Kudeta AURI
Geger peristiwa 1965 menyebabkan kericuhan dalam tubuh AURI.
Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Laksamana Madya Omar Dani tak pernah menyangka pertemuannya di Jakarta dengan Duta Besar RI di Kamboja Budiardjo akan berujung pada berita buruk: “Menpangau Sri Muljono Herlambang telah ‘dikudeta’ oleh Komodor Udara Suyitno Sukirno, Komodor Udara Rusmin Nurjadin, dan Komodor Udara Leo Wattimena dengan bantuan panser dari Kostrad,” kata Budiardjo sebagaimana ditulis JMV Soeparno dan Benedicta Surodjo dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani.
Perebutan kekuasaan di tubuh AURI itu berawal dari kondisi buruk yang dialami matra tersebut pasca-G30S. Angkatan Darat (AD) yang diamini masyarakat menganggap bahwa AURI terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Meski AURI sudah menjelaskan bahwa yang terlibat adalah oknum, bukan institusi, toh pandangan miring terhadap AURI justru kian kuat.
Langkah yang diambil presiden dengan menugaskan Omar Dani keluar negeri dan memberikan posisinya kepada Laksmana Muda Udara Sri Mulyono tetap tak menyelesaikan masalah. Penunjukan itu malah menimbulkan masalah di dalam tubuh AURI. Beberapa anggota Dewan AURI –organ yang berisi perwira tinggi– dan banyak perwira pertama hingga menengah tak senang kepada figur pilihan Sukarno itu.
Melihat keadaan yang hampir membelah AURI jadi dua itu Panglima Komando Pertahanan Udara (Kohanud) sekaligus Kepala Staf Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Komodor Udara Suyitno Sukirno berinisiatif meredakan gejolak. “Sering saya adakan briefing mengenai keadaan negara pada umumnya dan AURI pada khususnya dan diteruskan dengan diskusi secara panjang lebar,” ujar Suyitno dalam kesaksiannya yang dimuat di Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Republik. Pada 4 Oktober 1965, dia membuka kontak dengan AD dengan mengunjungi kantor Corps Polisi Militer (CPM) di dekat kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) Pusat, Jakarta.
Kembalinya Rusmin Nurjadin, yang ditugaskan Omar Dani ke Moscow pada 1965, dimanfaatkan Suyitno, Leo, dan pihak-pihak yang kontra Sri Mulyono untuk menjelaskan situasi politik tanah air. Rusmin “masuk” kubu mereka. Rusmin dan Suyitno, sebagaimana dimuat buku merupakan dua perwira tinggi yang sejak lama tak cocok dengan kepemimpinan Omar Dani dan Sri Mulyono. Ketidaksukaan itu ditunjukkan di depan umum. Sewaktu Dani berpidato dalam rangka pembukaan seminar AURI di Cibulan,Puncak, Januari 1963, ada dua perwira tinggi yang tak menanggalkan kacamata hitamnya sebagai bentuk ketidakhormatan. “Kedua perwira itu adalah Kol. Ud. Rusmin dan Kol. Ud. Sujitno Sukirno,” demikian menurut buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani.
Akibatnya, suasana rapat-rapat Dewan AURI yang makin sering digelar menjadi panas. Dalam sebuah rapat Dewan di bulan Maret 1966, terjadi ketegangan antara dua kubu dengan hasil akhir keputusan Dewan agar Sri Mulyono menyerahkan jabatannya kepada Rusmin.
Keputusan itu berbuntut besar. “Pada tanggal 27 Maret 1966 malam dengan tiba-tiba Letnan Dua Sugianto dan pasukan datang ke rumah saya, dengan perintah Panglima Korud V Kolonel Kardono, untuk melucuti senjata dan menangkap saya,” ujar Suyitno. Hal serupa, kata Suyitno, juga terjadi pada Leo. Suyitno kontan menolak, yang keesokannya membuahkan permintaan maaf dari Kardono.
Namun, karena menganggap rumahnya sudah tak aman, Suyitno kemudian “mengungsi” ke markas POMAD (Polisi Militer Angkatan Darat). Di sana dia menceritakan semuanya kepada Kolonel Suhardjono, yang lalu meneruskannya kepada Jenderal Sumitro. Setelah Sumitro tiba, mereka berembuk guna mendapatkan solusi. “Salah satu dari hasil rapat adalah bila perlu bantuan AD cq Kostrad, maka hanya kepada tiga orang AURI permohonan bantuan akan diberikan, yaitu Leo, Rusmin, dan saya,” ujar Suyitno.
Setelah menceritakan keadaan-keadaan dan memberi instruksi kepada komandan Wing 300 agar siap siaga, Suyitno menghubungi Leo dan Rusmin. Triumvirat AURI itu lalu sepakat agar Dewan segera menggelar rapat dengan dipimpin Rusmin di Halim, bukan Mabes AU. Namun, rapat itu batal lantaran satu jam sebelum dimulai datang telepon dari Mabes yang menginformasikan rapat dipindah ke Mabes dengan dipimpin Sri Mulyono.
Triumvirat lalu berunding. Keputusannya, Rusmin dan Leo membawa pengawal datang ke Tanah Abang (Mabes AU); Suyitno ke Kostrad di Gambir untuk meminta bantuan. “Keputusan minta bantuan ke Kostrad adalah bahwa bila saya membawa anggota Kohanud yang sudah saya siapkan di Kemayoran, kemungkinan besar akan terjadi clash,” kata Suyitno.
Di Gambir, Suyitno diterima Letkol Wahono. Setelah mendengar penjelasan Suyitno, dia langsung menawarkan bantuan. Suyitno bersama Letkol Wing Wiryawan dan Mayjen Kemal Idris –yang ikut untuk menjadi penonton– langsung mengendarai sebuah jip ke Tanah Abang dengan dikawal panser bantuan Kostrad.
Setelah instruksi kepada komandan panser langkah-langkah yang harus diambil bila keadaan menjadi di luar dugaan sekalipun, Suyitno menjelaskan kedatangannya kepada petugas jaga pos Mabes AURI lalu masuk. Waktu itu rapat sudah berjalan. Sri Mulyono, yang tengah memimpin rapat, agak terganggu dengan kedatangan Suyitno. Keduanya lalu terlibat cekcok.
Tepat ketika omongan Suyitno selesai, pengawal Rusmin dan Leo –yang sudah diberi instruksi tentang skenario yang akan terjadi– masuk ruang rapat dengan posisi siap tembak. Sejurus kemudian, deru suara panser terdengar dari ruang rapat. Suara itu membuat Sri Mulyono marah karena ada kendaraan tempur masuk ke areal steril. Kemarahan Sri membuat Suyitno naik pitam. Sambil berusaha mengambil pistolnya, dia menantang Sri Mulyono duel. Melihat itu, Komodor Handoko (Deputi Logistik) buru-buru merangkul Suyitno dan menanyakan apa maunya. “Saya hanya minta ‘caretaker’ supaya diserahkan kembali kepada Rusmin sesuai keputusan kita bersama di Dewan AURI, lain tidak,” jawab Suyitno.
Entah siapa yang memulai, para perwira di ruang sidang lalu ramai-ramai menyerukan agar caretaker diserahkan kepada Rusmin. Keributan pun berakhir. Pergantian kepemimpinan AURI membuat Sri Mulyono dan juga Omar Dani, plus anggota-anggota AURI lain yang patuh kepada Sukarno, menjadi pesakitan. Dia dan Dani sempat satu tempat tahanan di Nirbaya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar