Kamera Max Stahl
Video yang diambilnya dalam pembantaian Santa Cruz tahun 1991 menjadi titik balik perjuangan Timor-Leste meraih kemerdekaan.
Ia mempertaruhkan nyawa demi mengambil video pembantaian massal di Santa Cruz dan sejumlah kekerasan pasca-jajakpendapat Timor-Leste. Ia juga meliput perang di El Salvador, perang sipil di Lebanon, dan konflik di Georgia, wilayah bekas Yugoslavia. Tapi, penyakit kankerlah yang pada 28 Oktober lalu menghentikan napas Max Stahl untuk selamanya dalam usia 66 tahun.
Pria ini sebenarnya punya nama lahir Max Christopher Wenner. Dia mulai menekuni kamera, jurnalistik, dan pertelevisian saat menjadi presenter untuk acara anak-anak di stasiun televisi BBC antara tahun 1978 hingga 1980. Tapi, pada awal 1990-an, saat pindah dari depan ke belakang kamera, ia mengubah namanya. Ia mengadopsi nama gadis ibunya, Stahl. Dunia pun lantas mengenalnya dengan nama Max Stahl.
Baca juga: Presiden Timor-Leste Sepuluh Hari
Max lahir dari keluarga diplomat. Kakek dari pihak ibunya pernah menjabat diplomat Swedia, yang punya hak istimewa menjadi direktur Swedish Academy for the Nobel Prize selama lebih dari dua dekade. Ayahnya diplomat Swiss bernama Christopher Max Stahl Wenner. Ibunya berasal dari Prancis.
Max tumbuh dengan tiga saudara laki-laki dan sering berpindah negara mengikuti tugas sang ayah: Bolivia, El Salvador, Austria, dan Inggris. Ayah Max pernah jadi duta besar di El Salvador. Saat itu pula Max meliput perang saudara di negara tersebut antara tahun 1979 dan 1992.
Max kuliah di jurusan sastra Universitas Oxford, Inggris. Dengan latar belakang keluarga macam itu, ia mampu berbicara dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, Portugis, dan Tetun. Ia juga paham bahasa Rusia dan sedikit bahasa Arab.
Namanya dikenal di seluruh dunia karena videonya mengenai peristiwa pembantaian di kompleks pemakaman Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991.
Titik Balik
Pada 30 Agustus 1991, Max Stahl diundang para gerilyawan gerakan kemerdekaan Timor-Leste untuk hadir ke Dili, yang waktu itu provinsi ke-27 dari Indonesia. Ia menutupi kedatangannya ke Dili dari barisan tentara dan birokrat Indonesia. Ia masuk ke sana sebagai turis asing.
Pada Agustus 1991 pula tersiar pengumuman soal rencana kunjungan delegasi parlemen Portugal. Praktiknya, Timor-Leste diduduki Indonesia. Namun secara legal status hukum dari wilayah itu belum jelas. Portugal, sebagai mantan penguasa kolonial Timor-Leste, diberi kesempatan buat menilai keadaan di Timor-Leste.
Berbagai organisasi pro-kemerdekaan Timor-Leste, sebagaimana dicatat dalam laporan Chega! terbitan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) Timor-Leste, tepatnya di Volume 2 Bab.7.2 Pembunuhan di Luar Hukum dan Penghilangan Paksa, menyiapkan demonstrasi yang rencananya digelar 4 November. Tapi, pada 25 Oktober, parlemen Portugal membatalkan kunjungan itu. Sebab, ada permintaan dari Indonesia agar dua wartawan –Jill Jolliffe dari Australia dan Rui Araujo dari Portugal– tak diikutkan dalam delegasi Portugal.
Baca juga: Adopsi Anak-anak Timor-Leste demi Integrasi
Pembatalan itu mengecewakan banyak orang Timor-Leste. Namun gangguan dari pihak intelijen Indonesia terus berjalan. Gangguan memuncak pada penyerbuan Gereja Motael, Dili, pada 28 Oktober.
Penyerbuan tersebut menewaskan dua orang: seorang informan Timor-Leste dan seorang aktivis klandestin, Sebastião Gomes Rangel, yang dimakamkan keesokan harinya. Pihak pro-kemerdekaan memanfaatkan acara tabur bunga untuk Sebastião pada 12 November –ketika Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan Peter Kooijmans juga sedang berada di Dili– untuk berdemonstrasi menuntut kemerdekaan.
Sekitar 3.500 orang menghadiri misa di Gereja Motael pada pagi hari 12 November 1991 itu. Mereka menggelar prosesi dari gereja menuju pemakaman Santa Cruz. Prosesi lalu berubah menjadi demonstrasi. Para aktivis kemerdekaan memampangkan spanduk dan bendera-bendera kemerdekaan Timor-Leste.
Baca juga: Kisah Perwira Indonesia di Timor-Leste
Ketidakmampuan membedakan aspirasi politik dan kekerasan meledak dalam penembakan membabi buta terhadap para demonstran. Serdadu-serdadu Indonesia kehilangan disiplin. Terjadilah tragedi Santa Cruz.
Soal kejadian di Santa Cruz, kepada BBC tahun 2016, Max mengatakan: “Saya baru saja menyiapkan kamera saya ketika ada setidaknya 10 detik tembakan tanpa henti. Para serdadu yang tiba melancarkan tembakan tepat ke arah kerumunan ribuan anak muda.”
Max, yang diam-diam membuat liputan untuk Yorkshire Television, Inggris, bisa dengan mudah melihat bahwa hanya soal waktu sebelum para serdadu datang menghampirinya. Ia lantas berpindah tempat. Ia mengubur film di area kuburan, dan kembali ke sana pada malam hari untuk mengambilnya. Film itu kemudian diselundupkan dan disiarkan ke seluruh dunia.
Dalam laporan East Timor 1999: Crimes against Humanity, Geoffrey Robinson mencatat bahwa tragedi Santa Cruz menelan korban sebanyak 270 orang. Mereka tewas karena ditembak atau dipukuli. Max Stahl punya peran besar karena mengabadikan peristiwa brutal tersebut. Robinson menulis laporan, yang terbit tahun 2003, berdasarkan penugasan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR).
Namun, semua pemberitaan media di Jakarta kala itu bersumber pada keterangan versi pemerintah. Dalam setiap pemberitaan selalu disebutkan jumlah korban lebih rendah dari yang disebut media asing, dan aparat militer Indonesia diklaim tidak bersalah karena hanya membela diri.
Dalam laporan Chega!, tepatnya di Volume 3 Bab.7.6 Pengadilan Politik disebutkan bahwa rekaman film mengenai demonstrasi, yang diambil oleh Max Stahl, menunjukkan demonstrasi tersebut umumnya bersifat damai dan pembantaian tersebut tidak diprovokasi.
Titik balik itu muncul berkat kegigihan dan keberanian Max Stahl.
Penentuan Nasib Sendiri
Rekaman video peristiwa penembakan dan teror itu, yang dibuat dengan risiko tinggi oleh Max Stahl, diselundupkan keluar dengan berani dari Timor-Leste ke Amsterdam oleh seorang wartawan Belanda, Saskia Kouwenberg.
Gambar-gambar pembantaian milik Max Stahl kemudian digunakan dalam dokumenter “First Tuesday” berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor dan ditayangkan Yorkshire pada Januari 1992. Setelah itu dukungan publik dimobilisasi di Irlandia oleh East Timor Ireland Solidarity Campaign (ETISC) yang dibentuk Tom Hyland di Dublin.
Bukti-bukti kuat tersebut, ditambah dengan foto-foto milik fotografer Inggris Steve Cox, yang babak belur dianiaya aparat Indonesia, mengkonfirmasi tuduhan yang sekian lama diajukan oleh para pendukung masyarakat sipil. Bahwa rakyat Timor-Leste berada dalam cengkeraman ketegangan, penindasan militer adalah realitas, dan penentuan nasib sendiri menjadi kunci untuk mencapai perdamaian.
Peristiwa Santa Cruz 1991 tak ubahnya bensin yang disiramkan ke dalam api perlawanan gerakan kemerdekaan Timor-Leste. Peristiwa demi peristiwa dan aksi demi aksi dilancarkan untuk menggerogoti kewibawaan pemerintahan Orde Baru dan mendorong datangnya perubahan. Tujuh tahun setelah peristiwa 1991 tersebut Presiden Soeharto turun dari tampuk kekuasaan.
Baca juga: Petisi dari Timor-Leste untuk Jepang
Setelah mengabarkan peristiwa kekerasan di Santa Cruz 1991, Max kembali ke Timor-Leste pada 1999 bersamaan dengan penyelenggaraan referendum. Ia merekam lagi berbagai peristiwa kekerasan, sebelum maupun setelah sebagian besar warga memilih merdeka dari Indonesia dalam referendum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Max telah memainkan peran sejarah yang jadi penanda bermulanya sebuah era baru di Timor-Leste. Ia meninggalkan warisan amat penting: Max Stahl Audiovisual Center in Timor-Leste (CAMSTL). Di sana tersimpan ribuan jam video dokumenter. Arsip tersebut diadopsi oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan di bawah PBB (UNESCO) untuk Daftar Memori Dunia dan selama ini digunakan sebagai bahan pengajaran dan penelitian mengenai sejarah Timor-Leste, dalam kerangka kerja sama antara Universitas Coimbra, Universitas Nasional Timor-Leste, dan CAMSTL. Tak heran ia menerima Order of Liberty Necklace dari pemerintah Timor-Leste pada 21 November 2019.
Para petinggi dan rakyat Bumi Lorosae menyatakan rasa duka mendalam atas meninggalnya Max Stahl.
Orang Indonesia, tak peduli pendukung atau penentang Orde Baru, sepatutnya berterima kasih kepada Max Stahl. Ia turut memainkan peran bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Obrigado wain, Max!
Frans Pascaries adalah penulis dan penerjemah. Pernah tinggal di Timor-Leste antara tahun 1988 hingga 1998, dan sekarang menetap di Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar