Jawa di Mata Pangeran Tua
Sebuah buku penting yang memperkaya, bahkan mengubah, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai masyarakat Jawa pada masa pendudukan Inggris.
PAGI belum beranjak ketika meriam-meriam pasukan Inggris memuntahkan peluru ke arah keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Korban berjatuhan. Penduduk hingga Sultan Hamengkubuwono II dilanda ketakutan. Pasukan infantri Inggris merangsek maju tak lama setelah tembakan meriam membuka serangan.
Pasukan keraton coba menghadang tapi jelas sia-sia. Senjata mereka usang. Para prajuritnya dibekali ketrampilan ala kadarnya dan juga bermoril rendah. Alih-alih memimpin perlawanan, para Pangeran Yogya justru bertindak pengecut.
“Menghadapi mereka, kilau orang Jawa lenyap dan mereka tercengkeram oleh rasa takut, [karena] mereka sudah didatangi oleh amarah Yang Mahakuasa karena besarnya dosa mereka,” tulis Babad Bedhah ing Ngayogyakarta, yang menjadi bahasan utama buku ini.
Inggris hanya butuh waktu dua hari untuk merebut keraton. Maka, dimulailah masa kekuasaan Inggris di Jawa yang singkat selama lima tahun.
Babad Bedhah ing Ngayogyakarta, berisi lebih dari 100 pupuh, ditulis Bendoro Pangeran Aryo Panular dalam bentuk tembang macapat pada waktu pengeboman Inggris atas keraton pada malam 19-20 Juni 1812 dan berakhir pada 16 Mei 1816 atau sekira tiga bulan sebelum Belanda kembali memerintah Jawa.
Babad ini menyajikan banyak informasi berharga mengenai pendudukan Inggris dan pengaruhnya bagi tatanan sosial, politik, maupun budaya orang-orang Jawa. Kendati demikian, penulisnya tak lupa menyisipkan kepentingan politiknya.
Pangeran yang Terkucil
Bendoro Pangeran Aryo Panular, lahir di Yogyakarta sekira 1771, adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dari selir bernama Mas Ayu Tondhosari. Dia pribadi yang cerdas, taat dan santun, bahkan cenderung rendah diri. Secara politik dia ambisius tapi minim hasrat “membunuh”, yang membuatnya selalu berada di pinggiran. Ketidakberdayaan dan ambisi politiknya ditumpahkan dalam karyanya.
Dengan kalimat-kalimat luwes, dibumbui sindiran dan anekdot, Panular menuangkan pengamatan maupun buah pikirannya. Dia juga menambahkan referensi dan sketsa-sketsa sehingga karyanya penuh detail dan informatif. Tak lupa dia memberikan analisis yang tajam.
Melalui karyanya, Panular mengupas kebusukan elit-elit keraton: rakus, gila hormat, pengecut, licik. Persaingan dan perebutan pengaruh menyebabkan keraton dilanda intrik. Menjelang serangan Inggris, intrik memuncak. Bagi Panular, kebusukan elit keraton menjadi faktor penting bagi mudahnya Yogya takluk kepada Inggris.
Mustahil bagi Panular melepaskan diri dari intrik keraton. Dia dekat dengan lingkaran Putra Mahkota (kelak jadi Sultan Hamengku Buwono III), menantunya, yang berseberangan dari para pendukung Sultan Sepuh (Hamengku Buwono II).
“Pada November 1812, Panular sudah dijuluki oleh Residen Belanda sebagai seorang pendukung kuat Putra Mahkota dan sebagai seorang sekutu potensial dari pemerintah dalam hubungannya yang tegang dengan Sultan Kedua yang keras kepala itu,” tulis Peter Carey, sejarawan Inggris, yang menyusun buku ini.
Ketika Inggris menyerang keraton, digambarkan dalam pupuh kelima, Panular dengan heroik menantang peluru Inggris untuk memandu rombongan Putra Mahkota ke Taman Sari yang luas dan aman. Dia kemudian menjaga mereka dengan tombak pusakanya, Kiai Kondhang. Panular memandang tindakannya tak mementingkan diri sendiri sehingga dirinya layak dipertimbangkan secara khusus dalam pemerintahan baru menantunya. Untuk alasan itulah Panular mulai menulis babad ini.
Kenyataan berkata lain. Keponakannya, Diponegoro, muncul sebagai “orang kuat” dari pemerintahan Sultan Ketiga. Digambarkan dalam babad ini, Diponegoro seolah menjadi tonggak utama negara dan bertindak hampir seperti seorang raja karena punya banyak tanggungjawab. Panular sendiri hanya mendapat “hadiah hiburan” berupa pengangkatan sebagai seorang Pangeran Mijil.
Diponegoro, yang kelak memimpin Perang Jawa, digambarkan Panular sebagai pribadi ambisius dan ingin mendominasi. Elit keraton lain yang disorotnya adalah Pakualam, kakaknya.
Pakualam, bahkan sejak sebelum serangan Inggris, membiasakan diri dengan etiket Eropa, baik dalam hal pakaian, bahasa, maupun gaya rambut. Namun justru karena itulah Raffles memilih Pakualam sebagai Pangeran Wali sekaligus meruntuhkan Dewan Perwalian ketika pemerintahan baru sultan bocah (Hamengku Buwono IV). Posisi politik baru Pakualam menghidupkan kembali permusuhan lama di dalam keraton.
Saat itu pamor Panular meredup. Ketika menantunya wafat, Panular harus menerima kenyataan bahwa cucunya seorang perempuan. Baru setelah Perang Jawa pecah, dia menerima posisi politik penting sebagai salah seorang dari dua wali sultan bocah (Hamengku Buwono V). Sembilan bulan kemudian, 30 Juli 1826, dia dibunuh bersama sejumlah pangeran yang setia kepada Belanda oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Ali Basah Sentot di Desa Lengkong, perbatasan Kedu-Sleman.
“Panular yang ramah pun akhirnya menjadi korban dari semacam kebiadaban yang selalu mendasari manuver politik halus di Keraton Yogya,” tulis Peter Carey.
Jendela Baru
Selama ini, pengetahuan dan pemahaman terhadap keraton dan pendudukan Inggris serta respon masyarakat hanya bergantung pada sumber-sumber resmi (Barat). Babad ini menyajikan alternatif baru. Ia menjadi satu-satunya sumber lokal yang mumpuni: ditulis langsung dari pandangan mata saksi sezaman di lingkaran dalam keraton, dengan cakupan luas dan kaya detail.
Kendati demikian, tulis Peter Carey, babad ini tidak dimaksudkan untuk memberi satu tinjauan terhadap kejadian-kejadian sezaman dari sutu pandang politik nyata. “Sebaliknya, catatannya selalu dipahami sebagai satu sarana untuk memproyeksikan pemahaman sang pangeran yang bersifat sangat pribadi tentang masalah-masalah sekaligus meredakan keinginannya yang sering dikecewakan,” tulisnya.
Kekayaan referensi dan kecakapan analisis Peter Carey jualah yang akhirnya membuat babad ini “naik kelas”, dari karya yang hampir tak dikenal menjadi karya penting sekaligus sumber primer sejarah Jawa pada masa pendudukan Inggris.
Menurut Carey, babad ini penting untuk dibukukan. Sebab, ia menyajikan informasi yang kaya tentang kepribadian, kebudayaan, dan masyarakat dari sebuah keraton yang dihancurkan oleh trauma Perang Jawa.
“Jadi babad ini memetakan nasib satu masyarakat di ambang era yang baru; satu masyarakat yang tidak hanya penuh kesangsian akan masa depan, tetapi juga memelihara banyak kemegahan masa lalu."
Tambahkan komentar
Belum ada komentar