Ketika Bung Amir Mabuk
Serius, dingin, dan tertutup sebagai pembawaan Menhan Amir Sjarifuddin runtuh ketika yang bersangkutan berpidato di Banyuwangi. Memukau massa rakyat hingga presiden.
DI tengah hiruk-pikuk ibukota Yogyakarta pada pertengahan 1946 yang masih dibayangi akan kedatangan kembali Belanda, Ktut Tantri, perempuan Amerika kelahiran Inggris yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, didatangi Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin. Di tempat Tantri, Hotel Merdeka, Bung Amir –nama populer Amir Sjarifuddin– memberitahukan bahwa Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta beserta beberapa menteri dan para kepala staf angkatan akan mengadakan perjalanan keliling Jawa Timur dalam beberapa hari ke depan. Tantri sebagai penyiar radio The Voice of Free Indonesia diminta ikut.
“Maksud perjalanan ini ialah untuk memberi penerangan kepada rakyat tentang apa yang sedang berlangsung di bagian lain dari pulau Jawa, dan untuk mempersiapkan rakyat menghadapi situasi yang semakin memburuk, berhubung dengan usaha Belanda merebut kembali Jawa Timur. Dimaksudkan juga sebagai perjalanan propaganda, untuk meyakinkan dunia bawah tujuh puluh juta rakyat Indonesia berdiri di belakang Presiden Sukarno dan tak sudi menyerah,” kata Tantri dalam memoarnya, Revolusi di Nusa Damai.
Ajakan itu tentu disambut hangat Tantri. Bukan semata bisa kembali menemui rakyat di Jawa Timur, tempatnya ikut berjuang ketika Pertempuran 10 November berkecamuk, perjalanan menemui rakyat merupakan kesukaan tersendiri buatnya. Terlebih, perjalanan itu dilakukan bersama para pemimpin Indonesia. Dia yang seolah “pengamat” asing, jadi bisa melihat seperti apa pemimpin republik yang baru berdiri berinteraksi dengan rakyatnya dan apa respon rakyat menyambut kedatangan pemimpin mereka.
“Seumur hidupku perjalanan ini tak akan kulupakan,” kata Tantri.
Mereka pun berangkat menggunakan kereta api istimewa. Kereta tersebut merupakan kereta yang khusus dipergunakan untuk keperluan presiden.
Baca juga: Misteri K'tut Tantri
Tantri banyak bergaul dengan para prajurit yang bertugas menjaga presiden dan para pejabat negara. Terutama dengan Kolonel R. Susatyo, ajudan Presiden Sukarno. Kemampuan bahasa Inggris kolonel yang baik serta pengetahuannya yang luas membuat Tantri bisa cepat akrab.
Dalam sebuah etape, Tantri diberitahu oleh rekan-rekan Susatyo bahwa esoknya merupakan hari ulang tahun sang kolonel. Mereka pun sepakat akan diam-diam mengadakan pesta minum untuk merayakan hari ulang tahun Susatyo tanpa memberi tahu orang yang akan berulangtahun. Dalam pemberhentian di Kediri, mereka pun membeli sebotol wiski Johnnie Walker Red Label Scotch. Tantri dipercaya untuk menyimpan botol itu hingga Banyuwangi, tempat presiden dan para anggota kabinetnya akan berpidato sekaligus tempat yang ditetapkan untuk merayakan ulang tahun tersebut.
Ketika kereta kembali berjalan, Tantri kembali mengobrol dengan Susatyo dan kawan-kawannya. Botol wiski yang dibungkus lalu diletakkan di atas tempat duduk. Namun di tengah-tengah obrolan itu, Bung Amir datang. Tantri menggeser botol wiski tadi untuk memberi tempat pada Bung Amir yang ingin ikut mengobrol.
Baca juga: Kisah Bung Amir Sjarifuddin dalam Pelarian
Bung Amir lalu mengobrol serius dengan Tantri. Seperti biasa, sang menteri yang pendiam itu sangat serius bila sudah mengobrol. Hanya jam makan siang yang menghentikan obrolan mereka.
Ketika kereta sampai di Banyuwangi, tempat presiden dan kabinetnya akan memberi pidato, Tantri mencari botol wiski yang sudah dibeli. Nahas, botol itu tak pernah ditemukannya. Pun ketika hal itu disampaikannya kepada kawan-kawannya dari ajudan presiden, tak satu pun yang mengetahui keberadaan botol tadi.
Untuk sementara, mereka melupakan kekesalan akibat kehilangan wiski itu. Maklum, masing-masing mesti serius dengan tugas yang diemban demi kelancaran pidato presiden dan pejabat-pejabatnya di depan massa-rakyat.
Seperti biasa, rakyat antusias dan begitu “terbakar” oleh pidato Bung Karno yang “berapi-api”. Suasana mereda ketika Bung Hatta berpidato. Setelah Bung Hatta, beberapa menteri seperti Menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo mendapat giliran berpidato.
Baca juga: Detik-detik Terakhir Hidup Amir Sjarifuddin
Bung Amir, yang jarang tampil berpidato di muka umum, akhirnya mendapat giliran memberi berpidato juga. Dia yang pendiam, dingin, dan tidak senang mempopulerkan diri itu membuka pidatonya dengan kalimat singat dan terkesan rendah hati. “Saya ingin berbicara sepatah-dua,” katanya.
Tentu saja hal itu membuat bingung presiden dan wakil presiden. Baru kali itu keduanya melihat Bung Amir seperti itu.
Setelah menggulung lengan bajunya, Bung Amir masuk pada pidatonya. Revolusi, khususnya revolusi kemerdekaan Indonesia, jadi inti pidatonya. Sebagaimana Bung Karno, Bung Amir malam itu berhasil menjelaskan hal-hal rumit dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami massa-rakyat dan menyelingi banyak penjelasan teoretis dengan humor-humor menggelitik. Para hadirin terpikat pidatonya sehingga memintanya lebih lama lagi pidato.
Baca juga: Amir Sjarifoeddin dan Partai Kristen
Tak hanya Tantri, yang biasa dijadikan teman ngobrol Bung Amir, Bung Karno dan Bung Hatta pun dibuat bingung terhadap penampilan tak biasa dari Bung Amir itu. Semua hadirin, termasuk presiden dan wakil presiden, berhasil dibuat terpingkal-pingkal oleh Bung Amir.
“Bung Karno tersenyum puas terhadap Menteri Pertahanannya yang biasanya serius, sekarang pidato dengan hati riang. Ia memiringkan badan ke arahku dan berbisik, ‘Saya heran. Ada apa Bung Amir sekali ini? Saya belum pernah melihatnya seperti sekarang ini,’” kata Tantri.
Tantri yang tak tahu pasti jawaban atas pertanyaan Presiden Sukarno itu pun terus memutar otak. Tak berapa lama kemudian, otaknya sampai pada ingatan akan botol wiski yang hilang. Dia mengaitkannya dengan penampilan Bung Amir malam itu. Maka buru-buru dia menjawab pertanyaan Bung Karno.
“Johnnie Walker sudah masuk ke badannya,” kata Tantri memberi jawaban yang diyakininya takkan dipahami oleh Bung Karno.
“Itu betul-betul Whiskey baik. Dunia runtuh karena orang-orang yang terlalu serius,” kata Bung Amir usai turun panggung.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar