Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan
Mahkamah rakyat bukan barang baru, baik di isu-isu internasional maupun Indonesia. Wacananya muncul lagi sebagai alternatif pengungkapan kebenaran.
SENGKETA Pemilihan Presiden (Pilpres) dalam Pemilu 2024 masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun sebagian masyarakat sipil masih trauma dan meragukan hasil putusan MK, mengingat MK sendiri sempat tercoreng reputasinya, sehingga memunculkan lagi mahkamah rakyat sebagai “alternatifnya”.
Aktivis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan, hingga saat ini MK masih terekam di memori publik sebagai bagian dari problem soal hukum pemilu itu sendiri. Padahal, MK sebagai institusi formal sejatinya punya posisi menyelesaikan masalah hukum dalam rangka menegakkan keadilan pemilu agar otentik, murni, dan tidak cacat.
“Proses Pemilu 2024 akan berbeda kalau perselisihan pemilu itu tidak berkaitan dengan problematika yang diakibatkan oleh MK itu sendiri. Jadi inilah salah satu dilema terbesar keadilan Pemilu 2024 karena institusi formal yang diberi tugas menyelesaikan masalah hukum pemilu itu adalah bagian dari masalah hukum itu sendiri, yaitu adanya Putusan 90,” ujar Titi dalam diskusi publik daring bertajuk “Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?” yang diinisiasi Forum Diskusi Demokrasi Rakyat pada Senin (15/4/2024) petang.
Terlepas dari dugaan kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan, Putusan 90 atau Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia pasangan calon presiden-wakil presiden, menjadi fondasi perselisihan hasil Pilpres 2024. Maka wacana mahkamah rakyat dengan partisipasi kalangan masyarakat sipil menjadi relevan untuk mengungkapkan kebenaran dan mengawal pemilu yang genuine.
“MK memang mengeluarkan Putusan No. 141/2023, di mana MK mengkoreksi pendirian hukumnya soal usia pasangan calon presiden-wakil presiden dengan mengembalikan sebagai kebijakan hukum terbuka tapi MK tetap pragmatis dengan menyatakan (batasan) usia itu adalah open legal policy tetapi diberlakukan untuk 2023 melainkan berlakunya 2029,” imbuhnya.
Oleh karenanya, tetap ada “cacat” pada Pemilu 2024. Sebab, kredibilitas MK-nya bermasalah.
“Jadi saya kira, pilihan mahkamah rakyat itu menjadi pilihan yang relevan dan logis di tengah masih ada keraguan kita pada institusi formal yang diberi tugas untuk menyelesaikan masalah hukum pemilu yang notabene ternyata institusi formal itu juga menjadi bagian dari problem hukum pemilu yang terjadi. Apalagi kemudian masalah hukum pemilu itu juga melibatkan institusi formal lainnya yang bertugas menangani ketentuan soal birokrasi dan juga perangkat desa yang seharusnya netral,” tambah Titi.
Baca juga: Serba-serbi Politik Gentong Babi
Memang, menurut Titi, mahkamah rakyat atau yang dikenal juga dengan sebutan People’s Tribunal, secara otoritas hukum tidak akan mempengaruhi keputusan hukum lembaga pemerintah. Namun karena berangkat dari gerakan masyarakat sipil, mahkamah rakyat punya otoritas moral yang setidaknya bisa menjaga memori dan kewarasan berpikir soal perbaikan pemilu ke depan.
Menilik sejarahnya, Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyinggung bahwa mahkamah rakyat bermula dari kasus-kasus kejahatan perang dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Berangkatnya dari tokoh intelektual dan filsuf Inggris, Bertrand Russell, yang memprakarsai International War Crimes Tribunal atau kondang disebut Russell-Sartre Tribunal pada 1966.
“Inisiatif yang digagas Russell ini digelar dalam suatu sesi yang sangat besar di Stockholm (Swedia) dan juga di Copenhagen (Denmark) pada 1966-1967. Digelar untuk mengadili kejahatan perang terhadap rakyat Vietnam pada 1960-an dan bertahun-tahun kemudian untuk mengadili kejahatan perang terhadap rakyat di Palestina. Ini semacam mahkamah ‘semi-resmi’ yang memang digelar tokoh-tokoh terkemuka dari mulai filsuf, ilmuwan, politisi, penulis, sampai dengan pengacara,” urai Usman.
Mahkamah rakyat menampung apa yang tak bisa ditampung institusi pengadilan formal.
“Pengadilan ini bertujuan untuk mengadili atau mendengarkan seluruh bukti, termasuk keterangan saksi dan keterangan ahli yang berkaitan dengan intervensi Amerika di Vietnam. Dan tujuannya dari persidangan ini adalah untuk menentukan apakah telah terjadi kejahatan internasional di dalam Perang Vietnam. Apakah Amerika terbukti bersalah telah melakukan kejahatan perang dan dengan kata lain, melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana internasional di dalam Perang Vietnam (1955-1975),” lanjutnya.
Baca juga: Dagelan Hukum The Trial of the Chicago 7
Masyarakat sipil dan intelektual yang terlibat dalam investigasi dan persidangan Russell Tribunal itu yakni dua sastrawan dan filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir; akvitis HAM Yugoslavia Vladimir Dedijer, aktivis HAM Amerika Serikat Ralph Schoenman, aktivis dan jurnalis Polandia, Isaac Deutscher, jurnalis dan filsuf Jerman Günther Anders, dan politikus cum pengacara Italia Lelio Basso. Nama terakhir kemudian pada 1979 membidani kelahiran organsasi HAM internasional Permanent People’s Tribunal di Bologna, Italia.
“Russell Tribunal ini dipandang oleh banyak sarjana HAM, sarjana hukum internasional, hukum pidana internasional, hubungan internasional, itu sebagai suatu mahkamah yang paling berhasil melakukan dokumentasi paling komprehensif mengenai kejahatan perang yang dilakukan Amerika selama fase awal Perang Vietnam. Russell Tribunal ini kemudian menjadi sebuah yurisprudensi yang dijadikan instrumen kebijakan permanen bagi gerakan masyarakat sipil di berbagai negara untuk menggelar inisiatif serupa. Salah satu yang paling berhasil adalah yang digelar oleh Lelio Basso dengan mahkamah rakyat yang bersifat permanen di Italia,” tambah Usman.
Indonesia, lanjut Usman, bisa menorehkan catatan atau bisa membuat sebuah yurisprudensi seperti Russell Tribunal untuk kejahatan atau isu-isu ketidakadilan pemilu. Mungkin mahkamah rakyat ini ke depan bisa menyerukan agar para pemimpin lembaga penyelenggaran negara, baik itu lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, untuk menghormati penyelenggaraan pemilu yang bebas, jujur, adil, sekaligus menghormati etika kejujuran, etika kebenaran, etika keadilan. Karena kalau tidak, maka penyalahgunaan prinsip-prinsip itu bisa dianggap sebagai subversi terhadap konstitusi.
“Ini saya kira satu wacana yang sangat penting untuk direalisasikan. Bisa sebelum putusan MK, bisa juga setelah putusan MK, bisa tentang kejahatan pemilu saja, bisa juga tentang berbagai kejahatan kemanusiaan di Indonesia, di Papua, di manapun, sebagai sebuah pre-emptive justice, keadilan yang ingin didahulukan karena keadilan yang resminya dikhawatirkan tidak membawa keadilan. Jadi saya kira mahkamah rakyat ini adalah sebuah upaya keadalan preventif untuk mempengaruhi dinamika politik di Indonesia agar bisa mengoreksi segala penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang merusak mutu sekaligus juga integritas pemilu Indonesia, khususnya pemilihan presiden Indonesia,” papar Usman.
Baca juga: Penyintas Ianfu Menuntut tanpa Rasa Takut
Mahkamah rakyat juga bukan barang baru bagi kalangan masyarakat sipil Indonesia. Setidaknya ada tiga gelaran mahkamah rakyat, di mana Indonesia juga terlibat di dalamnya.
“Ada (mahkamah internasional) terkait Jugun Ianfu soal penyiksaan seksual terhadap perempuan di masa pendudukan Jepang. Itu di Tokyo Tribunal (2000) dan Indonesia termasuk case sebagai korban. Kedua itu Citizen’s Tribunal di Sydney (Australia) terkait pembantaian berdarah di Biak dan ketiga, International People’s Tribunal (IPT) terkait kasus 1965 di Indonesia,” timpal akademisi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Sri Lestari Wayhuningroem.
Sri Lestari Wahyuningroem yang akrab disapa Ayu itu juga terlibat dalam dua kasus terakhir di atas. Pun sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Asvi Warman Adam, juga terlibat sebagai salah satu saksi ahli di IPT 1965 yang digelar di Den Haag, Belanda (10-13 November 2015).
“Ya karena tidak aman di Indonesia dan kemudian juga mungkin izinnya tidak bisa diperoleh atau tidak bisa dilakukan di Indonesia. Dan Den Haag itu memang secara historis pengadilan-pengadilan HAM beberapa kali diadakan di Den Haag dan kemudian di sana dilakukan dengan aman, tidak ada yang demo dll,” ungkap Asvi.
Hasilnya, imbuh Asvi, Indonesia dalam konteks entitas negara dinyatakan bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada 1965 dan ribuan orang yang direnggut hak kewarganegaraannya. Itu merupakan kekerasan terhadap kemanusiaan. Poin lainnya adalah, adanya keterlibatan Amerika, Inggris, dan Australia dalam derajat yang berbeda.
Memang putusan itu tidak punya dampak hukum apapun. Namun karena sudah menjadi perbincangan publik internasional, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggapinya.
“Tahun 2016 bulan April, untuk pertamakalinya Indonesia dengan anggaran pemerintah itu menyelenggarakan Simposium 1965. Jadi pemerintah itu memberikan tanggapan walau simposium itu sengaja diganjal lagi, ada simposium tandingan yang dilakukan oleh tentara sebulan kemudian. Tapi terlepas dari itu, bahwa ini diperhatikan oleh pemerintah dan ini juga jadi catatan sejarah karena laporan akhir ‘International People’s Tribunal on Crimes Against Humanity in Indonesia 1965’ ini suatu bahan yang tercatat dalam sejarah. Jadi orang bisa menilai sendiri bahwa benar ada atau tidak pelanggaran HAM berat ini,” terangnya.
Mahkamah Rakyat untuk Kecurangan Pemilu
Dalam konteks pemilu, negeri jiran Malaysia bisa jadi contoh paling dekat. Kalangan masyarakat sipil Malaysia yang diprakarsai koalisi aktivis Gabungan Pilihanraya Bersih dan Adil (Bersih) memantik Bersih People’s Tribunal atau Mahkamah Rakyat Bersih untuk menginvestigasi kecurangan Pemilu ke-13 pada 2013 oleh koalisi Barisan Nasional.
“Uniknya pada waktu itu anggotanya yang ikut mengusut salah satunya pakar pemilu dari Indonesia, Prof. Ramlan Surbakti. Jadi kawan-kawan Bersih mengadakan People’s Tribunal untuk Pemilu ke-13 Malaysia pada 2013 yang salah satu anggota majelis itu adalah Ramlan Surbakti. Karena tadi, karena ingin memastikan bahwa penilaian itu hadir dari para pakar, dari pihak yang tidak terlibat dalam benturan kepentingan ketika institusi formal itu dianggap tidak cukup meyakinkan akan mampu melahirkan keadilan pemilu,” sambung Titi.
Mahkamah rakyat itu kemudian mengeluarkan rekomendasi-rekomendasinya berupa “Findings of the People’s Tribunal on Malaysia’s 13th General Elections”. Walau tidak berdampak secara hukum, mahkamah rakyat seperti yang dihelat masyarakat sipil di Malaysia setidaknya menjadi sebuah gerakan moral, ia selalu menunjukkan eksistensi bahwa institusi formal dan kekuasaan yang ada tidak bisa sewenang-wenang karena masyarakat selalu hadir untuk memberikan pengawasan.
“People’s Tribunal ini mengumpulkan puzzle-puzzle itu menjadi satu puzzle utuh, di mana kita bisa melihat pemilu kita itu secara menyeluruh. Dan yang penting dari People’s Tribunal ini, dia melihat pemilu lebih menyeluruh dengan pendekatan asas prinsip yang diterapkan secara konsisten, tidak dipengaruhi oleh kekuasaan dan melahirkan rekomendasi yang menurut saya rekomendasi yang otentik dan ini menjadi bagian dari benteng kita karena kita punya pilkada ke depan untuk kemudian tidak lagi amnesia politik dan amnesia demokrasi dengan pendekatan propaganda isu yang sering sekali muncul,” tambahnya.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Kendati tidak mudah, wacana ini bukan mustahil diadakan di Indonesia. Menurut Ayu, salah satu faktor terpentingnya: ruang internasional dan rujukan hukum internasional. Terlebih sengketa Pilpres 2024 juga sudah mendapat perhatian Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mempertanyakan dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan intervensi presiden yang mempengaruhi proses pemilu secara tidak semestinya.
“Perangkat hukum internasional harus jadi referensi. Ruang internasional juga menjadi penting karena kalau kita hanya mencantolkan pada relevansi domestik, justru di situ yang terkorupsi sehingga kemarin PBB sudah membuat statement yang saya pikir cukup efektif karena dia justru mempertanyakan kualitas demokrasi Indonesia di ruang internasional,” ujar Ayu.
Oleh karenanya menjadi urgent jika mahkamah rakyat diselenggarakan, mesti melibatkan tokoh-tokoh yang tidak hanya netral, bersih, dan non-kepentingan pada pihak manapun tetapi juga yang diakui ketokohannya di lingkup internasional atau minimal di kawasan regional. Seperti yang dilakukan Bersih dengan melibatkan banyak figur yang diakui reputasi dan akuntabilitasnya ketika menghelat mahkamah rakyat soal kecurangan Pemilu Malaysia 2013.
“Orang-orang yang dilibatkan harus kredibel yang secara politik, historis, sosial, itu bersih. Jangan sampai jadi backlash. Tadinya ini gerakan populer menjadi gerakan yang justru tidak populer dan dimanfaatkan untuk mendeligitimasi dari tribunal ini. Legitimasi menjadi penting untuk didapat dengan cara-cara yang terbuka, transparan, dan juga melibatkan orang-orang yang relatif akuntabel dan bersih. Harus juga membuka ruang bagi siapapun yang merasa haknya dirugikan atau punya informasi tentang kecurangan bisa datang by voluntary atau sukarela,” tandas Ayu.
Baca juga: Empat Pilpres Kontroversial Amerika
Tambahkan komentar
Belum ada komentar