Lima Bulan Sukarno di Padang
Gagal dibawa Belanda ke Australia, Sukarno terdampar di Padang selama lima bulan.
PERTENGAHAN Februari 1942, Belanda terdesak oleh Jepang. Belanda ingin membawa Sukarno yang diasingkan di Bengkulu ke Australia dengan kapal yang disiapkan di Padang. Dikirimlah utusan menjemput Sukarno di Bengkulu.
Untuk mengakses Padang, mereka menempuh jalur darat dari Bengkulu. Melewati kampung hingga rimba raya agar tidak diketahui Jepang. Namun, Belanda mendapat informasi Jepang telah menguasai Padang. Sehingga Sukarno dan keluarga tidak jadi dibawa sebab pejabat dan tentara Belanda menyelamatkan diri masing-masing.
Mestika Zed, sejarawan Universitas Negeri Padang mengatakan, Belanda buru-buru membawa Sukarno ke Padang agar tidak jatuh ke tangan Jepang. “Belanda khawatir, jika nantinya Sukarno dimanfaatkan Jepang untuk tujuan propaganda anti-Belanda,” ujar Mestika. Kegagalan Belanda membawa Sukarno ke Australia, membuat Sukarno terdampar di Padang selama lima bulan.
Dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitar karya Mestika Zed, Emizal Amri dan Edmihardi, dijelaskan sesampainya di Padang, Sukarno bersama Inggit, awalnya menginap di rumah Egon Hakim. Kemudian mereka pindah ke rumah kawan lama orang Manado, Waworuntu.
Keberadaan Sukarno segera diketahui intel Jepang. Dikirimlah beberapa orang untuk menemui Sukarno, salah satunya, Kapten Sakaguci, perwira Sendenbu (Departemen Propaganda) Jepang.
Sukarno melihat kehadiran Jepang dielu-elukan oleh rakyat. Di jalanan rakyat meneriakan “Merdeka, Banzaai, Hidup Jepang.” Sukarno merasakan euforia rakyat menyambut Saudara Tua yang akan membebaskan Saudara Muda.
Mestika menambahkan, saat berjalan-jalan di sepanjang jalan kota, Sukarno juga menyaksikan dengan mata telanjang banyak orang-orang yang terlantar, lemah, dan tidak dapat perlindungan secara wajar. “Sebagai penganjur kebebasan yang baru saja bebas dari penjara Belanda, Sukarno kembali memulai kegiatan pergerakan yang telah lama ditinggalkan,” tukasnya.
Sukarno paham akan harapan rakyat, tapi dia juga tahu sewaktu-waktu kekejaman tentara Jepang tidak terhindarkan. Di kota terbesar pantai barat Sumatera ini, Sukarno memilih jalan bekerja sama dengan Jepang. Dia berperan dalam mendirikan Komite Rakyat, organisasi penjaga ketertiban dan keamanan yang direstui Jepang. Kemudian juga didirikan Badan Keamanan Rakyat versi Jepang.
Sukarno juga memberikan solusi untuk memenuhi kebutuhan seksual tentara Jepang dengan menyerahkan 120 pekerja seks komersial. Kepada tokoh adat dan agama, Sukarno mengatakan bahwa tujuannya “semata-mata sebagai tindakan darurat, demi menjaga para gadis kita, aku bermaksud memanfaatkan para pelacur di daerah ini. Dengan cara ini, orang-orang asing dapat memuaskan keinginannya dan sebaiknya para gadis tidak diganggu.” Perempuan yang dipaksa melayani tentara Jepang disebut ianfu.
Selain menyokong Jepang, Sukarno juga pernah meminta kepada Kapten Sakaguci untuk membatalkan perintah penurunan bendera merah putih. Kendati ditolak, dia semakin dipandang Jepang sebagai perwakilan rakyat. Dia semakin hadir di tengah tokoh pergerakan lainnya di Sumatera Barat.
Tiga hari berselang, Sakaguci menemuinya, menyampaikan pesan Komando Balatentara Dai Nippon Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi. Dalam perjalanan ke Bukittinggi, kecintaan rakyat Sumatera Barat kepada Sukarno semakin menabal. Di setiap stasiun pemberhentian kereta api, dia disambut bak pahlawan.
Sukarno disambut oleh Kolonel Fujiyama, komandan Gerakan F-Kikan, intelijen yang menyelusup ke Sumatera sebelum kejatuhan Belanda. Dalam dialog yang berlangsung dua jam itu, Fujiyama menyampaikan kepada Sukarno agar bersedia bekerja sama dengan Jepang.
“Di bawah tekanan psikologis yang berat, Sukarno terpaksa menerima tawaran Jepang itu. Suatu sikap yang dipegangnya hingga kembali ke Jakarta via kapal Jepang dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok,” ujarnya.
Pulang ke Jakarta, Sukarno membawa oleh-oleh dan yang penting adalah gagasan ketuhanan untuk sila pertama Pancasila dari Syekh Abdullah Abbas di Padang Japang, Kabupaten 50 Kota.
Pada 9 Juli 1942, Sukarno berlabuh di Tanjung Priok disambut Mohammad Hatta dan beberapa tokoh lainnya. Pasca Sukarno balik ke Jawa, Komite Rakyat yang didirikannya sebagai upaya mempersatukan kaum pergerakan tak berumur panjang. Jepang membubarkannya, karena mencium ada bau pergerakan bawah tanah.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar