Harimau-Harimau Garut
Pasukan Pangeran Papak dibentuk dari dua kelompok pemuda pejuang yang tidak mengharapkan kembali kedatangan Belanda.
DUA BELAS pusara tua itu terpuruk dimakan zaman. Nisan-nisan mereka yang bentuknya serupa nampak sudah agak berlumut. Sementara sisi kanan dan kiri, depan-belakang, ratusan ilalang berdiri tegak lengkap dengan bulu-bulunya yang berwarna putih kecoklat-coklatan.
Sedikit orang yang paham asal muasal pusara-pusara itu berada di Kompleks Pemakaman Umum Cinunukan (masuk dalam wilayah Kecamatan Wanaraja, Garut). Salah satunya adalah Dadang Koswara. Menurut lelaki berusia setengah abad tersebut, sejatinya 12 pusara itu diisi oleh jasad-jasad para pejuang dari Pasukan Pangeran Papak (PPP) yang gugur dalam berbagai pertempuran melawan militer Belanda di Garut.
“PPP adalah nama kesatuan lasykar rakyat yang dibentuk oleh para pemuda Garut untuk menghadapi kembalinya terntara Belanda ke tanah air kita,” ungkapnya.
Dadang mengerti sejarah keberadaan PPP karena para sepuhnya dulu banyak terlibat dalam kesatuan itu. Bahkan nama Pangeran Papak sendiri itu mengacu kepada nama seorang kakek moyangnya yang hidup pada era abad ke-19 dan dikenal sebagai seorang gagah berani dalam melawan penjajah Belanda.
“Karena keteladanan eyang Pangeran Papak inilah, para pemuda pejuang di Garut memakainya jadi nama pasukan yang kelak juga berjuang melawan (tentara) Belanda,” kata Dadang.
Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api
Berjuang di Bandung
Garut, Oktober 1945. Seperti di belahan Indonesia lainnya zaman itu, para pemuda Garut di wilayah Wanaraja tengah terganja oleh semangat proklamasi dan terbakar api revolusi. Barisan milisi menjamur bak di musim hujan. Bahkan bukan hanya di kota-kota, kampung-kampung pun memiliki milisi-milisi sendiri yang lebih dikenal dengan istilah “lasykar”.
“Para pemuda kampung ramai-ramai membentuk kelompok lasykar, walau persenjataan mereka kurang”ujar Ojo Soepardjo Wigena, berusia 91 tahun.
Tersebutlah dua kelompok lasykar ternama di Wanaraja. Pertama, Pasukan Djiwanagara pimpinan M.Wibatma dari Desa Cinunuk dan yang kedua adalah Pasukan Embah Angsana pimpinan M. Salim dari Desa Samangen. Dari keterangan yang terdapat dalam tugu peringatan tentang berdirinya PPP di Taman Pahlawan Cinunuk, dikisahkan pada 27 Oktober 1945, kedua pasukan itu meleburkan diri menjadi Pasukan Pangeran Papak.
“Sebagai komandan diangkatlah Saoed Moestofa Kosasih, yang tak lain adalah anak didik cucu Pangeran Papak yakni Raden Djajadiwangsa, yang dalam struktur tak resmi PPP berlaku sebagai penasehat spiritual,” ujar Dadang.
Seiring terbentuknya PPP, datanglah pasukan Sekutu di Bandung. Kedatangan mereka disinyalir juga mengikutsertakan para serdadu Belanda yang rencananya akan menerima pengalihan kekuasaan dari militer Inggris. Tentu saja, para pemuda Jawa Barat merasa geram dengan rencana tersebut. Maka berduyun-duyunlah mereka membanjiri Bandung untuk menentang kembalinya orang-orang Belanda.
PPP termasuk kekuatan lasykar Republik yang ikut berjihad di Bandung. Selain melawan tentara Inggris, mereka pun terbilang aktif bertempur melawan serdadu Belanda dan serdadu Jepang yang saat itu sudah menjadi alat kekuasaan Sekutu, menyusul menyerahnya Kekaisaran Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.
Menurut Kolonel Mohammad Rivai dalam biografinya Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, PPP di palagan Bandung ada di bawah koordinasi BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia), suatu lasykar skala nasional yang dipimpin oleh Soetomo alias Bung Tomo, bintang dalam Pertempuran Surabaya.
“BPRI Pangeran Papak pimpinan Achmad malah ikut andil dalam peledakan gudang amunisi Belanda di Dayehkolot oleh Mohammad Toha pada 10 Juli 1946,” ungkap Rivai.
Pulang Kandang
Menurut Basroni Kosasih, berusia 64, usai mundurnya kekuatan Republik ke luar Bandung pada 23 Maret 1946, PPP memutuskan untuk kembali pulang ke Garut. Menjelang gerakan mundur ini, di wilayah Ciparay mereka terlibat pertempuran sengit dengan sekelompok serdadu Jepang. PPP berhasil mengatasi pasukan yang sudah tidak memiliki moril untuk bertempur itu.
“Bahkan pasukan ayah saya berhasil menawan beberapa di antaranya dan membawa orang-orang Jepang itu ke Garut,” ungkap lelaki yang tak lain adalah putra dari Saoed Moestofa Kosasih itu.
Singkat cerita, orang-orang Jepang tersebut menyatakan tunduk dan keinginannya untuk bergabung dengan PPP. Mengingat pengalaman tempur mereka yang sudah banyak, Kosasih tentu saja menyambut permohonan itu dan menjadikan eks serdadu Jepang tersebut sebagai komandan sekaligus instruktur di pasukannya.
Baca juga: Cerita para desersi Jepang
Dengan tambahan kekuatan berpengalaman, PPP menjadi harimau-harimau menakutkan bagi serdadu Belanda di Garut. Berbagai sabotase jembatan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap pro Belanda, semakin merajalela. Menurut Roland Nayoan dari Historika Indonesia, salah satu insiden yang membuat mereka murka adalah penghancuran jembatan Cinunuk dan jembatan Cimanuk di pusat kota pada Juli 1947.
“Yang Chil Sung alias Komaroedin, Masharo Aoki alias Aboe Bakar dan Hasegawa Katsuo alias Oesman yang dianggap sebagai pimpinan-pimpinan utama para penyabotase itu lantas menjadi buronan nomor satu,” ungkap aktivis komunitas sejarah yang tengah menelusuri keberadaan para eks serdadu Jepang di Garut tersebut.
Baca juga: Pemberontakan Korea di tanah Jawa
Dalam suatu operasi militer di Hutan Gunung Dora, militer Belanda pada 25 Oktober 1948 berhasil membekuk para eks serdadu Jepang itu. Bersama mereka ikut pula ditawan salah satu perwira PPP bernama Djoehana alias Djoewana. Beberapa bulan kemudian, ketiga eks serdadu Jepang itu dieksekusi mati, sedangkan Djoehana dipenjarakan di Penjara Cipinang Jakarta.
Menurut A.H. Nasoetion dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid ke-7, pada awal 1949, PPP sendiri pada akhirnya secara resmi melebur dalam MBGG (Markas Besar Gerilja Galoenggoeng), yang merupakan unit operasi Divisi Siliwangi.
“Bersama lasykar-lasykar lainnya seperti Pasukan Dipati Ukur, Pasukan Banteng, Pasukan Tarunajaya, Pasukan Pangeran Papak membentuk gabungan komando untuk wilayah Tasikmalaya-Garut,” ungkap Nasution.
Baca juga: Gerilyawan Korea di pihak Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar