Antara Bebek dan Kartu-Truf
SUMPAH, tidak ada hubungannya antara ‘bebek’ dengan ‘kartu-truf’. Kendati begitu, apa boleh buat, sudah suratan rupanya, bahwa di Amerika sekarang, kedua kata yang berbeda ini kebetulan sama-sama menjadi nama ‘marga’ dari sosok-sosok selebritas, antara yang imaginatif dan yang riil kasatmata sekaligus kasatatma. Dalam bahasa sana, sebagaimana dicatat dalam semua kamusnya, ‘bebek’ adalah duck, dan ‘kartu-truf’ adalah trump. Dari masing-masing kata yang berbeda itu kebetulan lahir dua sosok terkenal yang sama-sama bernama Donald. Yang pertama adalah Donald Duck yang kedua adalah Donald Trump.
Rasa-rasanya kita semua kenal kedua nama itu. Donald Duck adalah nama peran ciptaan Walt Disney dalam film animasi yang pertama dibuat pada 1935, yaitu sosok kartun bebek yang biasa meleter blepetan, kira-kira mewakili kodrat bebek yang memang biasa kwek-kwek-kwek gencar. Sedangkan Donald Trump adalah sungguh manusia dalam gambaran terpadu tubuh-roh-jiwa disertai akal-budi-nalar, lahir dari seorang ibu manusia pada 1946, dan berkembang menjadi seorang tokoh tajir, namun dilukiskan dalam karikatur yang merepresentasikan kepribadian paradoksal: punya telinga tapi tak sanggup mendengar, punya mata tapi tak sanggup melihat, punya hati tapi tak punya perasaan, kecuali mulut yang membuat seluruh dunia geger.
Kesimpulan karikatur itu dihubungkan dengan kedudukan Donald Trump –yang menang mengejutkan sebagai presiden dari negara adiwisesa AS– lantas mentang-mentang sudah berkuasa ujug-ujug membikin kebijakan yang sama sekali tidak bijaksana, maunya menaruh kedutaan AS di Yerusalem –dan berarti itu memaksa dunia untuk menyetujui keputusannya menjadikan Yerusalem, kota tua yang telah berdiri 4000 tahun sebelum tarikh Masehi di sekitar tanah perbukitan 750 meter di atas permukaan laut itu– sebagai ibu negeri Israel. Dengan begitu Trump membabibuta menyeruduk peraturan PBB November 1947 yang menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional. Sementara fakta sejarah hari ini adalah Yerusalem merupakan kota suci bagi tiga agama samawi dari garis satu pitarah Ibrahim yang sejarahnya dibawa berturut-turut oleh nabi-nabinya yang sudah ditentukan nama-namanya semua berawal dengan huruf /M/, yakni Musa, Al-Maseh, Muhammad.
Maka, ketika Donald Duck yang tipikal bicaranya blepetan dan lucu sehingga membuat orang tersenyum girang, arkian sebaliknya Donald Trump bicaranya carut, membuat dunia mendidih, mencelanya dan menyerapahnya. Sebab, sebagai pemimpin negara adiwisesa yang diharapkan dapat menjadikan dunia ini tenang dan damai, malah membuatnya kacau, dan panas meningkatkan prasangka-prasangka sara yang kebetulan sudah berakar dalam sejarah sejak Perang Salib –kemudian berlanjut perang-perang lokal di Nusantara yang harus dilihat secara tersendiri sebagai realitas persaingan bisnis, dari simpai sejarah yang mengacu pada gelagat konkurensi ekonomi dalam ikhtiar mengais rezeki yang dipertajam oleh latar perbedaan agama. Khususnya di Indonesia episoda itu terekam dalam tradisi budaya moritsko.
Lema moritsko atau moritsku, berasal dari bahasa Portugis moresca –yang diserap pada zaman penjajahan Portugis abad ke-16 di Nusantara, antara Malaka sampai Maluku– sebagai abad awal berlangsungnya (a) inkulturasi: yaitu upaya suatu komunitas agamawi dari Barat untuk masuk ke dalam masyarakat budaya lokal melalui kerja-kerja evangelikal; serta (b) akulturasi: yaitu proses campurbaur tradisi dan pengetahuan dari Barat ke dalam peta masyarakat budaya lokal menjadi sebuah kemempelaian budaya baru yang laras.
Sekarang moritsko hanya dianggap sebagai judul musik keroncong. Padahal sebenarnya moritsko dulu merupakan bentuk pertunjukan musik teateral terpadu dengan pakem tarian adu pedang, antara dua orang hulubalang, masing-masing hulubalang Muslim dan hulubalang Nasrani, dalam rangka mempertaruhkan keyakinan tentang kebenaran yang berurusan dengan surga. Dan sebelum kedua hulubalang tersebut memenangkan adu anggarnya itu, tampil dua orang rohaniwan yang mewakili din Islam dan religi Kristen, melerai seraya menasehati mereka melalui mengutip kata-kata indah dari Quran dan Injil yaitu surah Al-Kafirun 6 dan Matius 5: 39.
Agaknya Donald Trump tidak sempat belajar kearifan itu. Kalaupun ia pernah membaca itu, ia tidak menyimak. Soalnya kalau ia memberi waktu dengan kemauan yang didasarkan oleh nurani –dalam istilah Immanuel Kant adalah “mahkamah ilahi”– kiranya dengan itu ia bisa mengingat, bahwa Yerusalem yang telah ditulis dalam sastra ribuan tahun sebelum tarikh Masehi, yaitu menyebutkannya sebagai tempat banyak orang mencari dan menemukan pengharapan yang langgeng di hari esok. Tak heran, setiap orang yang percaya, akan mengingat pernyataan itu sebagai suatu sinyal yang menggaransi keputusan hatinya.
Arkian, dalam Kitab Zabur pasal 137, kita bisa baca nazar Daud tentang Yerusalem yang sangat berarti dalam kehidupan insani berkait dengan kehidupan rohani. Tulisannya, “Kalau sampai aku melupakan kau, wahai Yerusalem/ biarlah tangan kananku hilang keterampilannya.” Terjemahan Inggrisnya, “ If I forget you, O Jerusalem/ let my right hand forget its skill.” Atau terjemahan Prancisnya, ‘Si je t’oublie, o J rusalem/ Que ma droite s’oublie.”
Banyak teman saya yang mengaku Kristen, salah kaprah membaca tentang Yerusalem sebagai kota suci. Salah seorang yang akan saya sebut berikut ini dengan perasaan masygul –maaf, punten, nyuwun sewu– adalah Joshua Pandelaki, mantan anggota Teater Koma yang pernah diberi kepercayaan oleh Nano Riantiarno untuk menyutradarai sebuah naskah drama di Gedung Kesenian Jakarta. Pada suatu hari dia datang ke rumah saya, membawa laptop yang berisi foto-foto dirinya di Yerusalem. Yang mengejutkan bagi saya adalah pengakuannya, bahwa setelah pulang dari Yerusalem, maka ujug-ujug dia memiliki kekuatan rohkudus untuk hanya dengan menggosokkan minyak di telapak tangan lantas menyebut nama Yesus, sekonyong orang sakit yang disentuhnya bakal langsung sembuh. Waduh!?
Dalam pikiran saya, teman orang Manado ini, agaknya telah meninggalkan hal-hal duniawi, berapi-api seperti golongan kongregasi kharismatik yang gandrung bersaksi-saksi. Tapi, astaga, saya terperanjat dan tenahak. Ketika saya diundang untuk menonton preview film, ternyata di film itu ada adegan ranjang dirinya bergenit-genit mesra dengan Lola Amaria. Beberapa bulan kemudian tidak sengaja saya menonton juga di televisi dia muncul dalam sinetron kelas comberan. Maksudnya, itu sinetron kelontong kejar tayang yang lazimnya tidak cendekia, dan karuan membuat penonton tidak pintar-pintar, sebaliknya jadi goblog bersama sutradaranya, produsernya, dan broadkasnya.
Karenanya, kalau boleh saya menasehatinya untuk pergi kembali ke Yerusalem meminta hidayah kepada Tuhan supaya tidak lebay seperti begitu. Sekalian kalau berada di Yerusalem, baca puisi di depan Kedutaan Amerika, puisi yang dibuat oleh penyair Israel, Yirmiyahu, abad ke-6 SM –diterjemahkan pertama kali di Inggris oleh Miles Coverdale pada 1535 dan direvisi pada zaman pemerintahan James I, 1611 –yaitu “Zion shall be plowed like a field/ Jerusalem shall become heaps of ruins/ and the mountain of the temple/ like the bare hills of the forest.” Siapa tahu dutabesar AS menyampaikan puisi ini kepada Si Donald Kartu-truf supaya jangan pekok, jangan rasis.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar