Kisah di Balik Foto Eksekusi Pejuang Indonesia
Sejarawan Louis Zweers menjelaskan konteks foto-foto eksekusi terhadap enam lelaki Indonesia yang ditemukan baru-baru ini.
BERITA dan foto di harian de Volkskrant edisi Jumat 16 Oktober tentang eksekusi di Indonesia pada zaman perang kemerdekaan dulu, diteruskan oleh televisi dan radio Belanda yang lebih lanjut mengupas foto-foto itu. Memang hanya foto dan slides yang ditemukan di Verzetsmuseum (Museum Perlawanan) Gouda, penjelasan lain tidak ada.
Kepada NPO-Radio 1, radio publik Belanda, sejarawan Louis Zweers, spesialis foto-foto dekolonisasi Indonesia, menyatakan penemuan terakhir itu tidak menyertakan konteksnya. Itu berarti, demikian Zweers, tidak ada informasi mengenai di mana, kapan, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi. Padahal informasi semacam itu, termasuk siapa yang berada di belakang kamera, esensial bagi foto-foto sejarah.
Memang, segera setelah foto tersebar, termasuk di media sosial, publik langsung bereaksi dengan melontarkan pelbagai pertanyaan, seperti siapa saja korban eksekusi itu? Di mana dan kapan eskekusi ini terjadi? Mengapa bagian bawah tubuh korban tidak berpakaian dan hanya ditutupi jerami atau rumput? Tidak semua pertanyaan dikupas oleh televisi dan radio Belanda.
Salah satunya adalah kenyataan bahwa enam orang yang dieksekusi itu dalam keadaan setengah telanjang, bagian bawah tubuh mereka tidak berpakaian. Dalam foto bagian itu ditutupi jerami atau rumput. Mengapa demikian? Inikah bentuk pelecehan seksual terhadap orang Indonesia?
Pertanyaan ini tidak dilontarkan dalam pengupasan lebih lanjut oleh media elektronika Belanda. Mungkin karena orang tidak tahu jawabannya. Mungkin pula karena orang risih untuk berbicara tentang sesuatu yang jelas-jelas berkaitan dengan moral dan susila. Tiadanya pembahasan jelas memungkinkan spekulasi. Apalagi karena masih ada foto telanjang lain.
Foto inilah yang tampaknya bisa memberi penjelasan. Pada foto yang lebih gelap ini terlihat tiga orang. Dua orang Indonesia tidak berpakaian, mereka hanya membawa pakaian. Sedangkan orang lain yang juga berwajah Indonesia mengenakan seragam militer dan membawa senapan. Menariknya di bawah foto ini tertera kalimat bahasa Belanda: “Voor een verhoor of onderzoek moesten Indonesiërs zich soms geheel ontkleden”, artinya untuk interogasi atau penyidikan orang-orang Indonesia kadang-kadang harus sepenuhnya melepas busana.
Kalimat seperti itu menggiring kita pada kesimpulan bahwa sebelum dieksekusi enam orang tersebut terlebih dahulu telah diinterogasi dan pada saat itu mereka harus melepas pakaian, sepenuhnya telanjang. Mungkin ini untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa senjata, jadi tidak berbahaya bagi para interogator. Selain itu juga tidak tertutup kemungkinan bahwa telanjang merupakan penghinaan serta pelecehan seksual tidak langsung.
Louis Zweers, dalam wawancara dengan NPO-Radio 1 mengungkap perihal kapan dan di mana foto-foto ini diambil. Menurutnya foto itu diambil di Bandung pada awal tahun 1946. Walaupun dalam wawancara dengan Radio 1 itu, Zweers tidak menjelaskan bagaimana dia bisa sampai pada kesimpulan itu, tetapi dengan melihat foto-foto lain yang ada, Bandung adalah kesimpulan yang masuk akal. Dalam berita harian de Volkskrant edisi Jumat 16 Oktober juga diungkap foto parade militer di depan hotel Savoy Homann di Bandung. Maka bisa dipastikan foto-foto lain yang ada dalam himpunan itu juga diambil di Bandung dan sekitarnya.
Lebih lanjut Zweers menegaskan bahwa pada waktu itu situasi Bandung kacau balau. Dalam kekacauan itu paling sedikit ada pasukan Inggris-India (Gurkha) dan satuan-satuan KNIL, keduanya bersama-sama menghadapi para pemuda Indonesia yang berupaya mempertahankan kemerdekaan, menyusul proklamasi 17 Agustus 1945. Zweers yakin enam orang Indonesia yang dieksekusi merupakan dampak bentrokan antara pasukan KNIL dengan para pemuda Indonesia.
Yang penting bagi pakar foto dekolonisasi Indonesia ini adalah prajurit Belanda belum tiba. “Mereka baru tiba di Jawa pada bulan Maret 1946,” demikian Zweers. Dengan begitu yang bertanggung jawab bagi eksekusi itu adalah pasukan KNIL yang biasanya terdiri dari orang-orang Indonesia sendiri, orang-orang Ambon, Minahasa dan juga orang Jawa. Foto-foto yang ditemukan di Gouda itu, demikian Zweers, merupakan fase awal upaya Belanda merebut kembali Indonesia.
Periode awal menjelang kedatangan pasukan Belanda ini memang sudah diwarnai kekerasan. Korbannya juga termasuk warga sipil, bukan hanya orang Indonesia, tetapi juga warga sipil Belanda, termasuk kalangan Indo yang berdarah campuran Indonesia Belanda. “Periode Bersiap” demikian julukan orang Belanda terhadap periode ini.
Ditemukannya foto-foto di Gouda ini semakin memperkeras seruan supaya dilakukan penelitian menyeluruh terhadap perang kolonial Belanda. Termasuk apa yang disebut Periode Bersiap yang merupakan masa-masa penuh trauma bagi kalangan Indo-Belanda.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar