Ali Sastroamidjojo, Diplomat yang Terlupa
Sebagai tokoh kunci terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika pada 1955, nama Ali Sastroamidjojo tertutup oleh sosok besar sekelas Sukarno dan Nehru.
Tahun1953, situasi perang di Vietnam kian memanas. Hampir setiap waktu pertempuran terjadi di sana. Negara itu bahkan semakin terpecah tatkala negara-negara adidaya sekelas Amerika Serikat dan Rusia membagi pengaruhnya di sana. Perang Dingin antara keduanya meluas ke wilayah Asia.
Kondisi itu membuat pemimpin-pemimpin negara Asia gusar. Maka Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Jotelawala mengusulkan kepada negara-negara Asia yang baru merdeka seperti India, Indonesia, Pakistan, dan Burma, berkumpul untuk membahas bahaya Perang Dingin di Asia.
Pada awal 1954, bertempat di Colombo, Sri Lanka, konferensi lima negara merdeka itu pun terselenggara. Indonesia mengrimkan sejumlah perwakilan, dipimpin langsung Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Dalam konferensi itu, Ali mengusulkan diadakannya sebuah konferensi yang melibatkan negara-negara di Asia dan Afrika.
Baca juga: Ali Sastroamidjojo, Sang Diplomat Ulung
Diceritakan Ali dalam otobiografinya Tonggak-Tonggak di Perjalananku, itulah kali pertama gagasan tentang Konferensi Asia Afrika (KAA) dikemukakan Ali di hadapan pemimpin-pemimpin Asia. Tetapi ide baik tersebut tidak langsung disambut. Banyak pihak yang meragukan keberhasilannya. Terlebih adanya kekhawatiran dari Perdana Menteri India Jawahlal Nehru tentang perbedaan di antara negara-negara Asia-Afrika yang hanya akan menimbulkan konflik.
Ali pun meyakinkan mereka bahwa momentum penyelenggaraan konferensi tersebut sangat tepat di tengah isu perdamaian dan konflik yang tengah melanda dunia saat itu. Dia juga mengungkapkan kesanggupan Indonesia untuk menjadi tuan rumah konferensi negara-negara Asia dan Afrika yang pertama. Pernyataan Ali pun menjawab keraguan para pemimpin. Mereka akhirnya menerima dan mendukung usulan tersebut.
“... beliau (Ali Sastroamidjojo) ditugaskan oleh Bung Karno sebagai Ketua Umum dari panitia Konferensi Asia Afrika,” kata sejarawan Rushdy Hoesein dalam acara Dialog Sejarah Historia.id, “Ali Sastroamidjojo yang Terlupakan” pada 14 Juli 2020.
Konferensi negara-negara Asia dan Afrika pun berhasil diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, pada 18-24 April 1955. Ada 29 negara yang ikut dalam acara tersebut. Tokoh-tokoh penting dari setiap negara peserta juga turut hadir. Mereka membawa misi yang sama, yakni perdamaian dan persatuan.
Baca juga: Kisah Sunyi Ali Sastroamidjojo
Keberhasilan KAA tidak lepas dari sosok Ali sebagai inisiator, sekaligus ketua pelaksana. Menurut sejarawan Wildan Sena Utama dalam acara “Tadarusan dan Pembahasan Pidato Penutup Ali Sastroamidjojo di Konferensi Asia-Afrika 1955”, yang diselenggarakan Asian African Reading Club (AARC), pada 24 April 2021, peran Ali tidak kalah penting dari Sukarno dan Nehru, yang kala itu menjadi ikon perdamaian dunia.
Kandidat doktor sejarah di Universitas Bristol, Inggris itu menyebut Ali Sastroamidjojo sebagai tokoh pencetus perdamaian dunia ke-3. Tidak hanya ideologi perdamaian yang kuat, Ali juga memiliki keyakinan akan persatuan di antara negara-negara Asia dan Afrika, kendati mereka memiliki perbedaan dalam hal politik, budaya, sosial, dan agama. Ali percaya jika perbedaan itu tidak menjadi penghalang bagi negara-negara Asia-Afrika untuk memajukan perdamaian dunia.
“Menurut saya kita harus memberikan kredit bagi Ali Sastroamidjojo karena ia juga merupakan tokoh penting penggalang perdamain dunia di tahun 1950-an, di mana keresahannya atas situasi politik Asia yang terancam oleh kontestasi kekuatan adidaya Perang Dingin itu mendorong gagasan tentang kerja sama Asia Afrika yang merupakan latar belakang dari kemunculan Konferensi Asia Afrika,” kata Wildan.
Sebagai perdana menteri, imbuh Wildan, Ali benar-benar menjalankan politik bebas aktif, dengan KAA sebagai bukti nyatanya. Politik yang dia jalankan bukan politik netral, tetapi politik non-blok yang memiliki keberpihakan kepada dunia merdeka dan damai semata, bukan kepada salah satu kekuatan besar.
Penting juga untuk diingat bahwa selama beralangsungnya KAA, sebagai pimpinan pelaksana, Ali mampu memastikan acara berjalan dengan baik. Dia mengkoordinasikan seluruh panitia nasional dan lokal untuk bersama-sama bekerja melancarkan jalannya perhelatan tersebut. Bahkan ketika terjadi ketegangan di dalam sidang, Ali turun tangan langsung untuk menengahi. Dengan gaya diplomasi kultural, kata Wildan, Ali berhasil menurunkan tensi-tensi yang muncul di antara pemimpin-pemimpin baru negara di Asia-Afrika.
“Menurut saya KAA sebagai sebuah inisiatif “politik”, ataupun Ali Sastroamidjojo sebagai tokoh yang menggalang konferensi tersebut pantas untuk mendapatkan hadiah nobel (perdamaian) atas upayanya menjadi juru bicara perdamaian dari Asia-Afrika di tengah diamnya PBB dan kekuatan adidaya pada waktu itu,” ujar Wildan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar