Letusan Gunung Agung dan Pariwisata Bali
Sebagian orang Bali menduga Gunung Agung meletus karena upacara Eka Dasa Rudra dijadikan objek pariwisata.
SUTOPO Purwo Nugroho setidaknya dua kali menulis di akun twitter-nya tentang letusan Gunung Agung sebagai potensi wisata. Menurutnya, fenomena letusan gunung api adalah langka. Tak semua negara punya gunung api. Sedangkan Indonesia punya 127 gunung api aktif.
“Saat meletus dapat dinikmati wisatawan di tempat aman. Turis asing terpesona letusan Gunung Agung. Biarkanlah gunung bekerja, kita menyingkir dulu,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu.
Menurut Sutopo letusan gunung api dapat dinikmati sebagai karya Ilahi, jika masyarakat tidak panik, memahami informasi gunung api dengan baik, dan berada di tempat aman (daerah berbahaya di Bali hanya di radius 8-10 km dari puncak kawah).
Ajakan itu mengingatkan kembali pada peristiwa letusan Gunung Agung pada 1963. Saat itu, pemerintah daerah Bali dan pemuka masyarakat sepakat menggelar upacara Eka Dasa Rudra setelah 400 tahun tidak dilaksanakan. Upacara itu sebenarnya belum waktunya, tetapi diadakan karena insidental (padgata-kala).
Menurut I Gede Mugi Raharja, dosen Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali, upacara Eka Dasa Rudra dilaksanaan dengan pertimbangan sebagai pembayaran utang (penregteg) karena beberapa kali tidak pernah dilaksanakan pada pergantian abad, sejak abad ke-15. Upacara itu juga dimaksudkan sebagai pembersihan bumi (pemarisuda jagat) akibat bencana-bencana yang dialami Pulau Bali, seperti penjajahan Belanda, gempa 1917, Gunung Batur meletus 1926, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan dan Puputan Margarana.
“Eka Dasa Rudra pada hakikatnya adalah upacara memuja dan menyembah Hyang Widhi yang Maha Esa di sebelas arah (8 penjuru + titik tengah + atas + bawah), agar kekuatan-Nya yang Maha Dahsyat (Rudra), berubah kepada sifat sejati-Nya yang Maha Kasih dan Maha Luhur. Upacara ini pada intinya merupakan upacara kurban suci Bhuta Yadnya tertinggi yang dilaksanakan 100 tahun sekali, agar unsur-unsur alam senantiasa memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat, khususnya umat Hindu di Bali,” tulis I Gede Mugi Raharja dalam, "Makna Gunung Agung dalam Kebudayaan Bali," isi-dps.ac.id.
Rangkaian upacara Eka Dasa Rudra diselenggarakan pada 10 Oktober 1962 hingga 20 April 1963. Pemerintah pusat menjadikan upacara itu sebagai ajang untuk mendongkrak pariwisata Bali.
“Pemerintah memanfaatkan kesempatan itu untuk berpromosi, dengan mengundang para peserta konferensi biro perjalanan yang tengah berlangsung di Jakarta untuk datang ke upacara tersebut bersama Presiden Sukarno,” tulis Michel Picard dalam Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata.
Rangkaian upacara yang direncanakan akan berlangsung selama dua bulan itu hampir dihentikan oleh gejala-gejala awal letusan Gunung Agung. "Tanpa menghiraukan kekhawatiran berbagai pemuka agama, diputuskan untuk tetap melaksanakan upacara boleh jadi karena kepentingan nasional turut dipertaruhkan," tulis Picard.
Letusan yang dikhawatirkan itu terjadi di tengah pelaksanaan upacara. Gunung Agung meletus mulai 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Letusan paling dahsyat terjadi pada 17 Maret 1963, tiga hari sebelum Hari Raya Galungan. Akibatnya, seluruh bagian timur Bali porak-poranda, menelan ribuan korban jiwa, disusul bencana kelaparan dan wabah penyakit.
“Pemerintah konon mengundang wakil-wakil dari biro-biro perjalanan untuk terbang di atas Gunung Agung dan menikmati pemandangan yang megah atas letusan gunung tersebut,” tulis Picard. “Sebagian orang Bali pun menduga bahwa bencana itu adalah hukuman para dewata yang marah melihat upacara dijadikan komoditas pariwisata.”
Letusan gunung pernah jadi objek wisata ketika Gunung Krakatau meletus pada 1883. Biro pariwisata mengundang para pelancong dari Eropa untuk datang ke Hindia Belanda menyaksikan akibat dari bencana dahsyat itu.
“Pada Mei 1883 ada pengumuman di Klub Harmonie dan Concordia berupa iklan dari Netherlands Indies Steamship Company untuk perjalanan ke wilayah dekat dengan Gunung Krakatau yang baru meletus, menggunakan kapal Loudon. Biaya sebesar 25 gulden. Ada sekitar 86 penumpang yang ikut. Di antara mereka ada yang berani mendekat dengan perahu. Bahkan ada yang sempat mengambil foto,” ujar Ahmad Sunjayadi, sejarawan yang mendalami pariwisata era kolonial, kepada Historia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar