Bowo Kecil Ditimang Bung Karno
Semasa bocah, Prabowo Subianto pernah merasakan digendong Presiden Sukarno. Kelak di usianya yang ke-73, Prabowo melanjutkan jejak Sukarno menjadi Presiden RI ke-8.
PRESIDEN terpilih Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto mengaku pernah berinteraksi secara langsung dengan semua Presiden RI. Mulai dari Presiden Joko Widodo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Sukarnoputri, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), B.J. Habibie, Soeharto, hingga Sukarno. Pengakuan itu disampaikannya dalam pidato kemenangan setelah dinyatakan unggul suara hasil hitung cepat Pilpres 2024 pada Februari silam.
Dari semua presiden, Prabowo barangkali paling dekat dengan Soeharto karena pernah menjadi menantu presiden RI ke-2 itu. Dengan SBY (Presiden RI ke-6), Prabowo merupakan rekan seangkatan semasa taruna di Akademi Militer Angkatan 1970. Semasa muda, Prabowo cukup dekat dengan Gus Dur (Presiden RI ke-4) bahkan kerap menjadi tukang pijit Gus Dur. Sewaktu Habibie menjabat presiden RI ke-3, Prabowo sudah menjabat panglima Kostrad. Dengan Megawati (Presiden RI ke-5), Prabowo pernah berpasangan sebagai calon wakil presiden dalam gelaran Pilpres 2009. Sementara itu, di masa kepresidenan Joko Widodo (Presiden RI ke-7), Prabowo diangkat sebagai menteri pertahanan.
“Hampir semua presiden saya kenal. Bung Karno saya tidak kenal karena saya masih kecil, tapi saya pernah diangkat oleh Bung Karno,” kata Prabowo dalam orasinya pada 14 Februari 2024.
Baca juga: Perjalanan Prabowo Menuju Menteri Pertahanan
Keluarga Prabowo, terutama kakek dan ayahnya, termasuk tokoh yang ikut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Raden Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo, dikenal sebagai direktur pertama Bank Nasional Indoesia (BNI). Di masa pergerakan, Margono merupakan salah satu pendiri Partai Indonesia Raya (Parindra), bersama tokoh nasionalis lainnya seperti Soetomo, Thamrin, dan Soeroso. Parindra dibentuk pada 1935, setelah Bung Karno diasingkan pemerintah kolonial ke Ende, Flores. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Sukarno saat itu menjadi partai politik utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia namun dibubarkan karena sejumlah pemimpinnya ditangkap. Menurut Prabowo, sebagaimana dituturkan kakeknya, Margono adalah orang yang dipercaya Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan saat sejumlah tokoh PNI yang lain diasingkan pemerintah kolonial ke luar Jawa.
Seperti Margono, putranya yang juga ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, juga turut dalam perjuangan kemerdekaan. Setelah menyelesaikan studi ekonomi di negeri Belanda, Sumitro menjadi asisten pribadi Perdana Menteri RI pertama Sutan Sjahrir. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Sumitro mengetuai komisi ekonomi dan keuangan delegasi Indonesia. Sepanjang paruh pertama 1950, Sumitro beberapa kali menduduki posisi menteri, yakni: Menteri Perdagangan dan Perindustrian Kabinet Natsir (1950—1951), Menteri Keuangan Kabinet Wilopo (1952—1953), dan Menteri Keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap (1955—1956). Sumitro juga dikenal sebagai Guru Besar bergelar profesor di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Selain tumbuh dan besar dalam keluarga pejuang kemerdekaan, Prabowo yang lahir pada 17 Oktober 1951 itu acap bersua dengan tokoh-tokoh Angkatan 45. Waktu kecil, Bowo –panggilan akrabnya-- sering berkunjung ke kediaman Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta. Dulu, Margono sempat menjadi sekretaris Bung Hatta. Bowo kecil juga samar-samar mengenali Presiden Sukarno ketika Sumitro sekali waktu membawanya ke Istana Merdeka.
“Saya bahkan pernah dibawa orang tua saya, Pak Sumitro, ke Istana pada saat saya berumur sekitar 6 atau 7 tahun. Saya sempat diangkat oleh Bung Karno,” tutur Prabowo dalam jilid pertama memoarnya Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman.
Baca juga: Kisah Bowo Anak Kebayoran
Namun, hubungan Sumitro dan Sukarno retak memasuki paruh kedua 1950. Perbedaan pandangan politik antara keduanya menyebabkan Sumitro kemudian bergabung dengan pemberontakan PRRI-Permesta di daerah-daerah bergolak yang menuntut otonomi. Selain itu, Sumitro menyaksikan kedekatan Sukarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pimpinannya D.N Aidit, termasuk menyangkut masalah perekonomian. Soal pembangunan ekonomi nasional, Sukarno bahkan lebih cenderung kepada analisis Aidit ketimbang ekonom berpendidikan Barat seperti Sumitro.
Menurut peneliti sejarah ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Farabi Fakih dalam “The Ambiguous Position of Economist during the Old Order, 1950-65”, Sukarno cukup anti terhadap sistem ekonomi Barat yang mengusung liberalisme dan pasar bebas. Salah satu tujuan utama eksperimen Demokrasi Terpimpin ala Sukarno adalah untuk menghilangkan pengaruh liberal dalam masyarakat. Pertentangan ini dimanfaatkan betul oleh Aidit.
“Aidit menuduh Sumitro berpihak pada imperialisme dan feodalisme dengan menempatkan analisis kemiskinan Indonesia pada investasi asing dan kurangnya tabungan penduduk. Menurut teori komunis, hal itu tidak memiliki komponen sosial dan salah memahami hakikat masyarakat pedesaan Indonesia; bahwa alasannya bukan karena kurangnya kecenderungan menabung, tetapi sebagai akibat dari kegiatan mencari keuntungan dari kapitalis birokrat, pemilik perusahaan asing, dan tuan tanah. Ia menyalahkan keadaan ini hampir secara eksklusif pada Sumitro,” catat Farabi Fakih dalam artikelnya yang termuat di Promises and Predicamennts: Trade and Enterpreneurship in Colonial and Independent Indonesia in the 19th and 20th Centuries suntingan Alicia Schrikker dan Jeroen Touwen.
Baca juga: Dugaan Korupsi Menteri Sumitro
Sumitro, seperti dikisahkan dalam biografinya yang ditulis Hendra Asmara dan Heru Cahyono, menaruh simpati mendalam terhadap perasaan daerah yang diabaikan oleh pusat. Menurutnya pemerintah pusat mengingkari tujuan kemerdekaan untuk mengatasi keterbelakangan rakyat. Penyebab dinafikannya tujuan hakiki itu ialah penerapan sistem pemerintahan yang terlampau tersentralisasi. Soal kontrol devisa, umpamanya, selama itu senantiasa dihabiskan oleh Jakarta.
“Sekalipun Sumitro orang Jawa, namun istrinya orang Manado. Itu mungkin membuatnya lebih peka terhadap daerah-daerah luar Jawa. Di luar itu, ia mempunyai pengetahuan dan wawasan luas, sehingga setelah diserang tuduhan korupsi, ia memilih bekerja sama dengan para pemimpin militer di daerah-daerah yang bergolak,” catat Hendra dan Heru dalam Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang.
Pertentangan antara Sumitro dan Bung Karno turut diakui oleh Prabowo. Dalam memoarnya, Prabowo menyebut Sumitro dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai salah seorang lawan politik Sukarno cukup lama. Bahkan, Sumitro ikut dalam PRRI-Permesta yang merupakan gerakan melawan pemerintahan Presiden Sukarno. Sikap oposisi Sumitro menyebabkan keluarganya hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain.
Baca juga: Kisah Prabowo dan Gadis-gadis Inggris
“Karena saya putra Prof. Sumitro, bisa dikatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti Sukarno. Tetapi yang menarik adalah Pak Sumitro selalu ingatkan kami, putra-putri Beliau, berkali-kali ia melawan Bung Karno karena berbeda pandangan politik terutama masalah komunis, dan Partai Komunis Indonesia,” tutur Prabowo.
Saat beranjak remaja, Bowo jengah juga hidup berpindah-pindah negara. Sewaktu menetap di Malaysia, Bowo dirundung kawan-kawannya yang suka mengumpat Indonesia dan Presiden Sukarno. Pada 1960-an, Indonesia berkonflik dengan Malaysia atas pembentukan negara Federasi Malaysia sehingga melahirkan slogan “Ganyang Malaysia”. Bowo protes kepada Sumitro, “Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro-Sukarno,” gerutunya.
Keluarga Sumitro pulang ke Indonesia setelah Sukarno lengser. Sumitro kembali menduduki posisi menteri dua kali lagi di era kepresidenan Soeharto, yaitu Menteri Perdagangan Kabinet Pembangunan I (1968--1973) dan Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan II (1973—1978). Sementara itu, Prabowo menapaki karier militer di TNI Angkatan Darat hingga mencapai jenjang perwira tinggi. Menjelang wafatnya pada 2001, Sumitro menyatakan penyesalan terdalam dalam hidupnya, kepada putra bungsunya Hashim, adik Prabowo.
“Satu hal yang paling saya menyesal adalah bahwa saya berpisah dari Bung Karno. Harusnya saya tetap bersama Beliau,” kata Sumitro seperti dikisahkan dalam memoar Prabowo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar