Asal-usul Dana Partai Komunis Indonesia
Meski tak lancar, partai memberikan beban keuangan kepada anggota. Bukan sumber pemasukan partai yang utama.
DN AIDIT bukanlah perokok –tidak sebagaimana digambarkan dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. Dan demi terselenggaranya Kongres ke-6 PKI, dia mengajak kawan-kawannya di Dewan Harian Politbiro CC PKI agar berhenti merokok.
Ajakan itu tak bertepuk sebelah tangan. Anggota Dewan Harian memutuskan berhenti merokok, “sedangkan kepada semua pemimpin dan anggota PKI dianjurkan juga untuk menghentikan merokok atau sekurang-kurangnya mengurangi rokok, dan menyerahkan uang yang biasanya untuk membeli rokok buat dana kongres,” demikian isi Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI tanggal 5 Januari 1959.
Resolusi juga menyerukan penghematan, baik di kantor-kantor partai maupun rumah-rumah anggota, terutama pimpinan partai. Selain itu, seruan kepada anggota untuk melakukan suatu pekerjaan atau menanam tanaman jangka pendek. Hasilnya diserahkan sebagian atau seluruhnya untuk dana kongres.
Gerakan menutup biaya kongres sudah dimulai beberapa bulan sebelumnya. Pada 4 Desember 1958, Panitia Kongres mengedarkan instruksi ke Comite Daerah Besar (CDB), Comite Pulau (CP), dan Fraksi Pusat. Setiap anggota dan calon anggota ditetapkan menyumbang Rp 3, yang bisa diangsur tiga kali. Sementara CDB dan CP diharapkan melakukan berbagai kegiatan penggalangan dana.
Semua upaya itu berbuah manis. Bahkan laporan Kongres ke-6 menyebutkan, jumlah sumbangan melebihi pengeluaran kongres. Diputuskan sisa dana dipakai untuk perluasan gedung Comite Centeral Partai dan jika ada sisanya untuk pembangunan Gedung Kebudayaan di Jakarta –kedua proyek ini juga mengandalkan sumbangan anggota.
Sebagai bentuk terima kasih kepada rakyat, atas usul Aidit, Kongres ke-6 menyetujui dan mengeluarkan resolusi “Bentuk dan Kembangkan Regu-regu Kerjabakti”.
Seretnya iuran anggota
Kampanye penggalangan dana hanyalah salah satu cara menutupi pengeluaran partai, terutama yang insidental. Hal yang sama dilakukan selama kampanye pemilu 1955. Namun kebutuhan partai sangatlah besar. Dari kerja-kerja rutin partai hingga membayar gaji pegawai partai. Dari kursus kader hingga penerbitan. Dari gelaran kongres hingga perayaan peringatan nasional atau internasional. Dari mana pemasukan partai?
Konstitusi PKI menyebutkan, partai dibiayai oleh uang pangkal dan iuran anggota, usaha-usaha produktif dan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh partai, serta sokongan dari orang-orang dan golongan di luar partai.
Uang pangkal dan iuran anggota menjadi sumber utama partai. Nominal iuran tidak dipukul rata, tergantung penghasilan tiap anggota selama satu bulan. Berdasarkan Konstitusi PKI tahun 1954, misalnya, yang terendah Rp 0,50 untuk anggota berpenghasilan di bawah Rp 150, dan yang tertinggi, untuk anggota berpenghasilan Rp 651 ke atas, iurannya sebesar 1,5% dari penghasilan kotor dan dibulatkan ke atas dengan Rp 0,50. Sementara uang pangkal disesuaikan dengan nominal uang iuran yang dibayarkan.
Yang menangani uang pangkal dan iuran adalah CDB atau CP. Dari dana yang terkumpul, mereka mendapatkan 90 persen, sementara sisanya mengalir ke kas CC. CDB dan CP juga mengatur semua permasalahan keuangan, termasuk keperluan Comite di bawahnya.
Kendati wajib, iuran tak mengalir lancar. Misalnya dialami Comite Djakarta Raya (CDR) PKI pada 1954. Dalam dokumen KOTI No 261, CDR mengemukakan, “penyetoran belum dilakukan oleh seluruh Subsecom-Subsecom di semua seksi dan belum merata meliputi seluruh anggota dan calon-calon anggota....”
Seretnya iuran anggota masih terjadi pada 1956 sehingga menjadi salah satu bahasan dalam Rapat Pleno II CDR. Kesimpulannya, ini bukan hanya masalah teknis tapi juga ideologis: egosentris, otonomisme, subjektivisme, dan meninggalkan cara kerja kolektif. Diputuskan CDR akan melakukan kampanye atau penjelasan kepada semua tingkat organisasi partai di bawahnya.
CDB lainnya mengalami hal serupa, yang berimbas pada kerja-kerja partai. Upaya CC mengubah aturan agar Comite Subseksi (CSS) langsung menyetorkan 10 persen dari iuran anggota ke CC juga tak membuahkan hasil. Tak semua CSS memenuhi instruksi tersebut.
Namun masalah keuangan juga dialami comite di bawahnya. Pada 23 Mei 1964, misalnya, CS Matraman mengeluarkan surat permohonan bantuan dana untuk menjamin kelangsungan hidup empat pegawai partai; dua orang sebagai fungsionaris dan dua lagi tenaga sekretariat. Sumbangan bisa berupa uang maupun bantuan lainnya.
Sumbangan dari luar
Kendati kecil, partai mendapatkan pemasukan dari gaji anggota yang mendapat kedudukan dari partai. Sebagaimana diatur dalam Konstitusi PKI, seluruh gaji pejabat tersebut harus diserahan kepada partai. Sebagai gantinya, dia mendapat honorarium menurut peraturan yang ditentukan partai. Namun jumlahnya tidaklah seberapa.
Kebanyakan anggota PKI berasal dari kalangan masyarakat bawah. Praktis, jika hanya mengandalkan kader, PKI tak mungkin bisa membiayai seluruh kebutuhan partai. Sumber lain pemasukan partai, sebagaimana disebutkan Konstitusi PKI, adalah sokongan dari orang-orang dan golongan di luar partai yang tidak mengikat. Namun sulit menelisik siapa saja dan berapa jumlah sokongan yang masuk. Inilah yang kemudian memunculkan spekulasi-spekulasi.
Menurut Donald Hindley dalam The Communst Party of Indonesia, bantuan keuangan dari nonanggota cukup besar. Kendati tak ada bukti yang kuat, donator PKI kemungkinan besar berasal dari Uni Soviet, Tiongkok, dan negara-negara blok Soviet. Bentuknya bisa berupa literatur, majalah, atau risalah-risalah yang dijual di toko-toko buku milik partai atau bantuan akomodasi delegasi PKI yang berkunjung ke negara-negara tersebut. “Namun, sumber utama bantuan keuangan nonpartai berasal dari tiga juta orang Tionghoa (kebanyakan warga negara Indonesia) yang tinggal di Indonesia,” tulis Hindley.
Hindley menyebut para pengusaha Tionghoa melakukannya dengan sukarela. Namun ada pula yang melakukan karena terpaksa. Mengutip tulisan George McTurnan Kahin berjudul “Indonesia”, dimuat dalam Major Governments of Asia, “tidak diragukan lagi mereka biasanya melakukannya karena persuasi atau tekanan dari Kedutaan Tiongkok atau tekanan dari komunis yang mengontrol serikat buruh dan mengancam akan melakukan tindakan balasan jika tak patuh.”
Selama pemilu 1955, misalnya, PKI mengeluarkan dana sangat besar untuk kegiatan kampanyenya. Menurut Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, mau tak mau orang menduga PKI memperoleh dana dari pengusaha Tionghoa serta negara-negara komunis dan kantor perwakilan dagang mereka di Jakarta. Dalam bukunya yang lain, The Wilopo Cabinet, 1952-1953, Feith juga menyinggung bantuan Kedutaan Tiongkok dalam bentuk uang maupun literatur-literatur.
Sementara David Mozingo dalam Chinese Policy Toward Indonesia, 1949-1967 menyebut banyak orang percaya bahwa Bank of China meminjamkan uang kepada para pengusaha Tionghoa di Indonesia dengan syarat bahwa mereka memberikan kontribusi kepada PKI.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar