Akhir Tragis Koran Marhaenis
Kerap kritis terhadap kaum kiri, namun dibubarkan karena dicap sebagai media kiri
SUATU hari di tahun 1964, ratusan eksemplar Suluh Indonesia (disingkat menjadi Sulindo, surat kabar milik Partai Nasional Indonesia) edisi terbaru ditemukan berserakan sepanjang jalur kereta api di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari para informan terpercaya, Satya Graha mendapat kabar bahwa itu merupakan ulah para buruh kereta api yang berafiliasi ke SOBSI (organisasi buruh yang terkait dengan PKI). Mereka mendapat perintah dari pihak Harian Rajat, koran kiri yang merupakan saingan berat Sulindo.
“Cara mereka memang kasar, maka saya putuskan untuk membalas aksi mereka tersebut,” ujar wakil pemimpin redaksi Sulindo kala itu.
Satya lantas meminta tolong kepada para buruh kereta api yang berafiliasi dengan KBM (organisasi buruh yang merupakan onderbouw Partai Nasional Indonesia). Permintaannya, agar para buruh marhaenis itu “menahan” koran Harian Rajat supaya terlambat datang ke pelosok-pelosok tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Dibandingkan aksi mereka sebelumnya, cara saya itu bisa dikatakan masih halus lho,” kata Satya.
Rupanya aksi balasan tersebut sampai ke telinga Presiden Sukarno, yang secara pribadi memang dekat dengan Satya. Maka pada suatu pagi, usai sarapan, Sukarno pun memanggil Satya.
“Satya, kamu sekarang sudah mulai komunistophobia juga ya?” selidik Bung Karno
“Lho, maksudnya bagaimana, Pak?”
“ Aku dengar kamu mulai menyusahkan Harian Rajat.”
Mendengar jawaban Bung Karno tersebut, Satya langsung maklum: ia telah dilaporkan oleh orang-orang PKI. Tanpa ragu ia lantas menceritakan duduk persoalan pertamanya mengapa semua itu terjadi. Lantas bagaimana reaksi Bung Karno?
“Ia diam saja, tapi sepertinya paham dengan apa yang saya sampaikan,” ujar Satya.
Sulindo memang kerap memilih “jalur keras” terkait dengan PKI. Saat ramai-ramainya aksi sepihak yang dilakukan oleh aktivis-aktivis tani komunis, Sulindo pun tampil mengecam aksi-aksi tersebut sebagai “revolusi kebablasan”.
Bahkan bukan PKI saja, Bung Karno pun sempat “kena sikat” Sulindo. Ceritanya, saat Si Bung menikahi Hartini pada 1953, Sulindo secara berani memuat artikel yang dikirim tokoh perempuan nasionalis, S.K.Trimurti, berjudul “Kambing Tua Memakan Daun Muda”. Akibatnya, Satya dilarang untuk datang ke Istana Negara selama tiga bulan oleh Kolonel R.H. Sugandhi, salah satu pengawal Presiden Sukarno.
Baca juga: Hartini, first lady yang tak diakui
Kala bandul PNI mengarah ke kiri, tak jarang Sulindo mendapat peringatan dari beberapa tokoh partai karena tetap memelihara kekritisannya kepada PKI. Namun karena kedekatan dan kepercayaan Ali Satroamidjojo (ketua umum PNI hasil Kongres Purwokerto) kepada Satya Graha, lelaki yang pernah mengikuti kursus jurnalistik di Inggris tersebut memilih tetap jalan terus.
Namun sikap kritis itu pun tidak serta merta menjadikan Sulindo dan Satya mendapat tempat di kalangan kanan PNI. Malah sebaliknya, menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Perpolitikannya, Satya Graha pernah disebut-sebut oleh orang-orang sayap kanan PNI sebagai “orang yang diselundupkan PKI” ke tubuh PNI.
Baca juga: Tragedi G30S menyeret PNI menuju kehancuran
“Ya memang, Pak Osa Maliki (tokoh sayap kanan PNI) pernah menjuluki saya sebagai 'kuda troya' kaum komunis,” kata Satya.
Juli 1965, terjadi pembersihan oleh orang-orang sayap kiri di tubuh PNI. Sebagai kader yang pro kubu Osa Maliki, atasan Satya yakni Isnaeni pun tidak lepas dari sapu pembersih: ia diturunkan sebagai Pemred Sulindo. Yang mengejutkan, Ali Sastroamidjojo menunjuk Satya Graha sebagai pengganti Isnaeni.
Sabtu, 2 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengangkat Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Letjen TNI Ahmad Yani yang saat itu masih belum jelas keberadaannya. Namun di lain pihak, Markas Besar Angkatan Darat justru menetapkan Panglima Kostrad, Mayjen TNI Soeharto sebagai pengganti Ahmad Yani.
Baca juga: Soeharto penjarakan Pranoto dengan tuduhan terlibat G30S
Tentu saja situasi tersebut menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, termasuk media massa. Namun, sebagai pemred, Satya Graha tak ingin lama-lama diombang-ambing ketidakjelasan. Untuk memenuhi unsur keadilan dalam pemberitaan maka ia memutuskan Sulindo memuat kedua versi pengangkatan tersebut pada edisi Minggu, 3 Oktober 1965.
“Saya tak menyangka koran yang memuat berita tersebut menjadi penerbitan kami yang terakhir, setelah itu koran kami berakhir tragis: tenggelam dan sebagian awaknya ditangkapi, termasuk saya,” kenangnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar