Amukan di Nusa Dewata
Saat meletus, Gunung Agung menimbulkan bencana hebat. Ribuan orang tewas, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi
Data dari Kementerian Sosial (Kemensos) RI, sampai pada Senin (25/9/2017), pengungsi bencana gunung Agung sudah mencapai 60 ribu jiwa. Menurut para ahli vulkanologi, gunung Agung berpotensi meletus dan dikhawatirkan berdampak buruk sebagaimana letusan gunung yang sama pada 54 tahun lampau.
Dalam catatan sejarah Nusantara, amukan gunung yang dikeramatkan di pulau dewata itu sudah terjadi empat kali.Mulai pada tahun 1808, 1821, 1843 dan yang paling dahsyat terjadi pada 18 Februari 1963. Bencana yang berlangsung hingga 1964 itu memakan korban jiwa sekira 1.148 orang.
Saat itu, letusan pertama gunung Agung terdengar pada 18 Februari dengan hanya menyemburkan asap. Enam hari berselang, kawah Gunung Agung mulai meluberkan lava yang turun hingga mencapai jarak 7 kilometer dalam kurun 20 hari berikutnya.
Pada 17 Maret, gunung tersebut bererupsi dengan skala 5 VEI (Indeks Letusan Vulkanis), seraya melontarkan pasir, hingga bebatuan vulkanis mencapai 8-10 kilometer ke udara. Tidak ketinggalan disusul semburan “Wedhus Gembel” alias awan panas.
Fase itu yang menyebabkan kematian nyaris 1.500 orang. Dalam laporan dua ahli geologi dari ITB dan Survei Geologis Indonesia, MT Zen dan Djajadi Hadikusumo pada 1964, turut disebutkan 200 orang lainnya meninggal akibat lahar dingin yang disebabkan hujan deras pasca-erupsi.
“Neraka” di nusa Dewata belum berhenti sampai di situ. Kondisi puluhan ribu pengungsi teramat memprihatinkan. Situasi yang lantas kian memperburuk kondisi ekonomi rakyat di Bali yang sebelum letusan Gunung Agung-pun, tidak bisa dibilang baik.
“Pada Oktober 1963 dilaporkan ada 98.792 pengungsi internal, 15.595 penderita kekurangan gizi yang parah dan 122.743 penderita kekurangan gizi yang sudah gawat,” tulis surat kabar Suara Indonesia 21 Oktober 1963.
Tidak hanya gelombang pengungsian, gelombang pengangguran juga terjadi di mana-mana. Betapa tidak, lahan pertanian sekira 25 ribu hektare musnah dan 100 ribu hektare lainnya takkan lagi bisa digarap dalam jangka waktu tahunan.
“Kami harus memberi makan 85.000 pengungsi dan kami semata-mata tidak punya makanan untuk itu,” cetus Gubernur Bali Bagus Sutedja, sebagaimana dikutip Disaster in Paradise oleh PW Booth, RE Sisson and SW Matthews yang dimuat majalah National Geographic edisi 124 tahun 1963.
Padahal sebelum amukan tersebut, kondisi masyarakat setempat juga sedang tiarap. Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata menuliskan, wabah tikus, serangan hama dan gagal panen sudah datang silih berganti sejak 1962 hingga 1965.
“Di desa-desa yang menghasilkan surplus beras pun, petani miskin hanya sedikit makan nasi atau tidak sama sekali. Laporan mengenai kematian akibat kelaparan dan merajalelanya kekurangan gizi kian lazim terbaca di berita-berita koran selepas 1963, walaupun laporan semacam itu di media nasional dibatasi oleh keinginan melestarikan citra tentang Bali yang subur dan harmonis,” tulis Robinson.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar