Ambisi van Goens Membangun Batavia Baru di Ceylon
Rijcklof van Goens mencoba membangun kekuasaannya di Ceylon. Namun, persaingan antara elite VOC di Batavia dan Ceylon, ditambah perlawanan kerajaan lokal menyebabkan kejatuhan van Goens.
KEMBALINYA Rijcklof van Goens ke Hindia Timur setelah bertemu dengan Dewan Tujuhbelas atau Heeren Zeventien di Belanda pada 1650-an membuka kesempatan untuk mewujudkan visinya mengenai imperium VOC di Asia, yaitu mengusir Portugis dari Ceylon dan menguasai wilayah tersebut. Di hadapan para direktur VOC, van Goens menjelaskan dengan menguasai Ceylon, kompeni dapat memberlakukan kebijakan monopoli kayu manis yang menguntungkan VOC.
Menurut Kerry Ward dalam Networks of Empire: Forced Migration in the Dutch East India Company, ambisi van Goens menguasai wilayah Ceylon juga didasarkan pada keinginannya membangun markas besar baru bagi VOC yang sebelumnya berpusat di Batavia. Melalui rencananya itu, van Goens ingin menjadikan Ceylon sebagai pusat perdagangan tandingan bagi Batavia.
“Persaingan antara para pejabat tinggi yang memerintah di Ceylon dan Batavia semakin ketat karena mereka bersaing untuk mendapatkan kedudukan politik dan penguasaan atas jaringan regional yang jika dimenangkan akan menghasilkan peluang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan pribadi,” tulis Ward.
Penjelasan van Goes mengenai potensi besar Ceylon menarik minat para direktur VOC. Mantan anggota Dewan Hindia tahun 1653 itu kembali berlayar ke Asia sebagai kepala armada bantuan luar biasa yang terdiri dari empat belas kapal perang pada November 1656. Selama sisa pertempuran, para direktur menyerahkan keputusan kepada van Goens sebagai tanda kepercayaan mereka. Erik Odegard menulis dalam Patronage, Patrimonialism, and Governors’ Careers in the Dutch Chartered Companies, 1630–1681, van Goens akan memimpin pasukan kompeni di daerah tersebut hingga ia berhasil merebut jabatan gubernur Ceylon pada 1662.
“Van Goens adalah seorang komandan yang istimewa, tidak hanya puas melayani Pemerintah Agung di Batavia, ia menganjurkan pemindahan Pemerintah Agung ke Kolombo, sebuah kota yang pembangunannya akan ia awasi. Dia akan menganjurkan penaklukkan seluruh Ceylon, yang mengarah pada konfrontasi yang berlarut-larut dan mahal dengan Kandy di pedalaman,” tulis Odegard.
Kendati berhasil menaklukkan Portugis pada 1658, ambisi van Goens untuk menguasai Ceylon dan menjadikannya markas besar imperium VOC di Asia tidak mudah. Pada abad ke-17, Belanda hanya memiliki sekitar seperlima dari Ceylon, terutama di bagian barat daya yang berbahasa Sinhala dan daerah pesisir yang berbahasa Tamil di bagian Utara. Sementara daerah pedalaman, dengan kerajaan Kandy sebagai pusatnya, tak tertarik untuk bekerja sama dengan VOC. Hal inilah yang membuat penguasa Kandy, Raja Singa II, kadang-kadang melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Menurut Gerrit Knaap dalam Genesis and Nemesis of the First Dutch Colonial Empire in Asia and South Africa, 1596–1811, salah satu strategi yang digunakan oleh Raja Singa adalah dengan meyakinkan atau mendesak sebagian besar penduduk asli yang dikuasai Belanda di bagian barat daya pulau untuk pindah ke pedalaman.
“Akibatnya, VOC menguasai sebagian wilayah yang tidak berpenghuni dengan tenaga kerja yang hampir tidak mencukupi untuk memanen kayu manis, komoditas yang paling dicari,” tulis Knaap.
Posisi van Goens sebagai gubernur Ceylon dan hubungannya yang baik dengan para direktur VOC membuatnya kerap memutuskan sendiri kebijakan yang akan ia terapkan di wilayahnya tanpa lebih dahulu meminta pertimbangan Pemerintah Agung di Batavia, atau bahkan mengabaikan keputusan yang telah ditentukan oleh para pejabat VOC di Batavia. Besarnya kewenangan administratif yang dimiliki van Goens juga membuat pemerintahannya rentan terhadap nepotisme. Van Goens menempatkan orang-orang terdekatnya di posisi-posisi strategis yang menguntungkan.
Salah satu contohnya hubungan van Goens dengan Esther de Solemne, wanita yang ia nikahi pada 1667. Esther yang berusia 27 tahun merupakan janda dari mantan kepala pabrik Surat, Dirck van Adrichem. Esther menjadi penghubung kekerabatan dengan berbagai keluarga VOC lainnya di Asia. Odegard menulis bahwa saudara perempuan Esther, Sara de Solemne, menikah dengan Carel Hartsinck, mantan kepala pabrik di Deshima, dan pada 1667 menjadi direktur jenderal di Batavia namun meninggal sebulan setelah diangkat. Salah satu putra Hartsinck, Willem Hartsinck, menikahi Maria Pit, sehingga menghubungkan kedua keluarga yang berkuasa dengan kepentingan yang kuat di Pantai Coromandel.
“Melalui pernikahannya dengan Esther de Solemne, van Goens menciptakan ikatan dengan kedua keluarga ini, yang keduanya memasok pejabat-pejabat penting kepada pemerintah Coromandel yang bertetangga….Secara keseluruhan, pemerintahan Coromandel akan dipegang oleh keluarga Pit Hartsinck atau mitra langsung van Goens selama empat puluh satu tahun selama paruh kedua abad ketujuh belas. Bagi van Goens, kedudukan gubernur Coromandel tak akan menjadi ancaman bagi kedudukannya sebagai pejabat tinggi di Asia Selatan,” tulis Odegard.
Puncak kekuasaan van Goens di Ceylon terjadi tahun 1670. Kekuasaannya meluas hingga ke pantai timur dengan direbutnya Trincomalee dan Batticaloa dan Kandy, yang menurutnya telah berada di ambang kehancuran. Akan tetapi, impian untuk menguasai seluruh wilayah Ceylon tidak terjadi. Sebab, perlawanan masih terus dilakukan oleh Raja Singa, penguasa Kandy.
Perang kekuasaan di antara kalangan elit Batavia dan Ceylon pun menjadi tak terhindarkan, kedua pihak itu bahkan menggunakan masing-masing pengaruhnya untuk mendapatkan kepercayaan Hereen Zeventien di Belanda. Posisi kuat yang dibangun van Goens di Ceylon selama tahun 1660-an dan tahun 1670-an memungkinkannya, untuk sebagian besar, mengendalikan arus informasi dari pulau tersebut. “Van Goens berhasil menyesatkan para direktur kompeni selama bertahun-tahun, sehingga membuat mereka mendukung rencananya meskipun ada penolakan dari Batavia,” tulis Odegard.
Serangan balasan Raja Singa II pada 1670 dan 1675 cukup membuat Belanda kewalahan. Pertempuran itu membuat pengeluaran kompeni jauh lebih besar dari pendapatan yang dihasilkan di wilayah tersebut. Van Goens menganggap hasil yang buruk dari Ceylon disebabkan oleh implementasi kebijakannya yang tidak lengkap. VOC justru memandang ambisi untuk menguasai seluruh wilayah Ceylon akan merugikan kompeni.
Baca juga:
Van Goens kemudian diangkat sebagai direktur jenderal di Batavia, di mana posisinya sebagai gubernur Ceylon digantikan putranya, Rijkloff Junior. Pemerintah Agung mulai mencoba mengubah arah dan membalikkan kebijakan VOC di Ceylon. Salah satu perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Agung adalah perintah untuk mundur dari perbatasan pedalaman di Ceylon, yang ditentang van Goens.
Upaya van Goens mempertahankan kekuasaannya di Ceylon semakin sulit ketika ia ditunjuk sebagai gubernur jenderal menggantikan Joan Maetsuycker pada 1678. Van Goens menyadari banyak anggota Pemerintah Agung yang tak sependapat dengan kebijakannya mengenai pendudukan di Ceylon. Oleh karena itu, ia mengirim putranya ke Belanda untuk meyakinkan para direktur VOC bahwa kebijakan yang dijalankan ayah dan anak itu di Ceylon sudah benar.
“Van Goens Junior berhasil dalam misinya terhadap Tuan-tuan XVII. Meski begitu, pertentangan dalam Pemerintah Agung di Batavia terus berlanjut, yang akhirnya membuat van Goens Senior mengundurkan diri sebagai gubernur jenderal dan kembali ke Belanda. […] van Goens Junior kembali ke Asia pada 1684 sebagai anggota Hoge Commissie, tetapi tidak mampu membalikkan keadaan. Di Ceylon, pertempuran sebenarnya telah berhenti, tetapi perdamaian resmi tidak dibuat,” tulis Knaap. “Di tahun 1687, Raja Singa II meninggal. Setelah tahun 1687, hubungan dengan Kandy menjadi baik; kayu manis dikirim dengan berlimpah,” tambahnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar