Boikot Film
Dari alasan monopoli hingga demoralisasi, dari ketidakberesan peredaran hingga pajak, aksi boikot-memboikot mewarnai perjalanan sejarah film di Indonesia.
FILM-film impor, Hollywood maupun non-Hollywood, tak tayang lagi di bioskop-bioskop di Indonesia. Ini bagian dari ptotes Motion Picture Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) terhadap kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor.
Kebijakan pemerintah itu menuai polemik. Ada yang menganggap kualitas film Indonesia masih jauh dari harapan, dan adanya film impor justru bisa membuat para insan film nasional belajar dari segi ide maupun teknik. Sebagian menilai selama ini pajak film impor terlalu kecil; cuma Rp 2 juta per kopi. Sementara besar pajak produksi film nasional saat ini sekira 10% dari keseluruhan pagu anggaran produksi sebuah film. Misalnya, film berbiaya produksi Rp 5 milyar, kena pajak Rp 500 juta. Jadi, ada masalah ketidakadilan, yang sudah lama menghimpit perfilman nasional.
Apa lacur, beberapa hari ini film-film Hollywood menghilang dari layar gedung-gedung bioskop di Indonesia.
Ketiadaan film-film Hollywood pernah terjadi pada awal 1960-an. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang disebut-disebut organisasi mantel Partai Komunis Indonesia (PKI), mengumandangkan aksi boikot film AS. Bahkan, pada Juli 1961, Lekra dalam sidang plenonya mencetuskan resolusi yang mendesak pemerintah untuk membubarkan American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI). Alasannya, AMPAI memonopoli masuknya film-film AS dan Eropa serta memonopoli bioskop-bioskop di Indonesia.
Menurut liputan Tempo, “Mampusnya AMPAI”, 29 Juni 1991, kehadiran AMPAI pada 1950-an tak terlepas dari MPEAA (Motion Picture Export Association of America) yang berdiri pada 1945 –kemudian ganti nama jadi Motion Picture Association (MPA) pada 1994. MPEAA bertugas membantu merancang perjanjian internasional mengenai pemasaran, penjualan, penyewaan, pemajakan, maupun penyaluran film AS. AMPAI hadir berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dan MPEAA, yang mengizinkan peredaran film-film produksi anggotanya: MGM, United Artists, Universal, Paramount, Warner Brothers, 20th Century-Fox, Columbia/Tri Star, Buena Vista/Touchstone, Orion, dan Carolco. Selain film AS, film produksi Inggris juga masuk berkat negosiasi AMPAI dengan studio film terbesarnya, J. Arthur Rank Organisation.
Pada 1950-an sampai 1960-an, AMPAI merajai film Indonesia. Ia menguasai bioskop-bioskop dan distribusi film. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sampai-sampai, seperti diulas Tempo, 29 Juni 1991, untuk masuk bioskop kelas satu, Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim harus melobi Bill Palmer, bos AMPAI. Dengan begitu, film Krisis, garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop Kelas I. Tapi pelaksanaan wajib putar kurang lancar.
Tantangan bagi film nasional sebenarnya juga datang dari film non-AS. Kementerian Perdagangan juga didesak untuk membendung film Malaya dan Filipina. Tekanan bertambah ketika film India memenuhi bioskop-bioskop kelas II, pasar utama film Indonesia. Berkat desakan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), Menteri Perekonomian setuju menurunkan kuota impor film India.
Selain masalah monopoli, Lekra mengganyang film AS karena film-film Hollywood itu mengakibatkan demoralisasi. Padahal film bukan semata untuk kepentingan hiburan, tapi juga alat perubahan, pendidikan, dan penyadaran. Bachtiar Siagian, tokoh perfilman Lekra, menekankan, sebagaimana dimuat Harian Rakjat, 19 Maret 1964, bahwa sikap Lekra tidak membabi-buta mendukung film Uni Soviet dan menghajar film apapun yang datang dari AS. Dia menyebut film-film progresif seperti This is Our America atau film-film Charlie Chaplin yang progresif serta bagus secara isi dan bentuk. Di sisi lain, dia juga tak abai jika ada film Soviet yang jelek seperti The Flaming Years, yang diputar di Jakarta.
Dunia film, meski terpecah dua karena arus politik, sebenarnya punya sikap sama terhadap kehadiran AMPAI: tak suka karena menguasai peredaran film di Indonesia. Gelombang demonstrasi menjebol produksi film-film AS dilangsungkan secara massif. Bahkan Willaim (Bill) Palmer, bos AMPAI, dituduh sebagai agen Badan Intelijen Amerika (CIA). Tuduhan itu juga datang dari suratkabar prokomunis di India dan Ceylon, serta dinas rahasia Cekoslowakia.
Pada 9 Mei 1964, tak lama setelah Festival Film Asia Afrika digelar di Bandung, terbentuklah Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias). Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan mengupas keberadaan Papfias dalam Lekra Tak Membakar Buku. Program Papfias, selain mendorong kemajuan dan kelembagaan perfilman nasional, juga menuntut prosedur film impor lewat cara pembayaran dengan rupiah atau barter 1-1, dengan kredit tiga tahun. Mereka juga menuntut AMPAI dilikuidasi.
Ada sejumlah organ yang bergabung dan menyokong aksi-aksi Papfias, yang mewakili golongan pelajar/mahasiswa, pendidik, buruh tani, perempuan, wartawan, seniman, pekerja film, angkatan ‘45, dan sebagainya. Dari Pemuda Rakyat hingga Pemuda Katolik. Dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) hingga Muslimat NU (Nahdlatul Ulama). Partai Indonesia (Partindo), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan PKI merupakan partai-partai yang mendukung Papfias.
Dalam Musyawarah Besar, Oktober 1964, Papfias menegaskan perlunya melikuidasi AMPAI. Musyawarah itu juga membuat keputusan soal politik impor film, antara lain perlunya penghapusan segala macam agensi dan impor film harus berada di tangan importir nasional. Sementara mengenai politik perbioskopan, mereka menekankan perlunya perubahan dari “bioskop menjadi sumber keuangan pajak menjadi tempat untuk meningkatkan pendidikan, kebudayaan, dan kecerdasan Rakyat.”
Aksi boikot film-film AS mula-mula dilancarkan pada 9 Mei 1964 di Jakarta tatkala muncul “Keputusan 16 Organisasi”. Aksi serupa juga terjadi di sejumlah daerah. Puncaknya, pada 1 Mei 1965, Gedung AMPAI diambil-alih. Begitu juga Rank Film Organization, perusahaan film Inggris di Indonesia. Lalu, pada 1 April 1965, mereka mengambil-alih vila-vila AMPAI di Cisarua. AMPAI kemudian diambil-alih oleh pemerintah. Impor film dari AS dihentikan. Bill Palmer sendiri, yang selalu jadi sasaran demo, dipulangkan.
Penutupan AMPAI berimbas pada film-film Inggris, Malaya, dan India. Akibatnya, ratusan gedung bioskop gulung tikar, dari sekira 800 tinggal 350-an bioskop. Sedangkan produksi film nasional cuma 1-2 judul setahun. Film-film Soviet dan China, yang berusaha mengisi kekosongan, tak memadai. Perfilman nasional kacau.
Di masa Orde Baru, film-film Hollywood datang lagi dan merajai bioskop-bioskop di Indonesia. Bahkan pada akhir 1980-an, mereka memasukkan dan mendistribusikan sendiri produk-produk mereka ke Indonesia melalui MPEAA. Lucunya, ini dilakukan setelah MPEAA menuntut dan melakukan aksi boikot dengan mendongkrak harga jual film ke Indonesia hingga 400%. Alasannya, mereka mencium ketidakberesan peredaran film AS di Indonesia. Aksi ini berakibat bioskop hanya menayangkan film AS murahan dan bermutu rendah dari perusahaan film non-anggota MPEAA. Bahkan, sebagaimana liputan Tempo, “Hollywood Datang, Pribumi Minggir”, 29 Juni 1991, delegasi United States Trade Representative (USTR) atau Departemen Perdagangan AS datang untuk merundingkan komoditas film ini dengan pihak Departemen Perdagangan. Sutradara Asrul Sani pun khawatir sepak terjang MPEAA akan mengulang sejarah AMPAI yang menghalangi perkembangan film nasional.
Kini, MPEAA kembali melakukan boikot, menarik peredaran film-filmnya, sebagai alasan kenaikan pajak?
Penarikan film-film Hollywood, meski untuk sementara, menjadi tantangan bagi insan film nasional. Sayangnya, hingga kini produksi film nasional masih minim. Muatannya pun tak jauh dari unsur seks dan horor. Sejarah perfilman nasional belum juga bergerak maju.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar