Dilema Mallaby
Keputusan para petinggi Sekutu terhadap rakyat Surabaya membuat jenderal Inggris itu kecewa.
Jumat, 26 Oktober 1945. Gubernur R.M.T.A. Soerjo baru saja menandatangani kesepakatan dengan Brigadir A.W.S. Mallaby. Pertemuan yang terbilang sukses itu melahirkan empat kesepakatan:
- Pihak Inggris (baca:Sekutu) mengakui keberadaan Republik Indonesia sebatas distrik Surabaya.
- Pihak Inggris tidak akan membawa masuk pasukan Belanda dan tidak ada pasukan Belanda yang disusupkan pada pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya.
- Pasukan Inggris hanya dibolehkan berada pada radius 800 meter dari pelabuhan.
- Untuk memperlancar komunikasi antara pihak Inggris dengan Republik dalam keseharian, maka dibentuk Biro Kontak beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak.
Menurut sejarawan Frank Palmos dalam Surabaya 1945 Sakral Tanahku, kesepakatan antara dua pihak itu lantas disiarkan secara luas oleh Radio Surabaya. Sementara semua puas. Untuk membuktikan adanya niat baik dari Pemerintah Jawa Timur, hari itu juga salah satu komandan kesatuan tentara Inggris yang mendarat di Tanjung Perak mendapat sambutan kalungan bunga.
Namun rakyat Surabaya sendiri pada dasarnya tidak yakin Inggris akan konsisten melaksanakan kesepakatan itu. Kecurigaan itu terbukti benar. Begitu mendarat, secara sepihak Brigadir Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menduduki 20 titik strategis di dalam kota. Sesungguhnya, penempatan seperti itu otomatis sudah melanggar kesepakatan: “… tidak bergerak melebihi radius 800 meter.”
Sehari setelah perjanjian itu baru berlangsung, tiba-tiba sebuah pesawat melayang-layang di atas Surabaya. Pesawat milik Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) itu menyebarkan ribuan pamflet berisi ancaman: “…seluruh rakyat Surabaya harus mengembalikan seluruh senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat,” demikian seperti dikutip oleh Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
Rupanya, pihak Inggris sendiri tidak pernah kompak dalam memperlakukan orang-orang Indonesia. Ketika pemerintah RI di Jawa Timur membangun kesepakatan dengan Mallaby, diam-diam pasukan Inggris di Surabaya menerima perintah baru dari Mayor Jenderal Douglas Hawthorn ( Komandan Tentara Inggris untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok) untuk secepatnya menduduki Surabaya secara militer.
Mallaby yang sudah terlanjur menempuh jalur diplomasi menjadi gamang dan kecewa. Dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946, Richard McMillan menceritakan begitu mendapatkan satu pamflet yang disebar lewat udara langsung dari Jakarta,Kapten Douglas McDonald langsung memberikannya kepada Mallaby. Usai membacanya, sang jenderal terdiam seribu bahasa.
“Apa yang hendak anda lakukan, Sir?” tanya McDonald.
“Saya akan mematuhinya…” jawab Mallaby dalam nada pelan.
“Tapi anda telah berjanji?Sebagai seorang perwira dan wakil Yang Mulia Raja Inggris anda sudah berjanji kepada mereka kita di sini bukan untuk melucuti senjata mereka, melaksanakan apa yang dijalankan komite-komite lalu pergi?” McDonald coba mendebat.
Mallaby terdiam. Nampak sekali ia mengalami dilema. Lalu sambil memandang McDonald, ia berkata: “Siapa sebenarnya komandan brigade ini? Kamu atau saya?”
Kendati terkesan “tidak ada masalah” sesungguhnya Mallaby merasa “marah” dengan keputusan para atasannya di Jakarta. Dalam satu suratnya kepada istrinya,Mollie (Margaret Catherine Jones), dia menyebut atasannya “telah merusak segalanya” dengan penyebaran pamflet tersebut.
“Pamflet ini adalah tamparan yang amat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi,”tulisnya. Surat tersebut dibacakan oleh Anthony Mallaby (putra tunggal Mallaby-Mollie) di depan Des Alwi dalam suatu kunjungan ke London, Inggris pada 2005.
Dari pihak Indonesia sendiri, penyebaran pamflet itu tentu saja sungguh mengejutkan. Satu jam setelah kejadian itu, Jenderal Mayor drg. Moestopo dan Residen Soedirman langsung menemui Mallaby. Dalam pertemuan tersebut, Mallaby menyatakan dirinya tidak tahu menahu mengenai pamflet yang ditandatangani oleh atasannya itu.
“Namun sebagai perwira British, meski saya sudah menandatangani persetujuan dengan para pemimpin Republik di Surabaya, saya harus mematuhi instruksi panglima saya.” demikian menurut Mallaby seperti dicatat oleh Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Jawaban Mallaby membuat Moestopo dan Soedirman sangat kecewa. Sebagaimana orang-orang Surabaya lainnya, mereka berdua mulai kehilangan rasa percaya kepada pihak Inggris. Terutama ketika Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menyita kendaraan-kendaraan milik orang-orang Indonesia, merampas senjata mereka, menduduki gedung-gedung baru dan menginstruksikan pamer kekuatan di tengah kota.
Gubernur Soerjo terus berupaya untuk mencoba jalan tengah. Nyatanya, apa yang diusahakan Soerjo berjalan sia-sia. Situasi justru semakin memanas dan berujung kepada bentrok antara para pejuang Surabaya dengan tentara Inggris pada 28 Oktober 1945. Hingga hari ke-2 pertempuran, arek-arek Suroboyo telah membantai sekira 400 serdadu Inggris (termasuk 16 perwira). Sejarawan McMillan malah memiliki versi berbeda dan cara yang unik dalam menyebutkan jumlah korban: “Karena suatu “pamer kekuatan” menyebabkan 427 nyawa dari suatu pasukan yang memiliki kurang lebih 4.000 prajurit melayang begitu saja…” ungkap McMillan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar