Gegara Sebuah Tembakan
Bermaksud mendapatkan senjata, mereka justru kehilangan nyawa.
SELAMA menjalankan perjuangan diplomasi di Mesir pada 1947, Haji Agus Salim (HAS) terlihat sering menggunakan sebuah jaket militer usang. Menurut diplomat senior M. Zein Hassan, kendati anggota delegasi Indonesia lainnya agak penasaran dengan kebiasaan orang tua tersebut, namun tak ada yang berani menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan.
Hingga suatu hari, dalam suatu situasi yang sangat sentimentil, HAS memberitahukan kepada Zein cs bahwa: “Baju inilah yang dipakai anakku ketika dia jatuh sebagai syahid karena dadanya ditembus pelor tentara Jepang…” demikian menurut HAS seperti dikutip Zein dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri.
Menurut Siti Asia Salim (lebih akrab dipanggil Bibsy Soenharjo), “anakku” yang dimaksud HAS tak lain adalah Achmad Sjawket, kakaknya nomor lima. Sjawket merupakan kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) yang gugur dalam suatu tragedi berdarah di Lengkong pada 25 Januari 1946.
“Dia memang terbunuh oleh peluru tentara Jepang,”ungkap anak kedelapan dari HAS itu.
Informasi Intelijen
Tangerang, 23 Januari 1946. Informasi intelijen itu diterima Letnan Kolonel Singgih (Komandan Resimen IV TKR Tangerang) dengan perasaan waswas. Disebutkan dalam laporan itu bahwa tentara Belanda yang sudah menduduki Parung, Bogor akan bergerak ke Lengkong guna melucuti pasukan Jepang yang bermarkas di wilayah tersebut.
“Pak Singgih berpikir jika Lengkong dikuasai Belanda maka jalan terbuka bagi mereka untuk menyerang kedudukan Resimen IV di Tangerang…”ujar Marzoeki Soelaiman, salah satu eks kadet AMT.
Singgih sejatinya sudah beberapa kali meminta Kapten Abbe, komandan tentara Jepang di Lengkong, untuk menyerahkan seluruh senjata kompinya. Namun selalu saat diminta, Abbe berkelit bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjata-senjata itu tanpa sepengetahuan pihak Sekutu. Maka ditugaskanlah Mayor Daan Mogot (Wakil Direktur AMT) untuk memimpin operasi pelucutan tersebut.
“Dipilihnya Daan Mogot karena dia secara pribadi kenal dengan Kapten Abbe…” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia.
Jumat, 25 Januari 1946, pukul 14.000.Tiga truk bermuatan puluhan kadet (termasuk Achmad Sjawket) bergerak dari halaman gedung AMT. Ketiga truk itu diiringi dua jip berisi delapan pembelot India eks tentara Inggris , Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo Moekiman (Kantor Penghubung TKR), Letnan Satu Soebianto (Polisi Tentara Resimen IV) dan Letnan Satu Soetopo (Polisi Tentara Resimen IV). Kehadiran eks tentara Inggris yang dilengkapi seragam resmi mereka merupakan bagian dari tipu muslihat pihak TKR agar pihak Jepang percaya bahwa upaya pelucutan tersebut dilakukan sepengetahuan pihak Sekutu.
Senja Berdarah
Dua jam lamanya mereka menempuh perjalanan dari pusat kota Tangerang. Senja baru saja jatuh, kala mereka tiba di Lengkong. Setelah memarkir kendaraan-kendaraan di simpang empat, sekira 400 meter dari markas tentara Jepang yang dikelilingi pohon-pohon karet, mereka semua turun lantas memasuki halaman markas dengan berjalan kaki tanpa memberlakukan formasi tempur.
Mayor Daan Mogot didamping seorang penerjemah, Mayor Wibowo dan seorang serdadu India langsung masuk ke markas. Di sana mereka terlibat dalam suatu perundingan yang alot dan sedikit panas dengan Kapten Abbe beserta jajarannya. Sementara para pimpinan berunding, para kadet dengan dipimpin oleh Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo, bergerak ke barak-barak para prajurit Jepang. Mereka melucuti sekaligus mengangkut senjata-senjata dan mengumpulkannya di tengah lapangan.
“Ketika para kadet memasuki barak-barak, serdadu Jepang pada umumnya dijumpai sedang dalam keadaan santai: ada yang sedang tidur-tiduran atau bermain kartu…tidak ada perlawanan sama sekali,” ujar Bratawinata (salah seorang kadet AMT) seperti dikutip Moehkardi dalam Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi (Bagian 1).
Setelah terkumpul dua tumpuk senjata, seorang kadet kemudian diperintahkan untuk memanggil masuk truk. Baru saja truk bergerak ke arah halaman markas, dor! Tetiba terdengar suara tembakan dari arah markas, disusul teriakan komando dari seorang perwira Jepang.
“Gegara tembakan inilah, segala sesuatunya menjadi berbalik tidak menguntungkan buat rombongan para kadet dan tentara India…” ujar sejarawan Moehkardi kepada Historia.
Para prajurit Jepang sontak balik menyerbu. Mereka yang tadinya sudah pasrah seolah menemukan kembali kekuatannya dan bergerak secara beringas. Para kadet yang hanya bersenjatakan senapan kuno buatan Italia Mannlicher Carcano kaliber 38, tentunya menjadi tak berdaya. Alih-alih bisa mengimbangi, mereka yang sebagian besar masih awam soal penggunaan senjata menjadi bulan-bulanan para prajurit Jepang yang disebut-sebut baru saja pulang dari palagan Pasifik.
Menurut salah seorang pelaku sejarah eks kadet Ateng Yogasara, begitu komando pertama diteriakan oleh perwira Jepang, tanpa banyak bicara, prajurit-prajurit Jepang itu secara terkoordinasi menyerbu balik seraya melepaskan tembakan-tembakan gencar. Akibatnya, para kadet banyak yang langsung terkena tembakan: bergelimpangan di lapangan dan sela-sela pohon karet. Senja itu, Lengkong menjadi berdarah.
“Kami bertempur betul-betul tanpa komando dan bergerak sendiri-sendiri…” ujar Ateng seperti dikutip sejarawan Moehkardi dalam bukunya. (Bersambung)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar