Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin
Ini kisah tentang ketua PSI yang rela dipenjara demi memperjuangkan rakyat.
RAJA Bolaang Uki, Hasan Iskandar van Gobel, suatu hari dapat satu permohonan bahwa ketua atau presiden Partai Sarekat Islam (PSI) –yang pada 1929 berganti nama menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)– ingin berpidato di hadapan ribuan rakyat Bolaang Uki. Maka sang raja langsung memanggil ketua PSI itu. Sebuah pembicaraan pun terjadi.
“Katakan saja padaku apa yang ingin kamu jelaskan kepada rakyat. Saya akan memberi tahu mereka tentang hal ini. Ketika kamu berbicara, orang-orangku yang bodoh mengira kamu adalah rajanya. Untuk menghindari kesalahpahaman seperti itu, saya tidak bisa mengizinkan Anda menyapa orang-orang di sini dan saya juga melarang Anda mendirikan cabang PSI di sini. Di sini kita tidak memerlukan partai agama. Dalam hal ini saya juga bisa memimpin rakyat saya,” kata raja kepada presien PSI Bolang Mongondow yang bernama Adampe Dolot.
Raja Hasan merupakan penganut Islam, sama seperti Adampe Dolot. Menurut De Indische Courant tanggal 19 Januari 1940, raja rajin pergi ke masjid. Raja Hasan menurut pihak Belanda tidak menginginkan adanya perpecahan rakyat di wilayahnya.
Tentu saja penolakan itu mengecewakan Adampe Dolot. Lelaki yang kiprahnya telah dicatat koran berbahasa Belanda tahun 1940 dan 1928 ini sepak-terjang politiknya tidak kaleng-kaleng. Sejak era 1920-an, Adampe telah aktif di Sarekat Islam.
Menurut Bambang Suwondo dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, pada 1923 dia bersama P. Imban dikirim menghadiri kongres SI di Manado sebagai wakil Bolaang Mongondow. Dalam kongres itu ditekankan pengembangan pendidikan dan ekonomi. Sepulang dari sana, Adampe dipilih dan diangkat jadi ketua SI Bolaang dengan Hasan Raupu sebagai komisarisnya.
Tak sekadar berpartai saja, Adampe berusaha membangun pendidikan Islam di Bolaang Mongondow. Untuk tujuan ini, SI cabang Bolaang lalu meminta izin kepada pemerintah guna membangun sekolah rendah dua kelas –setara Volksschool tiga tahun yang mengajarkan baca-tulis-berhitung semata– di Bolaang. Namun permintaan itu ditolak kontrolir Belanda.
Oleh seorang guru Minahasa bernama Nendu, Adampe disarankan untuk naik banding ke residen di Manado dan jika perlu ke pemerintah pusat di Betawi. Adampe mengikuti saran itu. Ketika permintaannya ke residen ditolak, Adampe pun pergi ke Betawi. Di Betawi, dia disuruh pulang dan akhirnya izin keluar langsung diserahkan kontrolir kepadanya. Maka SI pun punya sekolah yang mengajarkan baca-tulis mirip zending Kristen di Minahasa.
Namun setelah 1926, usai pemberontakan komunis yang gagal, pemerintah bersikap keras kepada organisasi pergerakan macam SI. Adampe termasuk yang kena “getah” dari kebijakan tangan besi pemerintah. Pada 1928, dia menjadi pemberitaan yang menghebohkan terkait soal bom. Koran De Locomotief tanggal 2 Februari 1928 dan Algemeen Handelsblad tanggal 3 Februari 1928 memberitakan terjadinya pengeledahan rumah karena diduga anggota SI di sana menyimpan bom. Namun bom yang dimaksud tidak ditemukan dalam penggeladahan rumah pertama. Dalam penggeledahan rumah kedua, barulah bom ditemukan. Namun bom yang ditemukan adalah bom untuk menangkap ikan. Aparat kejaksaan diajak mengecek apakah merek bom itu sama dengan bom berdaya ledak kecil yang hilang di Jawa. Adampe yang ikut dimintai keterangan, mengaku tidak tahu apa-apa.
Penggeledahan tersebut tentu menarik perhatian PSI pusat. Terlebih, PSI Sulawesi Utara, disebut Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie tanggal 3 Januari 1940, sangat besar artinya bagi PSI pusat. PSI Sulawesi Utara di daerah Toli-toli (Gorontalo) dan Keresidenan Manado itu menyumbang kas cukup besar kepada kas PSI pusat. Seperti cabang PSI di Jawa, PSI Sulawesi Utara “mempunyai posisi revolusioner,” meskipun polisi urusan politik kolonial PID tak pernah menangkap satu pun anggota PSI. Justru sebaliknya, PSI Sulawesi Utara diap “jinak” oleh pemerintah sehingga wajar bila di daerah Bolaang Mongondow saja terdapat sekitar 2.000 anggota SI. Mayoritas anggotanya petani yang kebanyakan apolitis.
Kembali ke Adampe, sial kembali menghampirinya. Pada 1940 Adampe jadi bahan berita lagi. Kali ini selain karena ingin berpidato di hadapan rakyat Bolaang Uki, juga karena dikaitkan dengan Petisi Sutardjo (akhir 1939) yang –menuntut Indonesia Berparlemen– sedang ramai. Di Bolaang Mongondow, gerakan tersebut mendapat sambutan hangat.
“Dalam rapat umum dibacakan suatu teks pidato pimpinan pusat GAPI kemudian disambung dengan pidato dari para pemimpin dari cabang Bolaang Mongondow antara lain dibawakan oleh John Damopolii, Kinompol Imban, Andung S. Sugeha dan Adampe Dolot. Pada dasarnya semua isi pidato yaitu membangkit-bangkitkan semangat rakyat untuk dengan gigih mendukung tuntutan GAPI kepada pemerintah kolonial,” tulis Bambang Suwondo.
Adampe dituduh hendak merebut kekuasaan. Isu bahwa Adampe akan diangkat menjadi raja Bolaang Mongondow jika Indonesia Berparlemen terwujud, berseliweran. Katanya, akan ada pembasmian orang-non SI jika Jepang datang.
Aparat kolonial langsung bereaksi keras. Penangkapan para anggota Gabungan Aksi Politik Indonesia (GAPI) –di mana PSII ikut di dalamnya– dilakukan oleh aparat kepolisian kolonial pimpinan Fischer. Adampe ikut ditangkap. De Sumatra Post tanggal 25 April 1940 memberitakan karena tuduhan kudeta itu, Adampe dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.
“Adampe Dolot, sampai akhir 1939 dipenjarakan di Katamobagu lalu dipindahkan ke Manado dan tahun 1942 dipenjara Sukamiskin Bandung, meninggal di sana sebelum masuknya Jepang,” sambung Bambang Suwondo.
Kini, nama Adampe Dolot masih dikenang di Bolaang Mongondow. Selain terdapat nama TK bernama Adampe Dolot di Kotamobagu, hari ini juga ada jalan raya bernama Adampe Dolot.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar