Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi
Pejabat di Papua yang kebanyakan bukan orang Papua korupsi bahan-bahan pakaian dan kebutuhan pokok. Sampai menimbulkan pemberontakan polisi asal Papua di Enarotali.
KEKACAUAN seakan tak pernah sirna dari Tanah Papua. Beberapa jam lalu, seorang warga sipil tewas ditembak anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Korban yang berusia 19 tahun merupakan pelajar.
“Seorang warga sipil meninggal dunia. Sementara dua lainnya berhasil diselamatkan oleh aparat gabungan,” ujar Kepala Operasi Damai Cartenz-2024 Brigjen Faizal Ramadhani, dikutip detik.com, 4/12/24.
Kejadian seperti itu sering terjadi di “Bumi Cendrawasih”. Terlebih jika digabungkan dengan era-era sebelumnya. Kekacauan di Papua bahkan telah terjadi sejak pulau tersebut belum final bergabung dengan Republik Indonesia.
Menjelang dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, kekacauan terjadi Enarotali, Papua –saat itu Papua masih disebut Irian Jaya. Kekacauan tersebut sampai membuat Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso kaget sewaktu pertama kali mengetahuinya dari seorang pastur.
“Apakah Pak Hoegeng sudah tahu terjadinya suatu kerusuhan di Enarotali, Irian?” tanya seorang pastur lewat radio kepada Jenderal Hoegeng.
“Belum. Belum ada laporan,” jawab Hoegeng. “Yang berontak siapa?” tanya Hoegeng yang ingin tahu lebih dalam.
“Sejumlah polisi, polisi yang orang Irian.”
Sekitar 90-an aparat Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) asal Papua memotori gerakan pemberontakan pada April-Mei 1969 itu. Mereka didukung kuat ribuan penduduk sipil setempat. Mereka kemudian dihadapi pasukan payung yang diterjunkan oleh pemerintah RI dan dikalahkan. Konon, keluarga para polisi itu terpaksa harus meninggalkan Enarotali karena diancam oleh tentara Indonesia.
Merasa kecolongan, Hoegeng segera melapor kepada presiden lalu bertolak ke Papua. Dalam penerbangannya ke Jayapura, Hoegeng dan rombongannya singgah di Biak. Selama di Biak, Hoegeng sudah berusaha mencari tahu soal kerusuhan di Enarotali. Salah satunya melalui Panglima KODAM Cendrawasih, Brigadir Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang sedang berada di Jayapura.
“Saya besok ke situ,” kata Hoegeng lewat radio kepada Sarwo Edhie yang tak kalah repot akibat kerusuhan di Enarotali itu.
“Iya, Mas, polisi-polisi itu pada jengkel lalu berontak! Bahkan ketika saya datang ke Enarotali maka pesawat saya ditembak dari bawah,” kata Sarwo ke Hoegeng.
Esoknya, Hoegeng di Jayapura bertemu Sarwo dan Gubernur Irian Frans Kaisepo serta pejabat terkait. Di antara pejabat polisi itu ada seorang Indo bernama van Loon. Setelahnya, Hoegeng kembali ke Jakarta dan membuat laporan tentang apa yang terjadi di Enarotali. Setelah menganalisis semua laporan yang didapatnya, Hoegeng jadi teringat bahwa pernah ada bantuan dari Jakarta untuk daerah Enarotali. Bantuan tersebut ternyata menjadi sumber permasalahannya.
“Mungkin bahan-bahan pakaian dan kebutuhan pokok lainnya, tapi saya tak ingat lagi. Ternyata bahan itu dikorup para pejabat yang bertugas membagi-bagikannya. Lagipula kebanyakan para pejabat di Irian itu justru bukanlah orang Irian,” terang Hoegeng dalam dalam otobiografinya, Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan.
Sudah bukan rahasia bahwa setelah Indonesia menguasai Papua, mayoritas orang yang menduduki jabatan-jabatan penting di Papua berasal dari luar pulau tersebut. Oleh karenanya, kasus-kasus yang muncul di sana para pelakunya juga mayoritas orang non-Papua. Dalam kasus korupsi bantuan di Enarotali itu, koran Algemeen Handelsblad tanggal 29 Mei 1969 menyebut, orang bernama Wanmafma dari Biak dan dicap pendukung OPM dianggap juga sebagai orang yang terlibat dengan menggelapkan dana sebesar Rp30.000.
Sehari sebelum pemberontakan, ada saran untuk pergantian sejumlah pejabat yang dianggap bersimpati kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam hal itu, aparat Indonesia menuding bupati Paniai lalai.
Kesimpulan awal dari kerusuhan di Enarotali akhirnya dikeluarkan pemerintah Indonesia. Menurut De Telegraaf tanggal 7 Mei 1969 memberitakan bahwa menurut dr. Soedjarwo, ada tiga penyebab kerusuhan tersebut: pertama, pemindahkan seorang bupati yang dicap pihak Indonesia tak mampu menjalankan tugasnya dan menghasut masyarakat; kedua, beberapa warga suku ingin Enarotali menjadi ibukota Kabupaten Paniai dan bukan Nabira; ketiga, kenaikan gaji polisi terlalu kecil dibandingkan dengan gaji pejabat sipil juga.
“Itulah sebabnya para pemberontak mempunyai pengaruh atas polisi," kata Soedjarwo.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar