Konflik Kawan Seiring
Di barat Jawa, TNI dan TII beradunyawa. Padahal awalnya dua kekuatan bersenjata itu bekerjasama menghadapi Belanda.
Wajah Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo (89) tiba-tiba berubah menjadi keruh saat disebut nama Darul Islam (DI). Sebagai eks prajurit Divisi Siliwangi, ia menganggap apa yang dilakukan oleh gerakan DI/ TII (Tentara Islam Indonesia) pada saat itu merupakan bentuk pengkhianatan yang paling fatal.
“Ketika kami beradu nyawa melawan tentara Belanda, mereka menusuk kami dari belakang,” ujar mantan komandan peleton di Yon Nasuhi tersebut.
Hubungan antara Divisi Siliwangi dengan orang-orang DI/TII pada mulanya memang berlangsung baik. Kendati tidak menyetujui Perjanjian Renville dan menolak hijrah ke Jawa Tengah, orang-orang DI/TII tetap menganggap Divisi Siliwangi sebagai kawan seiring.
Bahkan saat masa-masa Jawa Barat menjadi daerah pendudukan, kesatuan-kesatuan Siliwangi yang ditinggal hijrah kerap melakukan serangan gabungan ke pos-pos militer Belanda bersama TII . Seperti yang pernah terjadi pada 26 Januari 1949, saat 30 anggota Yon II Siliwangi bahu membahu bersama 15 prajurit TII menghajar kedudukan militer Belanda di Purwakarta.
“Dalam penyerangan itu, pihak Siliwangi dan TII masing-masing kehilangan satu anggotanya,” demikian disebutkan Pusat Sejarah Divisi Siliwangi dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa.
Sikap bermusuhan mulai diperlihatkan pihak DI/TII saat rombongan Siliwangi yang berhijrah ke Jawa Tengah secara bertahap melakukan penyusupan kembali ke Jawa Barat melalui long march pada Desember 1948- Maret 1949. Menurut Holk H. Dengel, ketika bataliyon-bataliyon Siliwangi sampai di daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, mereka menemukan selebaran dan plakat yang ditempel pada pohon-pohon.
“Selebaran dan plakat itu berisi seruan agar para prajurit Siliwangi secepatnya menggabungkan diri dengan Tentara Islam Indonesia (TII),” tulis peneliti gerakan DI/TII asal Jerman itu dalam bukunya Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal. Sebagian besar anggota Divisi Siliwangi tentu saja menolak seruan tersebut.
Sejak itulah, sebutan tentara liar atau walanda hideung (Belanda berkulit hitam) yang ditujukan kepada para tentara hijrah mulai sering terdengar dari kubu DI/TII. Bahkan bukan hanya ejekan, organ-organ bersenjata DI/TII secara sengaja kerap menembaki rombongan tentara Siliawangi yang baru tiba di perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Hal itu dialami pula oleh peleton Asikin Rachman dari Yon Huseinsjah yang pernah kehilangan beberapa anggotanya saat mereka tiba di kawasan Kalapanunggal (masuk Majalengka).
“Awalnya mereka menjamu kami dengan makanan enak, tetapi setelah kami lengah dan tertidur mereka berusaha menyembelih kami satu persatu,” kenang mantan perwira menengah di Kodam V Jaya tersebut.
Sadar bahwa situasi itu hanya akan menguntungkan pihak Belanda, para pimpinan Siliwangi tidak cepat terpancing dengan provokasi-provokasi tersebut. Alih-alih membalas, mereka malah menawarkan dialog dan kerjasama kembali dalam menghadapi militer Belanda di Jawa Barat, seperti yang pernah dilakukan oleh Yon Nasuhi di Ciamis.
Pihak DI/TI setuju untuk mewujudkan ide tersebut, namun dengan dua syarat: anak-anak Siliwangi harus bertaubat kepada Allah Swt. terlebih dahulu dan menerima bulat-bulat adanya suatu negara berdasarkan Islam di Indonesia. “ Siapa pula orang Siliwangi yang mau menerima tuntutan-tuntutan keblinger seperti itu?” ujar Sayidiman Suryohadiprojo.
Gagal dengan upaya itu, Siliwangi berusaha untuk tidak patah arang. Pada pertengahan Februari 1949, saat pasukan Kapten Machmud Pasha berhasil menangkap Panglima Divisi DI/TII Agus Abdullah, tawaran damai tetap disodorkan. Diadakanlah kemudian suatu perjanjian tertulis antara pihak DI/TII dengan TNI (diwakili Divisi Siliwangi) untuk tidak saling menyerang serta bahu membahu kembali menghadapi militer Belanda.
“Pihak DI/TII ternyata mengkhianati kesepakatan itu. Mereka berdalih perundingan tersebut dilakukan di bawah ancaman senjata…” demikian tulis Pusjarah Divisi Siliwangi. Singkat kata, kedua pihak akhirnya memilih “jalan pedang” untuk mencapai tujuannya masing-masing.
Selanjutnya, perseteruan antara Divisi Siliwangi (baca:TNI) dengan TII terus berlangsung hingga penyerahan kedaulatan dilakukan Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949. Memasuki tahun 1950, perlawanan DI/TII bukannya melemah, malah semakin menebarkan jaringnya ke wilayah luar Jawa seperti Kalimantan Selatan, Aceh dan Sulawesi Selatan.
Untuk mematahkan perlwanan DI/TII, Siliwangi lantas melangsungkan upaya kontra gerilya lewat Operasi Baratayudha atau lebih populis disebut sebagai Operasi Pagar Betis. Secara militer, operasi ini berjalan baik. Itu terbukti dengan menyerahnya pemimpin tertinggi DI/TII Sekar Maridjan Kartosuwirjo menyerah kepada Yon Kudjang Divisi Siliwangi pada 4 Juni 1962 di kaki Gunung Geber (masuk wilayah antara Garut dan Tasikmalaya). Dengan diakhirinya gerakan ini, perlawanan DI/TII tertabalkan sebagai salah satu perang saudara paling panjang dalam sejarah politik di Indonesia, yakni berlangsung hampir 13 tahun.
“Jumlah korban tewas (termasuk penduduk sipil) hingga Agustus 1962 secara resmi disebut mencapai angka 22.895 jiwa…” tulis Holk H.Dengel
Tambahkan komentar
Belum ada komentar