Bukan Sembarang Usman
Dia memimpin laskar Bambu Runcing di Cibinong yang melawan Belanda dan pemerintah Republik.
BIASANYA nama bapak melekat pada anaknya. Ini justru sebaliknya. Haji Usman, seorang jawara kharismatik, lebih dikenal dengan sebutan Usman Debot. Pangkalnya karena anak perempuannya yang cantik jelita.
“Nama aslinya Usman. Anak pertamanya perempuan, namanya Debot. Anaknya cakep. Bahenol daaaah. Makanya dia dipanggil Usman Debot. Umurnya dua tahun lebih tua dari saya,” ujar Adung Sakam, 85 tahun, kawan seperjuangan Usman Debot kepada Historia.
Usman Debot memimpin laskar Bambu Runcing di Cibinong, yang kesohor dan disegani.
Bambu Runcing merupakan pasukan rahasia, dibentuk Tan Malaka dan Jenderal Sudirman awal 1948 untuk mengisi kekosongan pasukan di Jawa Barat setelah Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Renville. Bahar Rezak, pemimpin Laskar Rakyat Jakarta Raya, menjadi komandan tertingginya.
Aksi-aksi Bambu Runcing cukup merepotkan Belanda. Sejumlah pentolannya bahkan disebut-sebut tidak mempan peluru. “Si Usman punya kelebihan. Ini benar. Bukan hanya katanya… katanya. Saya tahu betul. Banyak yang bilang dia itu nggak mempan peluru. Yang benar itu bukannya nggak mempan, tapi itu peluru nggak sampe di badannya,” kata Adung.
Wilayah kekuasaan Usman Debot, sebagaimana dikisahkan Adung Sakam, mulai dari Citeureup, Cibinong, Cileungsi, Kampung Daiyeh, Jonggol, hingga terus ke arah selatan.
Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, menyebut pasukan Usman Debot bermarkas di bukit-bukit kapur sekitar Cibinong. “Gua-gua di bukit kapur tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung pasukan Debot, melainkan juga sumber pemasukan besar dari penjualan sarang burung walet yang mahal,” tulisnya.
Bambu Runcing mendesak kemerdekaan 100% sebagaimana tuntutan Tan Malaka. Mereka menyoal langkah-langkah berunding yang diambil pemerintah. Ketika Kabinet Hatta menggulirkan kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara, Bambu Runcing membangkang. Muncullah konflik. Selain baku-tembak, kedua kelompok bersenjata itu menggelar razia di wilayah kekuasaan masing-masing. Akibatnya, rakyat menjadi ketakutan dan terteror.
Nap Kotong, 75 tahun, pernah kena razia. Semasa muda, dia memasok ikan kepada para pedagang di pasar Cisalak, Sindang Karsa, Cikumpa, Pedurenan, hingga Cibinong. Suatu hari, sekitar 1951, sepulang berjualan dia terjaring operasi Bambu Runcing di Kampung Cironyok, Sugutamu, Sukmajaya. Dia digeledah. Karena anggota Bambu Runcing menemukan sejumlah uang di kantong, dia dituduh mata-mata.
“Saking ketakutannya, saya sampai terkencing-kencing,” kenangnya. Dia dilepas setelah mengatakan kampungnya di Tanah Baru. Tanah Baru merupakan basis Bambu Runcing.
Pemerintah kemudian menangkap dan menahan Chaerul Saleh, komandan tertinggi Bambu Runcing setelah Bahar Razak menghilang –kemungkinan mati. Menteri Kehakiman Muhammad Yamin kemudian membebaskannya.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan akan mengampuni anggota Bambu Runcing yang menyerah, bahkan memberikan pekerjaan. Sementara Chaerul Saleh menginstruksikan kepada seluruh anggota Bambu Runcing agar turun gunung dan bergabung dengan Republik.
Ada yang patuh ada yang terus melawan. Camat Nata pimpinan Bambu Runcing Bekasi menyerah bersama pasukannya. Sementara Usman Debot pantang menyerah dan terus bergerilya.
Menurut Cribb, wilayah kekuasaan Debot tampaknya telah diterima sebagai bagian dari lanskap politik lokal. Bahkan pada pemilihan umum 1955 anggota Bambu Runcing di wilayah Usman Debot turut berkampanye atas nama Partai Nasional Indonesia serta partai sayap kiri, Murba dan Akoma (Angkatan Komunis Muda).
“Sebagai imbalannya, partai-partai itu meyakinkan pemerintah untuk tidak melancarkan pembasmian terhadap para pemberontak tersebut,” tulis Cribb.
Pada 1959, setelah Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945, Debot akhirnya turun gunung. Dia menyerahkan diri ke Batalion 313 Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Marwoto
Setelah meninggalkan hiruk-pikuk dunia kelaskaran, Usman Debot berbisnis. Dia menjalankan pabrik kapur di Jonggol, Bogor. Usman meninggal tahun 1990. Setelah itu, pabrik kapur diteruskan anaknya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar