Mengenang Aristides Kattopo, Si Lawan Tanding Rezim Orde Baru
Aristides Kattopo pernah diasingkan pemerintah Soeharto karena pemberitaannya. Namun itu tidak menjadikannya berubah menjadi seorang pesimis.
PANGLIMA Kopkamtib Jenderal Soemitro dan Menteri Penerangan Boediardjo resah akibat ulah seorang jurnalis bernama Aristides Katoppo. Redaktur pelaksana harian Sinar Harapan (SH) itu kerap membuat panas telinga penguasa lewat berita investigatifnya. Di masa Orde Baru, SH gencar menguak korupsi anggaran hingga gratifikasi terhadap pejabat negara. Soemitro kemudian mencabut surat izin cetak SH. Sementara Artistides, terpaksa dikirim ke Amerika Serikat. Itu terjadi pada awal 1973.
“Beliau (Aristides) sudah dalam daftar hitam yang tidak mungkin lagi duduk di kursi redaksi tapi masih berpengaruh,” tutur Atmadji Sumarkidjo mantan kolega Aristides di SH dalam diskusi mengenang Aristides Katoppo bertajuk “Nurani Jurnalis di Tengah Ketidakpastian” di auditorium Perpustakaan Nasional, 8 November 2019.
Pilihan mengisolasi Aristides dirasa tepat bagi Soemitro. “Manusia ini tidak bisa kita kendalikan,” kata Soemitro ditirukan Atmadji. Setelah "membungkam" Tides, pemerintah memberikan izin cetak kembali bagi SH.
Membagi Ilmu
Aristides Katoppo – akrab disapa Tides – lahir di Tomohon, Sulawesi Utara 14 Maret 1938. Karier jurnalistiknya dimulai sebagai wartawan di kantor berita Biro Pers Indonesia. Di samping itu, Tides juga menyambi jadi kontributor New York Times dan kantor berita Associated Press. Malang melintang di pers dalam dan luar negeri mengukir mental jurnalis Tides jadi semakin matang.
Pada 1961, Tides ikut mendirikan harian sore Sinar Harapan. Tides didapuk sebagai redaktur pelaksana. Di bawah asuhan Tides, SH menjadi koran yang dikenal berani dan cukup kritis dalam menyoroti kebijakan pemerintah. Puncaknya terjadi ketika SH memberitakan anggaran belanja negara yang belum disetujui DPR. Tides yang dianggap bertanggung jawab atas pemberitaan itu harus menerima konsekuensi. Pemerintah lantas “membuangnya” ke luar negeri.
Baca juga: Asad Shahab, Jurnalis Arab Pro Republik
Selama masa pengasingan, Tides mengisi waktu dengan melanjutkan studi di Stanford University. Paruh kedua 1970, Tides pulang ke Indonesia. Pemerintah enggan memperkenankan Tides masuk kembali ke jajaran SH. Kendati tidak lagi menentukan kebijakan redaksi, dari balik layar Tides membagikan ilmunya kepada awak SH yang lebih muda.
“Dengan caranya, dia manggil kita yang junior kemudian diberi ‘racun-racun’ mengenai bagaimana praktik jurnalistik yang sebenarnya dan bagaimana caranya untuk tetap memegang asas-asas jurnalistik murni,” kata Atmadji.
Tides sadar bahwa dirinya dipaksa mundur oleh pemerintah agar berhenti bersuara lantang. Namun untuk tetap bersuara, Tides mengkader anak-anak asuhnya. Salah satu jurnalis binaan Tides ialah Panda Nababan. Kelak, Panda menjadi salah seorang wartawan terbaik jebolan SH yang punya spesialisasi dalam reportase investigasi.
Jurnalis Idealis
Dalam menggeluti profesinya, Tides mengusung visi memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kebenaran. Dia tidak selalu mengedepankan berita dua sisi (cover both sides) melainkan semua sisi (all sides). Menurut Tides jurnalisme damai menuntut wartawan untuk menyajikan berita yang menggugah, bukan menggugat; berita yang memberikan harapan; berita yang menyebarkan semangat. Awak-awak SH lintas generasi mengenang Tides yang kata-katanya selalu memotivasi:
"Jangan hilang harapan, karena pada saatnya hanya itulah yang kita miliki".
Hal yang sama dikenang oleh para wartawan yang sezaman dengan Tides. Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut Tides sebagai jurnalis idealis yang mengandalkan prinsip 4 N: nalar, naluri, nurani, dan nyali. Sementara itu menurut Atmadji, Tides selalu mengajarkan wartawannya memberitakan sesuatu secara terus terang (straight forward). Dia menekankan satu berita sebaiknya ditulis dengan banyak sumber dan bukan satu sumber banyak berita.
Baca juga: Berita Berujung Pidana
“Kalau rumusan sederhana dari Aristides itu dipegang saya rasa SH tidak dibredel tahun 1986” ujar Atmadji. Breidel tersebut mengakibatkan SH dilarang terbit selama 15 tahun
Setelah tidak lagi punya kedudukan di SH, Tides bergerak di penerbitan Sinar Agape Press. Di penerbitan itu, Tides mewawancarai banyak tokoh-tokoh sejarah. Mereka yang berhubungan dengan Tides mulai dari pejabat politik hingga petinggi militer untuk kepentingan penulisan biografi dan otobiografi. Keputusan ini tidak salah karena Tides punya jadi punya posisi tawar ke berbagai lini.
“Itu satu keputusan yang sangat strategis,” kata jurnalis senior Tempo, Bambang Harymurti.
“Dulu banyak wartawan kalau lihat Jenderal Benny Moerdani itu takut, baru dilirik aja bisa lari ke WC,” kenang Bambang, “Tapi Bang Tides engga, dia bisa jokes. Apalagi bisa ngomong bahasa Belanda.”
Baca juga: Barisan Jenderal Sahabat Wartawan
Menurut Bambang, Tides bisa membedakan antara lawan tanding dengan musuh. Bagi Tides, orang-orang yang dulu membreidel korannya atau yang mengasingkannya bukan dipandang sebagai musuh melainkan lawan tanding. Inilah yang membuat reputasi Tides cukup dihargai oleh penguasa sebagai pembangkang yang dapat ditoleransi.
“Bang Tides juga optimis orangnya. Optimis selalu. Lawan Pak Harto meski dibuang tetap optimis. Paling enggak, beliau pernah bilang ‘pasti saya menang adu umur’, kenang Bambang.
Tides membuktikannya. Dalam usia 81 tahun, dia wafat pada 29 September 2019, 11 tahun usai Soeharto mendahuluinya. Dedikasinya terhadap profesi jurnalis menjadi catatan penting dalam sejarah pers Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar