Biarkanlah Simbol-simbol Kolonial Berganti
Kontroversi seputar nama tokoh dan simbol kolonialisme terjadi di Belanda. Benturan penafsiran atas masa lalu kelam Belanda.
PADA kepala berita harian De Telegraaf edisi 17 Januari 2018 yang lalu terpampang judul, “Hentikan pemalsuan”. Museum Mauritshuis, di Den Haag, akan memberi penjelasan latar belakang patung dada Johan Maurits, Gubernur Brasilia dari 1636 sampai 1644, yang menggalakkan ekonomi perkebunan gula dengan keras, dan dia dianggap sebagai penanggung jawab atas peningkatan perdagangan budak ke Brasilia). Di samping itu, kepala sekolah di Amsterdam timur yang akan mengganti nama Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jendral VOC di Jakarta dan penyebab pembunuhan massal di Banda tahun 1621, sebagai nama sekolah itu.
Dua sejarawan Belanda, Piet Emmer (ahli sejarah perdagangan budak) dan Frank Ankersmit (ahli filsafat sejarah), menolak penggantian nama-nama berbau kolonial dan penghilangan simbol-simbol kolonial dari ruangan umum. Karena itu mereka berseru supaya langkah omong kosong ini dihentikan dan juga supaya orang berhenti “menulis kembali” sejarah. Wartawan De Telegraaf yang menulis berita di atas, Jan-Willem Navis, masih menambah seram lagi dengan menulis bahwa hal itu merupakan penghancuran patung dan pemalsuan sejarah.
Penghancuran patung, pemalsuan dan penulisan kembali: itu semua adalah istilah-istilah yang menunjukkan bahwa kita salah dalam memperlakukan sejarah. Tapi benarkah demikian? Mari kita soroti keprihatinan dua para sejarawan tersebut.
Benarkah kita sekarang tengah menyaksikan berulangnya Beeldenstorm, yaitu diubahnya gereja katolik menjadi gereja protestan dengan penghancuran patung-patung seperti terjadi tahun 1566? Di luar kenyataan bahwa angin sepoi-sepoi basah tidak langsung berarti badai, dan koran De Telegraaf begitu cepat tumbang oleh angin sepoi, sekarang memang sudah waktunya untuk memperbaharui tokoh-tokoh utama yang selama ini mewakili sejarah kita.
Kritik terhadap hubungan kolonial sudah berlangsung puluhan tahun, tapi sedikit saja perubahan yang terjadi. Simbol-simbol kolonial itu dibuat untuk memberi kilauan terhadap bangsa Belanda pada suatu periode di abad 19 yang begitu fanatik nasionalis, tapi ketika sekarang kita lebih mementingkan penghargaan hak-hak asasi manusia ketimbang ekspansi kolonial, maka harus dicari tokoh sejarah yang lain. Bukankah dalam melangkah maju, wawasan kita juga selalu berubah?
Sudah tentu perubahan nama itu merupakan politik simbol, bukankah pemberian nama juga bermakna simbolis? Di sini kita tidak cuma berurusan dengan sosok remeh. Jan Pieterszoon Coen jelas bukan Maria Montessori, ahli pendidikan Italia yang kemudian menetap di Belanda. Bisa dipahami kalau satu sekolah yang mementingkan prinsip warga dunia dan hak-hak asasi manusia tidak ingin dikait-kaitkan dengan seseorang yang mewakili episode berdarah bagi kolonialisme Belanda —dan itu sudah tidak perlu diragukan lagi.
Benarkah ini merupakan pemalsuan sejarah? Sama sekali tidak. Siapa yang beranggapan bahwa perubahan nama merupakan pemalsuan sejarah, telah juga melakukan rangkaian salah pikir yang besar. Pertama-tama ini bukan pemutarbalikan atau penggelapan fakta sejarah, melainkan perubahan dalam cara mengenang dan mewujudkan kembali sejarah. Itu selalu kita lakukan.
Kedua, argumen bahwa kita harus memahami sejarah sesuai waktunya —sesuatu yang terus diulang-ulang oleh Emmer— juga tidak pada tempatnya. Budaya sejarah kita selalu memperlakukan sejarah sebagai pencerminan masa lampau dalam memahami masa kini. Karena itu Emmer meneliti perbudakan dan buruh kontrak Suriname.
Ketiga, kalau kita memandang Coen sebagai tokoh sejarah, status kepahlawanannya sebenarnya tidak jelas. Pada zamannya langkah-langkah berdarah Coen sudah menjadi perdebatan. Dia jelas terkenal, tapi bukan suri teladan. Itu baru terjadi jauh di kemudian hari. Dan dari segi sejarah seorang gubernur jenderal seperti Antonio van Diemen —omong-omong dia juga tidak bebas dari noda— mungkin lebih menentukan bagi perkembangan perdagangan VOC. Dengan begitu berpegang teguh pada simbol tertentu atau biarkan saja simbol itu berlalu tidak begitu berkaitan dengan taat kepada kebenaran.
Terakhir: soal penulisan kembali sejarah. Tuduhan ini mungkin yang paling menarik. Kalau seorang pemimpin sekolah ingin melepaskan diri dari nama tercemar Coen, apakah dengan begitu dia menulis kembali sejarah? Tentu saja tidak. Langkahnya tidak akan bisa mengubah fakta sejarah, tidak juga mengubah visi kita pada sejarah.
Nama sekolah bukanlah buku pelajaran sejarah dan nilai didaktisnya juga kosong. Nama itu memang punya makna, yaitu sebagai tanda penghargaan masyarakat, dan dalam kaitan itu pula harus kita nilai keputusan mengubah nama itu, bukan sebagai penulisan (kembali) sejarah. Ini juga berlaku bagi simbol-simbol lain dalam ruang publik, seperti nama jalan atau patung.
Walau begitu ada juga kaitan dengan cara kita bergaul dengan masa lampau, di museum, buku pelajaran dan dalam ilmu pengetahuan. Berkat pengaruh dekolonisasi dan migrasi, kita menjadi lebih kritis terhadap ketimpangan, baik kolonial maupun pasca kolonial; dan kekerasan. Itu tidak menyebabkan penulisan kembali sejarah, melainkan munculnya tekanan baru dan pertanyaan-pertanyaan baru. Tapi janganlah melebih-lebihkan kecepatan bereaksi para sejarawan. Mereka butuh waktu sampai 70 tahun setelah perang kemerdekaan untuk datang dengan visi pada rangkaian kekerasan yang terjadi di masa perang.
Masih belum ada karya sejarah yang dengan sistematis meninjau begitu banyaknya perang kolonial Belanda serta malapetaka kemanusiaan yang diakibatkan oleh rangkaian perang itu. Sedikit demi sedikit muncul wawasan tentang bagaimana kolonialisme telah mempengaruhi budaya Belanda. Dalam hal ini penulisan sejarah memang tengah mengalami perubahan. Tetapi itu tidak terjadi karena perubahan nama sekolah atau pemindahan patung dada.
Harian De Telegraaf berbuat salah dengan melakukan penghasutan yang tendensius. Ini bukan merupakan sesuatu yang tidak bersalah. Koran ini menyalahgunakan sejarah untuk memobilisasi perasaan tidak nyaman pembaca: perasaan bahwa rumah budaya mereka tengah diporakporandakan. Inilah jurnalistik yang paling rendah, karena menimbulkan keresahan dan mempropagandakan kebodohan.
Koran ini menunjukkan kepada pembacanya bahwa milik mereka sedang dirampas dan bahwa Coen adalah warisan budaya yang asli dan penting. Dengan begitu koran ini telah memperlakukan pembentukan opini sebagai permainan anak-anak. Dua sejarawan: Emmer dan Ankersmit, naif atau tidak, ikut-ikutan dalam permainan seperti ini. Lebih dari itu mereka juga mendahulukan ketakutan konservatif ketimbang pemikiran kritis terhadap masa lampau kolonial dan menganggap remeh perbedaan penting antara sejarah dan representasi sejarah itu sendiri.
Pihak lain berbuat lebih baik. Dalam dunia nyata perubahan ritual seputar Johan Maurits dan Jan Pieterszoon Coen merupakan tanda langkah bertanggung jawab dalam memperlakukan masa lampau kolonial Belanda dan upaya serius untuk senantiasa berbuat demikian. Semakin banyak lembaga Belanda, seperti sekolah, museum dan universitas yang memperhitungkan bagaimana mereka harus mewujudkan kolonialisme. Itu mereka lakukan, sepanjang yang bisa saya amati, dengan hati-hati, dengan menghargai sejarah. Pergaulaan berhati nurani dengan masa lampau kolonial itu justru menunjukkan budaya bersejarah yang sehat, yang memperhitungkan makna simbolis sejarah dalam masyarakat masa kini.
Tapi waspadalah. Tahun 2021 mendatang tepat 400 tahun silam Banda dicaplok dan rakyatnya dibiarkan kelaparan, dibunuh atau diperjualbelikan sebagai budak. Moga-moga kita nanti akan mampu meningkatkan wacana, sehingga debat umum akan lebih baik dari yang hari-hari belakangan sudah dilakukan orang.
Penulis adalah sejarawan Universiteit van Amsterdam dan Universiteit Utrecht. Naskah diterjemahkan oleh Joss Wibisono.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar