(Bukan) Perhiasan Perang
Di masa Jepang, kaum ibu harus merelakan tenaga, ketrampilan, bahkan perhiasan untuk kepentingan perang.
PADA peringatan Hari Ibu, setiap 22 Desember, biasanya kaum ibu bebas-tugas dari pekerjaan-pekerjaan domestik. Tapi di masa Jepang, kaum ibu justru masuk wilayah politik. Ada yang membantu Jepang dalam Perang Pasifik, ada pula yang menjadikannya sebagai momen perlawanan.
Di masa pendudukan Jepang, semua organisasi perempuan yang dibentuk pada masa kolonial dibubarkan. Jepang lalu mendirikan Gerakan Istri Tiga A dan Barisan Putri Asia Raya, yang merupakan bagian dari gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia). Gerakan ini tak bertahan lama, kemudian digantikan oleh Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dengan cabang perempuannya bernama Barisan Pekerja Perempuan Putera. Selain itu, Jepang mendirikan Fujinkai, kelompok perempuan setempat yang diketuai oleh istri pejabat tertinggi setempat. Putera akhirnya dilebur dalam organisasi baru, Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hokokai), dengan bagian perempuan bernama Fujinkai.
“Para istri pegawai pemerintah diwajibkan menjadi anggotanya, masing-masing posisinya sesuai dengan posisi sang suami dalam hierarki pemerintahan. Suatu pola yang ditiru kembali oleh rezim Orde Baru dengan Dharma Wanita,” tulis Saskia E. Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan.
Menurut Slamet Muljana, susunan Fujinkai dari atas ke bawah. Maksudnya, pembentukan Fujinkai tak didasarkan atas kemauan kaum perempuan, tapi perintah dari atas. “Mau tidak mau, cakap tidak cakap, semua istri para pembesar dan pemangku jabatan penting, terutama istri pamong praja, harus menjadi anggota Fujinkai dan bekerja demi kepentingan pertahanan,” tulis Slamet dalam Kesadaran Nasional Jilid II.
Fujinkai kemudian menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang diizinkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Ketuanya Ny Sunaryo Mangunpuspito. Menurut Saskia E. Wieringa, tujuan utama Fujinkai adalah memobilisasi tenaga perempuan untuk mendukung tentara Jepang dalam perang yang lebih luas di Asia Timur. Para anggotanya mengunjungi serdadu Jepang yang terluka, menjahit kaos kaki, serta memberikan hiburan pada tentara Jepang dan Peta. Mereka juga mendapat pelatihan pertahanan seperti mempersiapkan dan mendistribusikan bahan makanan serta mendirikan dapur umum. Di tingkat lokal, cabang-cabang Fujinkai melakukan tugas-tugas sosial seperti pemberantasan buta huruf, membangun fasilitas kesehatan, menggalakkan berkebun, dan lain-lain.
Keberadaan Fujinkai merisaukan sejumlah perempuan yang berwawasan luas. Mereka tak mau masuk Fujinkai dan memilih bergerak di bawah tanah. Salah satunya Umi Sarjono, istri Sukisman (seorang pemimpin PKI) dan anggota kelompok gerakan komunis bawah tanah Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dibentuk Mei 1940. Dia membuka warung di depan markas tentara Peta yang digunakan sebagai pos penghubung para aktivis di kalangan markas tersebut dengan kelompok Geraf.
“Saya lahir di Sragen, ayah saya seorang kepala desa. Kakak lelaki saya sudah ikut ambil bagian dalam gerakan antifasis melawan Jepang. Dia mengajari saya tentang nasionalisme dan antifasisme... Kami mengorganisasi dapur umum, memakamkan pejuang gerilya yang gugur, berkeliling ke desa-desa memberikan penerangan dan mendirikan kursus-kursus buta huruf,” kata Umi sebagaimana dikutip Saskia.
Tapi ini masa tersulit bagi gerakan perempuan, juga bagi gerakan politik pada umumnya. Jepang begitu represif. Perlawanan pun hanya bisa dilakukan di “bawah tanah”. Pilihan yang umumnya diambil adalah mengambil manfaat dari lembaga-lembaga bentukan Jepang.
Sri Soemi, istri pemimpin sekolah guru negeri di Solo dan pengajar PPPK untuk anggota Fujinkai, misalnya, mengajak kaum perempuan untuk ikut berjuang dalam peperangan Asia Timur Raya. “Himpunan Kebaktian Rakyat (Hokokai) sebagai pusat pengikat, penarik, dan pendorong segala tenaga rakyat untuk digerakkan ke arah kemenangan akhir. Dua buah motornya, kaum pria dan kaum wanita telah berdengung dengan kuat,” tulis Sri Soemi dalam “Perdjoeangan Wanita” di Pandji Poestaka, 1 Juni 1944.
Menjelang peringatan Hari Ibu tahun 1943, seperti diberitakan harian Sinar Matahari di Yogyakarta, 2 Desember 1943, pemerintah menganjurkan agar kaum ibu menjaga kesehatan seisi rumah, hidup sederhana (makanan maupun pakaian), serta “menebalkan dan menyala-nyalakan semangat anak-anak laki-laki maupun perempuan untuk menyumbangkan tenaga kepada masyarakat guna mempercepat datangnya Kemenangan Terakhir dan dunia yang selamat dan bahagia.”
Selain itu, tentu saja membantu Balatentara Dai Nippon dengan melipatgandakan hasil bumi untuk membantu prajurit Peta dan Heiho, dan lain-lain. “Itulah tuntutan hidup kaum ibu di masa perang,” tulis Sinar Matahari.
Peringatan Hari Ibu tahun 1943 di sejumlah kota umumnya diisi dengan kegiatan sosial seperti membantu atau memberi sumbangan untuk anak yatim, mengunjungi kaum ibu yang dirawat di rumahsakit, atau lomba bayi sehat.
Tapi, ketika kian terdesak dalam Perang Pasifik, Jepang memerintahkan kaum ibu untuk mendukung perang. Perayaan Hari Ibu dijadikan momen untuk menghimpun dana perang. Kantor Besar Jawa Hokokai Fujinkai menganjurkan kaum perempuan, khususnya anggota Fujinkai, untuk menunjukan kebaktiannya, “Dengan menyerahkan perhiasannya kepada pemerintah untuk kepentingan peperangan,” tulis Sinar Baroe, 20 Desember 1944, menyiarkan maklumat itu.
“Pengumpulan harta kekayaan berupa emas dan intan sebagai sumbangan wajib penduduk untuk dana perang… demi keselamatan pribadi dan suaminya, para perempuan Fujinkai bekerja tanpa protes,” tulis Slamet.
Selain itu, kaum perempuan juga dianjurkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan perang. Secara bertahap, kaum perempuan harus dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang selama ini ditangani laki-laki. “Pekerjaan di pabrik, kantor, pertanian, obat-obatan, teknik, dan lain-lain, perlu juga mulai sekarang menjadi perhatian kaum wanita... dengan jalan ini, maka barisan wanita akan memperkuat benteng perjuangan Jawa.”
Pada akhirnya kaum perempuan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bahkan lebih dari itu, “Mereka tidak mampu melawan terhadap bujukan untuk meninggalkan rumah dan memaksa mereka berkerja di rumah-rumah bordil milik militer Jepang. Mereka disebut perempuan penghibur (jugun ianfu),” tulis Saskia.
Segera setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Fujinkai dibubarkan. Pemimpinnya Ny Sunaryo Mangunpuspito menganjurkan para anggota di cabang-cabang setempat mengubah diri menjadi organisasi untuk mempertahankan kemerdekaan. Lalu, melalui kongres pada 16 Desember 1945, berdirilah satu wadah bernama Persatuan Wanita Indonesia (Perwari).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar