Di Kalijati, Kekuasaan Belanda Diakhiri
Lanud Kalijati, saksi bisu pertempuran yang mengakhiri tiga abad kolonialisme Belanda.
TAK seperti Jalan Raya Kalijati-Subang di depannya yang ramai, suasana di Pangkalan Udara (lanud) Suryadarma Rabu (17/10/18) siang itu amat tenang. Hilir-mudik kendaraan jarang. Yang terlihat hanya beberapa mobil sipil atau sepeda motor para istri prajurit AU yang tinggal di pangkalan untuk mengantar-jemput anak sekolah atau ke luar untuk satu keperluan.
Cuaca terik siang itu membuat para personil POM-AU yang berjaga di gerbang masuk lebih memilih duduk-duduk di dalam pos. Satu-satunya yang agak sibuk, seorang prajurit petugas buka-tutup portal.
Tujuh puluh enam tahun silam, suasana Lanud Kalijati amat sibuk saat Perang Pasifik berkecamuk. Lanud Kalijati jadi rebutan pasukan Jepang dan Sekutu dalam Pertempuran Kalijati.
Kesibukan, disebabkan oleh keresahan akibat kabar bakal datangnya serangan Jepang, di dalam lanud bahkan telah meningkat jauh sebelum perang dimulai. Keresahan itu diingat betul oleh Utami Suryadarma, istri Soeriadi Suryadarma (KSAU pertama), yang kala itu tinggal di dalam lanud. “Di Kalijati, para istri opsir diwajibkan memilih salah satu kegiatan dalam membantu persiapan perang. Bersama beberapa istri kolega suamiku, saya memilih dipekerjakan di rumah sakit,” tulis Utami dalam buku hariannya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air.
Gerbang untuk Kuasai Jawa
Di bawah guyuran hujan malam pergantian 28 Februari ke 1 Maret 1942, 3000-an personil Tentara ke-16 AD Jepang dari resimen ke-230 yang dipimpin Kolonel Toshishige Shoji mendarat di pantai Eretan Wetan, Indramayu, Jawa Barat. Mereka langsung bergerak cepat untuk merebut Lanud Kalijati, sekira 34 kilometer dari pantai.
Tentara ke-16 Jepang di bawah Letjen Hitoshi Imamura menganggap Kalijati adalah kunci. Selain gerbang menuju Bandung, tempat pusat militer Hindia Belanda berada, tulis Bill Yenne dalam The Imperial Japanese Army: The Invicible Yeras 1941-1942, “Kalijati adalah salah satu fasilitas penerbangan terbaik di Jawa saat itu.”
“Pihak militer Jepang sangat membutuhkan Pangkalan Udara Kalijati untuk mendukung angkatan daratnya. Mereka tidak mungkin hanya mengandalkan dukungan udara dari pangkalan udara di Sumatera atau Kalimantan yang jaraknya cukup jauh,” tulis Dede Nasrudin dan Wawan Joehanda dalam Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949.
Namun, Kalijati justru kurang diperhatikan oleh Sekutu (KNIL dan militer Inggris di Jawa). “Penderatan di Eretan Wetan tidak diperhitungkan. Khususnya di musim hujan, daerah pesisir dekat lokasi ini dengan ombaknya yang tinggi kurang cocok untuk operasi pendaratan,” tulis PC Boer dalam The Loss of Java: The Final Battles for the Possession of Java. “Perintah resmi dari markas Sekutu adalah, Kalijati tidak dalam bahaya serangan darat Jepang,” tulis Bill.
Anggapan itu membuat Militaire Luchvaart (ML/AU Hindia Belanda) dan Royal Air Force (RAF/AU Inggris) hanya menempatkan pasukan kecil untuk menjaga Lanud Kalijati. “Di Kalijati, pertahanan berada di tangan Inggris di bawah Grup Kapten George Frederick Whitsondale dari RAF. Pertahanannya disesuaikan dengan serangan udara, bukan serangan darat, dan senjata terbesarnya ada pada dua baterai anti pesawat terbang. Selain itu, para penjaga di darat terdiri dari sekitar 350 pasukan Inggris dan awak darat RAF, dan skitar 150 infanteri KNIL yang semua hanya bersenjatakan senapan dan senapan mesin,” sambung Bill.
Gerak-maju pasukan Shoji pun hampir tak menemui kesulitan kecuali dari bombardir udara singkat Sekutu ke pantai Eretan Wetan. Sebelum tengah hari, Lanud Kalijati telah mereka capai. Dengan dukungan artileri dan tank plus bombardir udara, mereka langsung menyerbu lanud. Pasukan Sekutu di lanud terkaget-kaget. Upaya mati-matian mereka mempertahankan lanud gagal. Pukul 12.30, lanud sudah dikuasai pasukan Shoji dari batalyon Major Mitsunori Wakamatsu. Sekira sepertiga pesawat Sekutu, termasuk pesawat tempur Hawker Hurricane, di lanud itu terbakar hebat.
Kecuali yang tewas atau tertawan, pasukan Sekutu di Kalijati dan Subang langsung mundur ke arah Bandung. Mereka diburu pasukan Shoji yang melanjutkan gerak maju ke arah Bandung lewat Subang dan Ciater. Keesokannya, 2 Maret, pertempuran pecah di Subang. Pasukan lapis baja KNIL di bawah Kapten GJ Wulfhorst dan pasukan infanteri ke-5 KNIL yang dipimpin Mayor Carel J Teerink melancarkan serangan balik. Pertempuran berlangsung sengit. Tapi karena direncanakan tergesa-gesa, serangan balik Sekutu akhirnya dipatahkan. KNIL dipukul mundur. Pasukan Shoji melanjutkan gerak majunya dan kembali terlibat pertempuran di Ciater Pass.
Pada 2 Maret petang, pesawat-pesawat Hiko Dan (brigade udara) 3 Jepang dari berbagai jenis tiba di Lanud Kalijati dari Palembang. Kedatangan mereka merupakan bagian dari ofensif Tentara ke-16 di barat Jawa. Namun, belum lama pesawat-pesawat itu menapakkan roda di bumi Kalijati, mereka hancur oleh bombardir udara yang dilancarkan Skuadron 242 RAF dan ML. Jepang tak hanya menderita kehilangan banyak pesawatnya tapi juga landas pacu utama Lanud Kalijati rusak oleh bombardir itu. “ML dan RAF memberi brigade udara Jepang kesulitan di Kalijati pada saat genting (di malam tanggal 2 Maret dan pagi 3 Maret) dan faktanya ada superioritas udara lokal Sekutu sampai sekitar jam 11.00 tanggal 3 Maret,” tulis Boer.
Pertempuran dahysat kembali pecah di sekitar Lanud Kalijati. Pasukan Sekutu bahkan bakal mendapat tambahan pasukan dari Infanteri ke-15 dan Infanteri ke-14. Dari Bandung, komandan resimen infanteri ke-2 Kolonel Toorop mengerahkan satu batalion infanterinya yang didukung kendaraan lapis baja Kavaleri ke-1 dan artileri ke Kalijati.
Sayang, belum lagi pasukan penyerbu itu mencapai Kalijati, Sekutu kecolongan lebih dulu oleh bombardir udara Jepang ke Lanud Andir. Para teknisi pasukan Jepang di Kalijati bergerak cepat memperbaiki landasan setelah bombardir Sekutu. Sisa pesawat yang ada langsung diterbangkan sekitar pukul 10.30 pagi 3 Maret. Bombardir udara oleh pesawat-pesawat itu membuat Lanud Andir lumpuh dan ditutup. Pasukan darat Sekutu pun tak jadi mendapat dukungan udara. Moril pasukan Sekutu langsung terjun bebas.
Bandul keberuntungan kembali bergeser ke pihak Jepang. Lepas dari tengah hari, tujuh pesawat Ki-51 dan enam pesawat Ki-48 Jepang mulai membombardir pasukan-pasukan Sekutu yang menuju Kalijati tadi.
“Hasilnya adalah, kedua konvoi (pasukan Sekutu –red.) itu sepenuhnya terperangkap di jalan terbuka dengan sawah di kedua sisi jalan yang berjarak sekitar lima kilometer. Konvoi itu kemudian diserang. Dalam beberapa menit, jalan dipenuhi kawah bom dan puluhan truk terbakar, kontainer amunisi meledak dengan gemuruh. Jumlah korban tewas terbatas tapi amat banyak yang terluka. Banyak dari mereka merangkak menuju saawh mencari tempat perlindungan. Pasukan Infanteri ke-10 musnah bersama truk-truk dan sebagian besar peralatan serta senjatanya. Hasilnya adalah kekacauan besar di jalan,” tulis Boer.
Selesainya Pertempuran Kalijati yang diikuti gerak maju pasukan Jepang membuat Panglima besar KNIL Letjen Hein ter Poorten langsung mengadakan rapat dengan Mayjen Hervey Sitwell (Panglima Inggris di Jawa) membahas langkah-langkah yang paling mungkin diambil. Saran Sitwell agar KNIL bergerilya ditolak Poorten lantaran kuatnya gerakan kemerdekaan Indonesia tak memungkinkan gerilya dilakukan.
“Dalam kondisi tersebut, ter Poorten dan gubernur jenderal, ditemani Mayjen JJ Pesman (komandan garnisun Bandung), menuju utara ke bekas pangkalan udara Belanda di Kalijati. Di sini, pada sore 8 Maret, mereka bertemu dengan musuh, bukan dalam pertempuran tetapi dalam kapitulasi,” tulis Bill.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar