Leon Salim Bocah Pergerakan Nasional
Leon Salim sejak remaja ikut pergerakan nasional. Semakin tua dia semakin keras kepada asing.
MOHAMAD Noer dan Idroes pusing pada hari itu. Guru kelas dan guru kepala di Vervolgschool (Sekolah Sambungan) milik pemerintah di Danguang-Danguang itu harus menyambut kedatangan Inspektur Pendidikan Pribumi yang seorang Belanda.
Tiga siswa mereka dipanggil hari itu. Siswa-siswa itu dihadapkan ke inspektur Belanda tersebut.
“Mulai hari ini Tuan tidak boleh lagi bersekolah di sini. Tuan dikeluarkan. Tuan tidak akan diterima belajar di sekolah-sekolah gubernemen (pemerintah) karena tuan mendirikan dan memimpin Barisan Pemuda,” kata si inspektur kepada ketiga siswa tadi.
Ketiga siswa itu terkejut. Mereka tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Kejadian yang terkisah dalam Pengalaman Tak Terlupakan Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau itu terjadi pada 1925.
Ketiga siswa itu adalah Suhaemi, Damhuri Djamil, dan Leon Salim. Masa depan mereka terlihat suram hari itu. Leon Salim ingin segera lulus dan belajar di Noormal School (sekolah guru swasta). Namun pergerakan nasional, yang diikutinya, membuat masa depannya pada hari itu terancam. Selain dirinya, para guru di sekolahnya juga akan kecewa dengan nasib yang menimpanya.
“Adalah kebanggaan besar bagi sekolah dasar waktu itu, kalau muridnya diterima pada sekolah guru,” kenang Leon Salim, yang kelahiran Tiagakguak, Payakumbuh, Sumatra Barat pada 9 Maret 1912, di dalam Autobiografi Leon Salim Selaku Perintis Kemerdekaan.
Leon akhirnya berangkat ke Padangpanjang. Dia masuk Sekolah Rakyat swasta sambil belajar di madrasah. Di sini, Leon kembali aktif dalam Barisan Pemuda sebagai sekretaris II. Sikap Leon kepada pemerintah pun menjadi semakin keras.
Setelah Pemberontakan PKI 1927 di Silungkang gagal, Leon menjadi orang yang diawasi intel kolonial, dikenal sebagai Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Bahkan, dia pernah masuk penjara karena kegiatannya yang berseberangan dengan pemerintah kolonial. Selain di tahun 1930-an, pada 1942 dia dipenjara lagi.
Pada 1942, pemerintah kolonial ketakutan karena serbuan Jepang kian mendekat. Bersama lima kawannya, Leon ditangkap lagi. Mereka ditahan di Kotacane, Aceh.
“Kami juga anti-Jepang, kami dari Pendidikan Nasional Indonesia, partai Hatta-Sjahrir, jadi jelas kami anti-militer, anti-Jepang, dan sebagainya. Namun Belanda tidak berpikir sejauh itu,” ujar Leon dalam memoarnya yang dibukukan dengan judul Prisoners at Kota Cane.
Namun, penjara merupakan risiko bagi kaum pergerakan yang telah disadari sejak jauh hari oleh Leon dan kawan-kawan pergerakannya. Oleh karena itu, mereka tak kaget ketika masuk ke balik jeruji besi. Bahkan, masa awal di dalam penjara serasa menjadi liburan buat mereka.
“Saat kami bangun pagi ini, tubuh kami terasa lebih segar, dan pikiran kami lebih jernih dari biasanya. Sarapan kami yang dibawakan oleh seorang narapidana juga terasa enak bagi kami” kenang Leon.
Sebagai tahanan politik, Leon dan beberapa rekan pergerakannya tak disatukan dengan tahanan-tahanan narapidana. Namun, banyaknya waktu luang yang mereka miliki di dalam penjara mau tak mau mereka pergunakan juga untuk saling mengenal dengan para tahanan narapidana.
“Karena kami digolongkan sebagai tahanan politik, sikap terhadap kami agak berbeda dengan sikap terhadap orang lain. Kami lebih ‘bebas’ bergerak di dalam penjara, apalagi sebagian besar petugas di sana berasal dari Minangkabau. Kami menggunakan sebagian besar waktu luang kami hari itu dan hari-hari berikutnya untuk mengenal narapidana lain, dan dari mereka kami mendapat banyak informasi baru tentang apa yang terjadi di sekitar kami. Di bawah ini kami mencatat beberapa di antaranya. Seorang tahanan menceritakan kepada kami bahwa dia telah dipenjara selama dua tahun karena dituduh mencuri uang sebesar 45 sen. Seorang penjahit dipenjara karena dia sangat keberatan dipaksa membayar pajak sebesar f12.50 untuk pekerjaan sederhananya, dan oleh karena itu dia dijatuhi hukuman 1½ tahun penjara. Dia memprotes keras hukuman yang tidak adil tersebut. Dan karena dia berani memprotes Controleur, hukumannya digandakan menjadi tiga tahun, dengan pernyataan bahwa jika dia protes lagi, hukuman tiga tahun itu akan menjadi enam tahun. Bentuk hukuman ganda inilah yang menyebabkan banyak orang di wilayah tersebut menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara,” ujar Leon.
Leon baru dibebaskan setelah tentara Jepang menduduki Sumatra usai mengalahkan tentara Belanda. Leon bebas pada 26 Maret 1942.
Leon setidaknya sudah 17 tahun di dunia pergerakan nasional. Di era 1930-an, dia pernah ikut Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Pendidikan) yang dipimpin Mohamad Hatta dan Sutan Sjahrir. Selain itu, dia aktif di dunia jurnalistik dan tulisannya dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial.
Di zaman pendudukan Jepang, Leon mengorganisir para pemuda di Sumatera Barat. Bersama Chatib Sulaeman dan Mohamad Nasrun, Leon memimpin Pemuda Nippon Raya. Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 menyebut Pemuda Nippon Raya terhimpun dari berbagai perkumpulan pemuda di Sumatra Barat.
Pemerintah-pendudukan Jepang kemudian curiga pada Leon sehingga pada 14 November 1942 Leon ditangkap Kempeitai (polisi militer Jepang). Leon dituduh berpura-pura dekat dengan tentara Jepang.
Namun, Leon dan kawan-kawannya hanya ditahan seminggu. Organisasi Pemuda Nippon Raya pun kemudian dibubarkan.
Ketika tentara Jepang di Sumatra membentuk Giyugun (tentara sukarela), Leon terpikir untuk mendaftar. Namun Chatib Sulaeman berpendapat Leon lebih diperlukan di luar ketentaraan. Leon kemudian ikut membentuk Giyugun di Bukittinggi. Setelah proklamasi kemerdekaan, Leon ikut angkat senjata.
Dia pernah menjadi kepala Polisi Tentara Divisi Banteng. Setelahnya, dia menjadi staf Gubernur Militer Sumatra Barat. Setelah revolusi kemerdekaan usai, dia bekerja di Kementerian Penerangan di Jakarta.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar