Cak Roeslan, Yang Bertahan di Dua Zaman
Roeslan Abdulgani sosok politisi sejati. Tokoh yang dipehitungkan dalam dua rezim.
Sekali waktu Roeslan Abdulgani kedatangan tamu dua orang jenderal: KSAD Jenderal Ahmad Yani dan wakilnya, Letnan Jenderal Gatot Subroto. Saat itu, Menteri Penerangan Mohammad Yamin baru saja wafat pada 10 Oktober 1962. Kedua jenderal itu menyampaikan maksudnya terhadap Roeslan.
“Nanti kamu akan diminta Bung Karno menggantikan Yamin. Monyet, jangan sampai nolak, ya!” ujar Gatot Subroto.
Roeslan tak terima. Dia marah. “Pak, saya bukan monyet,” katanya dengan nada berang.
Yani segera menengahi. Ditenangkannya Roeslan yang merasa terhina. “Kamu jangan marah. Kalau Pak Gatot bilang kamu monyet, berarti dia senang.”
Usai pertemuan itu, Roeslan menghadap Presiden Sukarno. Mereka membicarakan seputar jabatan yang akan diemban Roeslan. “Ya, wis, ya, Cak (ya, sudah ya, Cak). Kamu saya jadikan menteri penerangan,” ucap Bung Karno.
“Baik. Tapi dengan syarat,” kata Roeslan. “Saya tidak mau didikte Bung Karno kalau soal menghadapi PKI.”
“Ya, ya…,” jawab Bung Karno sebagaimana ditirukan Roeslan. “Bung Karno kan orangnya gampangan,” kenang Roeslan kepada Priyono Sumbogo pada 24 Juni 1989 dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah Jilid 2.
Pada 1963, Roeslan menjabat menteri koordinator perhubungan rakyat sekaligus menteri penerangan. Sepanjangan era Demokrasi Terpimpin, dia menjadi salah satu tangan kanan kepercayaan Sukarno yang terpenting. Roeslan lekat dengan predikat “Jubir Usman” yang berarti Juru bicara USDEK-Manipol.
Juru Racik Ideologi
Cak Roes – panggilan akrab Roeslan Abdulgani – lahir di Surabaya 24 November 1914. Ayahnya Haji Abdulgani seorang saudagar kaya sedangkan ibunya guru agama. Meski dari keluarga berada, sejak usia pelajar dia sudah menjadi anggota organisasi Indonesia Muda. Memasuki zaman Indonesia merdeka, Roeslan tercatat sebagai kader PNI.
Di masa revolusi, Roeslan menjadi juru bahasa pemerintah provinsi Jawa Timur untuk berunding dengan tentara Inggris. Menjelang Agresi Militer II, Menteri Penerangan Mohammad Natsir menariknya ke Yogyakarta. Sewaktu naik sepeda ke kantornya, Roeslan terkena tembakan mitraliur pesawat terbang Belanda dekat Kali Code. Tangannya terluka. Tiga jari hilang.
Kedekatannya dengan Sukarno mulai terjalin saat penyelenggaran Konfrensi Asia Afrika pada 1955. Dalam perhelatan akbar negara-negara dunia ketiga itu, Roeslan bertindak sebagai sekretaris jenderal. Setelah itu, Roeslan menjabat menteri luar negeri.
Ketika Sukarno menetapkan Dekrit 5 Juli 1959, Roeslan diangkat sebagai wakil Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberi masukan kepada presiden. Patronase antara keduanya kian rapat. Sukarno memandang Roeslan sebagai penasihat terpercaya sekaligus pengimbang terhadap kubu kiri.
Dalam DPA, Roeslan diberi kedudukan khusus sebagai ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi. Roeslan punya tugas baru merumuskan pemikiran Sukarno sebagai bahan indoktrinasi ideologi. “Roeslan Abdulgani adalah alat Bung Karno untuk melaksanakan indoktrinasi, khususnya dalam rangka pembangunan bangsa dan karakter,” tulis Subiyarto dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Roeslan Abdulgani: Peranannya dalam Penerapan Pemikiran Bung Karno tentang Pembangunan Bangsa dan Pembangunan Karakter (1959—1965)”.
Roeslan memformulasi indoktrinasi ideologi ke dalam tujuh pokok pemikiran. Panitia menerbitkannya ke dalam dokumen bertajuk Tudjuh Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi. Indoktrinasi ditujukan ke seluruh lapisan masyarakat. Isinya antara lain: UUD 1945, penjelasan Manipol-USDEK, ringkasan Pembangunan Semesta, dan kumpulan pidato Sukarno yang berjudul, “Lahirnya Pancasila”, “Manifesto Politik”, “Djalannya Revolusi Kita”, “Membangun Dunia Kembali”
Menurut Subiyarto, Roeslan adalah orang yang mampu menerjemahkan keinginan Sukarno. Roeslan piawai menangkap kebijakan dan doktrin politik Sukarno untuk disampaikan kepada khalayak. Hampir dalam setiap pidato, sambutan, prasaran, ceramah, kuliah umum, dan tulisan-tulisannya, Cak Roes mengutip ulang pernyataan Bung Karno dan menyisipkan ke dalam teks yang dibuatnya. Sebagai konsekuensinya, Roeslan dijuluki “Jubir Usman” atau sebagai epigon dari Bung Karno.
Sebagai menteri penerangan, Roeslan cukup mendapat simpati di kalangan wartawan. Dia banyak memberi perhatian bagi perkembangan pers pada masa itu. Dalam berbagai kesempatan insan pers, selaku menteri penerangan Roeslan juga kerap memberikan materi indoktrinasi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi.
Berwajah Dua
Memasuki paruh kedua 1965, spektrum politik cenderung ke kiri yang berujung prahara. Sikap kritis terhadap komunis menyebakan hubungan Roeslan dan Sukarno merenggang. “Bung Karno memang sudah dekat sekali dengan PKI, karena PKI pandai sekali cari muka,” kata Roeslan.
Antara 1968—1972, Presiden Soeharto menempatkan Roeslan di PBB sebagai duta besar. Sepulangnya ke Indonesia, Roeslan pensiun. Namun pada 1978, Soeharto meminta Roeslan bergaung di tim BP-7, lembaga indoktrinasi ideologi Orde Baru. Reputasi sebagai “Jubir Usman” di masa sebelumnya membuat Soeharto membutuhkan servis Roeslan dalam pelaksanaan indoktrinasi. Roeslan kemudian mengepalai BP-7 selama hampir dua dekade.
Menurut jurnalis kawakan Rosihan Anwar, Roeslan cenderung berwajah dua. Roeslan mau bekerja dalam rezim Orde Baru meski dia beranggapan, Soeharto terlibat G30S yang digunakan sebagai batu loncatan untuk mengambil alih kekuasaan selangkah demi selangkah, yang disebut creeping coup d’etat (kudeta merengkak). Sedemikian rupa lakon Roeslan dipanggung politik menempatkannya dalam persepsi yang beragam.
“Ada yang memandangnya sebagai ikon nasional. Ada yang bilang Roeslan adalah manusia segala musim alias man of all seasons, kutu loncat politik, bertahan dalam rezim apapun,” tulis Rosihan dalam Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor. Namun Rosihan lebih meyakini pendapat T.B. Simatupang yang mengatakan bahwa Roeslan seorang politikus sejati.
Dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Roeslan Abdulgani: Mengabdi dalam Dua Jaman, Mawardi menyebutkan tiga faktor yang menerangkan keterlibatan Roeslan di rezim Orba. Dari segi kapabilitas, kemampuan Roeslan tak diragukan. Kedua, Roeslan tidak disukai PKI namun disukai Angkatan Darat. Ketiga, ini menjadi usaha Soeharto untuk tidak terlalu konfrontatif dengan orang-orang Sukarno.
Roeslan sendiri menyadari imbas atas setiap langkah yang diambilnya. “Pada zaman dulu saya dicurigai, zaman sekarang pun ada yang dicurigai. Nah, curiga itu adalah konsekuensi bila kita ikut berpolitik. Di samping curiga, ada simpati. Saya tidak melihat dunia itu black and white, tetapi warna-warni,” ujar Roeslan.
Cak Roes berumur panjang. Di usia senjanya, Roeslan masih sempat menyaksikan Indonesia memasuki fase reformasi. Sang politisi dua zaman meninggal di Jakarta pada 29 Juni 2005 dalam usia sepuh, 90 tahun.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar