siaw Giok Tjhan dilahirkan di Kapasan, Surabaya, Jawa Timur, pada 23 Maret 1914, dari pasangan Siaw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio. Ia menerima pendidikan dasar di THHK (Tionghoa Hoa Hwee Koan) dan ELS (Europeesch Lagere School). Kemudian melanjutkan sekolah menengah pada 1927 di HBS (Hogere Burger School), Surabaya.
Tercatat dalam biografinya, Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot, ia telah terlibat aktif di banyak organisasi sejak usianya masih terbilang muda, yakni 18 tahun. Pada usia tersebut Siaw Giok Tjhan masuk Partai Tionghoa Indonesia, di bawah pimpinan Liem Koen Hian. Pada 1933, ia memulai perkenalan pertamanya dengan jurnalistik sebagai pekerja di harian Sin Tit Po di Surabaya.
Pada 1934 Siauw Giok Tjhan mulai aktif menulis di harian Matahari. Di bawah naungan Kwee Hing Tjat di Semarang, ia makin mahir dalam dunia tulis-menulis ini. Kemudian ketika Kwee Hing Tjat meninggal, Siauw Giok Tjah dipercaya meneruskan kepemimpinan harian Matahari. Namun ketika Jepang mulai berkuasa pada 1942, harian yang memulai debutnya dari Sin Jit Po ini terpaksa harus tutup.
Selama masa pendudukan Jepang, Siauw Giok Tjhan banyak menghabiskan waktunya di Malang. Ia aktif di AMT (Angkatan Muda Tionghoa) dan Palang Biru yang difasilitasi oleh Jepang. Pada 1945, ia mulai bergabung dalam partai yang lebih besar, yaitu PSI. Siauw Giok Tjhan menjadi salah satu anggota partai yang sangat aktif berkontribusi sehingga pada 1946 ia ditunjuk menjadi anggpta KNIP.
Baca juga: Tionghoa dalam Sumpah Pemuda
Pada 1947, Sjahrir mengajak Siauw Giok Tjhan ke Inter Asian Conference di New Delhi, India. Di tahun yang sama juga, ia diangkat menjadi Menteri Urusan Minoritas (Tionghoa) dalam Kabinet Amir Sjarifuddin. Melalui jabatannya ini Siauw Giok Tjhan semakin memantapkan dirinya dalam perpolitikan di Indonesia. Pada 1949 ia tercatat sebagai anggota DPR RIS. Keaktifannya di dunia politik diimbangi oleh kegemarannya dalam menulis. Siauw lalu mendirikan surat kabar Harian Ra’jat pada 1953.
Pada 1954, bersama 44 tokoh Tionghoa, Siauw Giok Tjhan mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Ia terpilih sebagai ketua umum organisasi masyarakat keturunan Tionghoa tersebut. Di sana ia mulai aktif menyuarakan persamaan hak bagi warga negara dan anti diskriminasi.
“Keputusan untuk menasakomisasi kepemimpinan Baperki mulai dari Komite Pusat hingga cabang-cabang adalah sebuah konsekuensi dari posisi Baperki yang diformulasikan dalam Kongres VI di Surabaya. Posisi tersebut adalah bahwa perjuangan untuk memecahkan masalah kewarganegaraan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk membantu perkembangan sebuah masyarakat Pancasila yang menjalankan dasar-dasar Pancasila dalam urusan kehidupan sehari-hari,” ucap Siauw Giok Thjan seperti dikutip Leo Suryadinata dalam Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.
Namun segala bentuk kegiatan Baperki dianggap berbahaya bagi sebagian pihak. Terutama ketika mereka mulai aktif membuat tulisan di koran Republik. Oleh karenanya pada November 1965, Siauw Giok Tjhan ditahan. Pada 1978, atas bantuan Adam Malik, ia dibebaskan karena alasan kesehatan. Ia lalu menghabiskan waktunya di Belanda. Siauw Giok Tjhan wafat pada 20 November 1981 akibat serangan Jantung.
Lie Kiat Teng
Tidak banyak narasi sejarah bangsa ini yang menyebutkan sosok Lie Kiat Teng. Seolah tidak ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama tokoh Muslim dari etnis Tionghoa ini. Namun sebenarnya keberadaan Lie Kiat Teng cukup berpengaruh di dalam sejumlah peristiwa, terutama dalam kurun masa 1950-an hingga 1960-an.
Lie Kiat Teng dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, pada 17 Agustus 1912. Sejak kecil, ia telah mendapat pendidikan yang cukup baik dari keluarganya. Ia menyelesaikan sekolah tingkat dasar dan menengahnya di sekolah milik pemerintah Belanda. Lie Kiat Teng lalu mengikuti studi lanjutan di Surabaya, di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), sekolah pendidikan dokter yang dikhususkan bagi orang-orang pribumi. Lie Kiat Teng sendiri mampu menyelesaikan studinya, dan memperoleh gelar “Dokter Djawa” pada 1930-an.
Setelah lulus, Lie Kiat Teng bekerja sebagai dokter pemerintah di Curup, Bengkulu. Lalu pernah diangkat menjadi dokter di Rumah Sakit Pusat Perkebunan di Waringin Tiga. Ia juga sempat menjadi dokter di tambang emas Rejang Lebong, Bengkulu. Sejak lulus karirnya memang lebih banyak dihabiskan di lembaga kesehatan milik pemerintah Belanda.
Baca juga: Tionghoa Main Sepakbola di Surabaya
Selama masa awal periode kemerdekaan, Lie Kiat Teng menduduki jabatan dokter keresidenan di Palembang, Sumatera Selatan. Ketika berpraktek di Sumatera inilah, Lie Kiat Teng berkenalan dengan agama Islam. Sebenarnya interaksi Lie Kiat Teng dengan Islam sudah terjadi cukup lama karena memang orang-orang di sekitarnya banyak yang beragama Islam. Namun keyakinannya untuk memeluk Islam baru benar-benar muncul pada 1946. Ia lalu mengubah namanya menjadi Mohammad Ali.
Memasuki tahun 1950-an, Mohammad Ali memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter karesidenan. Pada masa ini juga ia mulai aktif berpolitik. Mohammad Ali ikut menjadi bagian dari PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), sebagai kepala bagian ekonomi. Meski telah terjun ke dunia politik, Mohammad Ali tetap berpraktek sebagai dokter. Ia memilih untuk tidak terikat dengan instansi pemerintah dan membuka praktek dokter secara swasta.
Ketika Ali Sastroamidjojo membentuk kabinet (1953-1955), Mohammad Ali ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan, menggantikan FL Tobing dari SKI. Namun jabatan di lembaga eksekutif dalam pemerintahan ini tidak hanya sekali saja diemban Mohammad Ali. Pada kabinet selanjutnya, Kabinet Burhanudin Harahap (1955-1956), ia masih tetap dipercaya dalam jabatan Menteri Kesahatan.
“Ia (Mohammad Ali) berjasa mendirikan rumah sakit Mohammad Husni di Palembang,” tulis Setyautama.
Baca juga: Kiprah Tionghoa dalam Olahraga
Tambahkan komentar
Belum ada komentar