Pemerintah Hindia Belanda Fobia pada Diponegoro
Gambar Pangeran Diponegoro membuat pemerintah Hindia Belanda ketakutan.
MUHAMMADIYAH pernah mengadakan kongres di Jogjakarta pada 8—16 Mei Mei 1931. Selain mengajak segenap kader untuk ikut, terselip pesan propaganda yang unik. Salah satu pamfletnya memajang gambar Pangeran Diponegoro tengah menunjuk sebuah masjid.
“Itu adalah Diponegoro karya lukisan Bik yang menunjukkan jalan ke Masjid Agung,” kata sejarawan Peter Carey seraya menunjuk pamflet tadi dalam pameran pendahuluan “Kamar Diponegoro” di Museum Sejarah Jakarta, Kota Tua, Jakarta Pusat, 12 November 2018.
Pemerintah Hindia Belanda menjadi fobia. Sosok Diponegoro seakan hidup kembali. Untuk mencegah gerakan massa, aparat kolonial yang jengkel membakar semua pamflet atau apapun yang berbau Diponegoro.
Baca juga: Di balik sketsa wajah Pangeran Diponegoro
Adalah Suwardi Suryaningrat orang pertama yang “membangkitkan” Diponegoro setelah wafat di Makassar 8 Januari 1855. Suwardi dikenal sebagai aktivis Indische Partij yang mendirikan sekolah bumiputra Taman Siswa. Sebagai seorang nasionalis, Suwardi menanggalkan status kebangsawannya dan lebih kondang dengan nama Ki Hadjar Dewantara.
Pada awal 1923, Suwardi pernah menulis surat terbuka tentang pentingnya memperingati hari wafatnya Pangeran Diponegoro. Surat itu ditujukannya kepada pemimpin dan pengusaha bumiputra. Menurut Suwardi, seyogianya hari wafat Diponegoro jadi memori bersama bagi semua anak negeri di Hindia Belanda. Seruan dalam suratnya pun cukup berani.
“Saudara-saudara yang dimuliakan! Bagi kita semua, tanggal 8 Februari adalah tanggal yang amat penting. Hari itu adalah hari peringatan, hari kesedihan bagi anak negeri ini. Khusus untuk orang Jawa. Kenapa? Karena pada tanggal 8 Februari Pangeran Diponegoro yang agung meninggal,” demikian kata Suwardi Suryaningrat dilansir suratkabar Het Nieuws van het Dag voor Nederlandsch-Indie, 12 Maret 1923.
Suwardi mengajak agar organisasi kepanduan, sekolah Taman Siswa, ataupun semua orang pergerakan mengabadikan hari wafatnya Diponegoro sebagai hari peringatan umum. Himbauan ini cukup radikal. Di bawah kuasa pemerintahan kolonial, Suwardi melontarkan gagasan untuk menghormati hari wafatnya musuh pemerintah sebagai hari libur nasional.
“Mari kita semua mengingat hari itu dalam emosi - mari kita istirahatkan urusan kita sementara - seperti sekolah, dan mengatakan pentingnya hari ini kepada semua teman-teman,” demikian Suwardi mengakhiri suratnya.
Baca juga: Kamar panas untuk Pangeran Diponegoro
Menurut Peter Carey, Suwardi salah menuliskan tanggal kematian Diponegoro (8 Februari). Yang benar adalah 8 Januari. Kesalahan ini mungkin muncul karena kabar simpang siur dari pers Hindia Belanda perihal berita meninggalnya Diponegoro di Makassar. Java Bode menyebutkan 31 Januari 1855; Javasche Courant menyebutkan 3 Februari 1855.
Namun nyatanya, seruan Suwardi ini malah diikuti oleh berbagai organisasi pergerakan. Diponegoro dijadikan sebagai ikon perjuangan kaum pergerakan nasional bahkan lintas ideologi. Strategi propaganda demikian cukup ampuh bikin pemerintah kolonial jadi gusar.
“Jadi dia tidak dilupakan oleh pihak komunis, pihak nasionalis, dan dari pihak Islam, dia dijunjung tinggi. Dan Belanda menjadi resah,” kata Carey. “Kalau kita pajang gambar Diponegoro bisa ditangkap oleh polisi Hindia Belanda sebab ini menunjukkan salah satu pembangkangan.”
Baca juga: Diponegoro, ikon perjuangan kaum pergerakan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar