Ç'est la vie, Tedjabayu!
Tedjabayu dipenjara oleh Orde Baru selama 14 tahun tanpa pengadilan. Kata ibunya, "Ç'est la vie, Dja!".
Sore itu kami menemui Tedjabayu di Kedai Sagam (Sang Ahli Gambar), sebuah kedai kopi yang namanya diambil dari julukan ayah Tedja, S. Sudjojono. Seorang kawan tengah mencari informasi tentang kakeknya, dosen UGM yang hilang lalu dibunuh pasca-1965 dan kuburannya ditemukan tahun 2000 oleh YPKP 65 di Wonosobo. Tedjabayu mengenal sang kakek, tapi tak bisa banyak bercerita. Sebagai gantinya, Tedjabayu membagikan pengalamannya yang telah ia tulis menjadi memoar namun masih mencari penerbit.
Kisahnya dimulai dari Rabu, 20 Oktober 1965. Hari yang tak pernah disangka-sangka oleh Tedjabayu. Sejak pagi, ia telah berada di gedung Chung Hwa Tjung Hwi (CHTH) di Jalan Sonobudoyo, Yogyakarta. Tedjabayu dan para anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) berjaga untuk mengamankan gedung yang dipinjam Universitas Res Publica (Ureca) itu dari ancaman massa demonstrasi ganyang PKI.
Suasana makin riuh siangnya. Massa di depan gedung meneriaki mereka, “ganyang PKI, ganyang PKI, bunuh PKI.” Tak berapa lama kemudian, Tedja dan 126 kawannya ditangkap Batalyon F untuk diamankan dan diserahkan kepada polisi. Mereka lalu digiring ke penjara Wirogunan.
“Masih nyanyi-nyanyi. Kita gayanya kayak model zaman aksi sepihak gitu. Aksi sepihak kan mesti nyanyi-nyanyi. Terus sebentar kemudian bebas gitu,” kenang Tedjabayu, 26 Januari 2020 lalu.
Tedjabayu dan kawan-kawannya tetap santai karena mengira akan dibebaskan tak lama kemudian. Namun perkiraan mereka meleset. Wirogunan baru permulaan yang kelak membawa mereka dari penjara satu ke penjara lainnya.
“Gak tahunya 14 tahun,” katanya sambal terkekeh.
Tedjabayu lahir pada 3 April 1944 di Jakarta. Kedua orang tuanya, Sudjojono dan Mia Bustam, sama-sama pelukis dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Nama Tedjabayu diberikan oleh Mia Bustam yang terinspirasi kisah Jawa Kuno, Sri Tanjung.
Lahir dari ayah dan ibu yang berideologi kiri membawa Tedjabayu muda ke haluan yang sama. Ketika kuliah di UGM, ia bergabung dengan CGMI. Meski demikian, ia membantah CGMI adalah sayap PKI. Menurut Tedjabayu, cap PKI pada CGMI bermula pada Kongres CGMI di Jakarta tahun 1965. Pada kongres itu ditetapkan bahwa CGMI adalah organisasi mahasiswa revolusioner, anggota PKI, dan non-PKI.
“Nah terus (CGMI) dicap (PKI). Sudah,” terangnya.
Keanggotaannya dalam CGMI kemudian membawa Tedjabayu menjajaki bui demi bui. Dari Wirogunan, ia dilempar ke Ambarawa, Nusakambangan hingga akhirnya ke kamp Pulau Buru. Tedjabayu yang kala itu masih berusia 21 harus menjalani beratnya kehidupan penjara meski ia, sama seperti ribuan tapol lain, tak pernah diadili.
Baca juga: Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono
Tedjabayu banyak bercerita tentang Nusakambangan. Di Nusakambangan, katanya, para tapol iseng-iseng menghitung jumlah butir jagung yang dibagikan setiap harinya. Makin hari jumlah butirnya menurun. Kadang 160 butir, kadang 150 butir, hingga hanya 130 butir.
“Kita rata-rata, unit-unit lain kita tanya, berapa? 144 butir sehari. Karena itu ya ada yang meninggal karena kelaparan,” ungkap Tedjabayu.
Di saat sulit seperti itulah Tedjabayu memahami bermacam-macam sifat asli seseorang. Ada yang egois, ada yang militan hingga akhir hayat. Ada yang pelit ketika mendapat kiriman makanan dari keluarga, ada pula yang selalu menjunjung tinggi solidaritas dan perkawanan.
Suatu hari, ketika Tedjabayu tengah berada di ruang tempo (ruang untuk orang sakit) karena penyakit kulit scabies, seorang kawan meminta bantuannya untuk dipapah. Tedjabayu mengingatkan bahwa sang kawan masih sakit, jadi lebih baik beristirahat.
“Ora, koyone aku ki wes ora kuat. Aku arep pamit karo konco-konco. (Tidak, sepertinya aku sudah tidak kuat. Aku mau pamit sama teman-teman.),” kata kawan itu.
Bersama seorang kawan lainnya Tedjabayu lalu menggandeng orang itu keliling ke kamar-kamar. Namun, baru sampai kamar nomor tiga, orang itu jatuh, esoknya meninggal dunia.
“Ada lagi satu yang gila. Sakit keras, kelaparan, tiba-tiba teriak. Tahu nggak lagu apa? Lagu ‘Internasionale’,” kata Tedjabayu.
Tedjabayu dan tahanan lain lalu mengingatkannya bahwa lagu ‘Internasionale’ dilarang. Akhirnya ia menyanyi dengan lirih, makin lama makin pelan, kemudian meninggal dunia. Dua peristiwa itu, katanya, akan selalu ia ingat. Tentang bagaimana para pemuda kukuh dengan militansinya.
Dari Nusakambangan, Tedjabayu mendapat giliran berangkat ke tanah pembuangan Pulau Buru pada 1970. Sembilan tahun ia diasingkan di sana bersama ribuan tapol lain. Tedjabayu baru dibebaskan pada November 1979.
Baca juga: Adam Malik Hilangkan Sketsa-sketsa Karya Sudjojono
Di Kodim Jakarta Barat, tempat Tedjabayu dan kawan-kawannya dilepaskan, ia melihat sang ibu mengenakan jarit menjemputnya. Tedjabayu mengira ibunya akan menangis cengeng karena kembali bertemu si anak sulung yang 14 tahun tak pulang setelah berpamitan mengamankan gedung Ureca. Tetapi ia salah.
“Ya ini hidup, Dja! Gitu. Bahasa Prancis dia bilang: Ç'est la vie, Dja!” kenang Tedjabayu.
Itulah pengalaman hidup paling berharga Tedjabayu yang menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa. Bebas dari penjara Orde Baru, Tedjabayu kembali menyambung harapan. Ia sempat bekerja untuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Ia juga pernah menjadi komisaris Kantor Berita Radio 68H.
Sore itu, Tedjabayu terlihat sehat. Meski rambut dan kumisnya sudah putih, ia tak seperti orangtua yang ringkih. Ingatannya dan minatnya pada beragam topik mengesankan. Kami lalu lanjut mengobrol, dari soal intelijen hingga kopi.
Namun, obrolan mengasyikkan seperti itu belum kami dapati lagi sejak itu. Kami justru mendapat kabar mengagetkan: Tedjabayu meninggal dunia pada Kamis, 25 Februari 2021 di Jakarta. Padahal, memoarnya, Mutiara di Padang Ilalang, belum lama terbit. Selamat jalan, Mutiara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar