Demi Buruh dan Tani yang Tertindas
Kisah pembelotan seorang serdadu Belanda yang kemudian terlibat dalam pusaran konflik politik di Madiun pada 1948.
Pagi baru saja memasuki Madiun ketika Radio Gelora Pemuda (RGM) mengudara seperti biasa.Namun berbeda dengan siaran-siaran yang lalu, saat itu RGM menampilkan seorang penyiar berbangsa Belanda bernama Peter Volkland. Dalam bahasa Belanda, sang penyiar menyerukan agar semua serdadu Belanda yang sedang bertugas di Indonesia untuk tidak mematuhi segala perintah menindas rakyat Indonesia.
“Banyak dari kalian yang nanti akan tewas dalam perang ini, tapi untuk apa? Sesungguhnya apa yang kalian lakukan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepentingan Belanda yang katanya sedang kalian bela. Secara tidak sadar kalian hanya tengah membela kepentingan segelintir elite keluarga kerajaan. Wahai kawan-kawanku sesama pemuda Belanda darah kalian tidak pantas tumpah untuk sebuah keluarga yang memiliki lebih banyak darah Jerman dibandingkan darah Belanda…Serdadu-serdadu Belanda janganlah berkhianat kepada orangtua kalian sendiri, apakah kalian sadar bahwa orang-orang yang tengah kalian hadapi di sini adalah para buruh tani laiknya orangtua kalian di Belanda sana…” demikian bunyi pidato Peter seperti dikutip Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.
Sontak pihak Belanda marah dengan siaran tersebut. Mereka mengajukan protes keras. Ketidaksenangan pihak Belanda itu lantas dilanjutkan oleh Pemerintah Republik Indonesia ke pihak BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) yang membawahi RGM. “Siaran itu bisa mengganggu perundingan-perundingan antara Belanda dengan Indonesia sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati,” ujar Asmudji dalam Pitojo: Aku Menolak Bertempur melawan Saudara-Saudaraku Pemuda Indonesia. Lantas siapakah sebenarnya Peter Volkland?
Desersi
Peter Volkland tentu saja hanya nama samaran. Nama asli penyiar muda berkebangsaan Belanda itu sejatinya adalah Piet van Staveren. Piet adalah anggota ANJV (Organisasi Pemuda Belanda yang berafiliasi ke Partai Komunis Belanda). Semasa Belanda dikuasai Jerman, dia terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah untuk melawan Jerman, di mana dia berkenalan dengan sejumlah pemuda Indonesia seperti Maroeto Darusman, Moerianto Koesoemo Oetojo dan Setiadjit
“Sebagai anggota partisan, hidupku selalu diiringi bahaya. Tidak jarang, untuk menghindari kejaran mata-mata NAZI dan Gestapo, kami harus bersembunyi beberapa hari,” ungkapnya dalam Vrijheid voor Piet van Staveren karya Eric Mol.
Pengalamannya berhadapan dengan segala kekejaman Jerman menjadikan Piet sangat membenci fasisme dan segala bentuk penindasan. Termasuk penindasan yang dilakukan oleh bangsanya terhadap rakyat Indonesia. Karena prinsip itu pula, bersama ribuan pemuda Belanda lainnya, Piet menolak mentah-mentah permintaan pemerintah Belanda untuk masuk wajib militer dan diberangkatkan ke Hindia Belanda pada 1946.
Namun takdir menentukan Piet tidak bisa mengelak dari “kewajiban” tersebut. Suatu hari, saat dia tengah berjalan-jalan secara tiba-tiba dia ditangkap. Pemerintah Belanda lantas memberikan dua pilihan kepadanya: diadili sebagai penjahat perang atau pergi ke Indonesia. Piet akhirnya memilih untuk pergi ke negeri tropis itu, dengan syarat: ditempatkan di barisan palang merah.
Singkat cerita, Piet diberangkatkan ke Indonesia. Dia lantas ditempatkan di Cimahi. Berbeda dengan janji semula pihak militer Belanda, di sana dia ternyata dimasukan dalam grup pasukan tempur, bukan di bagian medis atau palang merah. Piet tentu saja marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih ditanggapi, beberapa saat kemudian Piet malah dipindahkan ke Nyalindung, sebuah desa yang terletak antara Sumedang dengan Cirebon, batas demarkasi antara militer Belanda dengan tentara Republik Indonesia, di mana pertempuran hebat selalu terjadi di antara dua pihak yang tengah bertikai.
Piet menjalani kehidupannya sebagai seorang serdadu dalam situasi setengah hati. Sebagai seorang komunis yang lurus, hati nuraninya tak bisa menerima kenyataan jika dirinya harus berhadapan dengan kaum proletar yang ingin merdeka. Setelah berperang hebat dalam dirinya, maka pada 14 Juni 1947, ia lari melintas garis demarkasi untuk menjadi seorang desersi.
“Tentu saja itu aku lakukan, demi keberpihakanku kepada para buruh dan tani yang tertindas oleh negaraku sendiri,”ujar lelaki kelahiran Rotterdam pada 1925 itu.
Namun tidak serta merta, pihak militer Indonesia percaya begitu saja kepada niat Piet. Setelah berminggu-minggu ditahan di Sumedang, ia kemudian diserahkan ke PT (Polisi Tentara) di MBT (Markas Besar Tentara) Yogyakarta. “Seperti yang pernah saya alami, orang-orang Indonesia itu tak begitu saja percaya pada bule-bule totok seperti aku dan Piet, mereka selalu minta waktu meyakinkan diri bahwa keputusan kami bergabung dengan Republik adalah betul-betul keinginan murni kami sendiri…” ujar J.C. Princen, salah satu pembelot Belanda lainnya. (Bersambung)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar