Agar Negara Tak Lagi Zonder Tentara
Oerip Soemohardjo dipercaya menyusun organisasi militer Indonesia yang disiplin dan profesional.
USAI tak lagi bertugas sebagai komandan kamp interniran di Bandung, Oerip Soemohardjo pulang ke rumah-vilanya di Gentan, daerah antara Yogyakarta dan Pakem. Dia mengisi hari-harinya dengan berkebun, hobi lamanya. Aktivitas itu berlangsung hingga Indonesia merdeka.
Oerip tak terlalu minat mengikuti perkembangan politik. Meski banyak orang datang ke rumahnya, termasuk AH Nasution, dia lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Hanya jika diminta, dia memberikan pandangan dan saran.
Suatu hari, pada Oktober 1945, Oerip kedatangan tamu. Mereka adalah para eks perwira KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), yang dipimpin Didi Kartasasmita. Oerip menyambut hangat. Obrolan pun mengalir. Oerip mendengarkan dengan saksama ketika Didi menjelaskan maksud kedatangannya: membendung arus mantan serdadu KNIL yang hendak memihak NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) sekaligus membentuk tentara nasional. Setelah dibujuk, Oerip mendukung dan menyanggupi menjadi formatur pembentukan tentara dengan syarat mendapat dukungan dari junior.
Pertemuan usai. Oerip menyilakan para tamunya menginap sebelum esok melanjutkan perjalanan ke Ambarawa dan Semarang. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, mereka menyempatkan bermalam lagi di rumahnya.
Pembentukan TKR
Pada 5 Oktober 1945, Oerip memenuhi undangan Presiden Sukarno untuk menghadiri rapat kabinet di Jakarta. Tiga mantan opsir KNIL lainnya dan seorang mantan Peta (Pembela Tanah Air) juga hadir. Rapat memutuskan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Rapat juga menunjuk Oerip, yang dikenal dengan pernyataannya “aneh, negara zonder (tanpa) tentara” sebagai formatur. Sebelumnya, pada 22 Agustus 1945 telah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), yaitu badan yang bertugas memelihara keamanan bersama dengan rakyat dan jawatan-jawatan negara.
Pada 5 Oktober 1945, melalui suratkabar dan radio, pemerintah mengumumkan maklumat: “Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.” Maklumat itu disusul dengan pengumuman-pengumuman dari Markas Tertinggi yang dibentuk Oerip.
“Diserukan oleh Markas Tertinggi agar para pemuda, para bekas prajurit Peta, Heiho, Kaigun Heiho, Barisan Pelopor dan lain-lainnya, memasuki TKR,” tulis Nugroho Notosusanto dalam Pejuang dan Prajurit.
Pada 20 Oktober 1945, pemerintah mengumumkan susunan tertinggi di Kementerian Keamanan Rakyat dan TKR. Oerip mendapat kepercayaan sebagai Kepala Staf Umum TKR. Pimpinan tertinggi diserahkan pada Suprijadi, tokoh pemberontakan Peta di Blitar, yang tak muncul sebelum akhirnya dipegang Soedirman.
“Sementara para bekas opsir Peta tak pernah mendapat pendidikan staf, para bekas opsir KNIL itu setidak-tidaknya telah berpengalaman dalam melakukan tugas-tugas staf dan oleh sebab itu mereka lebih memenuhi persyaratan untuk tugas yang berkaitan dengan pengorganisasian dan perencanaan militer,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Desain Tentara Rasa Belanda
Sepulang ke Yogyakarta, Oerip langsung bekerja. Dia menjadikan salah satu kamar di Hotel Merdeka (kini Hotel Inna Garuda) sebagai Markas Besar Tertinggi (MBT) TKR. Dibantu beberapa tokoh muda bekas perwira KNIL seperti Didi Kartasasmita, Suryadarma, dan Simatupang, Oerip menyusun organisasi ketentaraan.
Oerip ingin membentuk organisasi tentara yang rapi, disiplin, dan profesional. Struktur menempati posisi penting. “Untuk memudahkan pengorganisasian TKR, maka MBT mengeluarkan perintah tentang pembentukan komandemen sebagai ‘organisasi penghubung’ antara divisi-divisi dengan MBT,” ujar Didi Kartasasmita dalam otobiografinya, Pengabdian Bagi Kemerdekaan.
Tiap komandemen membawahkan beberapa divisi, yang jumlahnya berbeda-beda di tiap tempat. “Kepada mereka diberikan komando taktis, baik atas kesatuan-kesatuan TKR yang reguler maupun atas sekian banyaknya badan perjuangan, yakni nama baru yang diberikan kepada berbagai organisasi kelasykaran,” tulis Sundhaussen.
Menurut Nugroho, sebenarnya Oerip akan membentuk empat divisi saja: tiga di Jawa dan satu di Sumatera. Tapi rencana ini batal karena pemuda-pejuang yang sukarela masuk TKR melebihi jumlah yang direncanakan. Maka, MBT TKR akhirnya membentuk dan mengesahkan susunan sepuluh divisi di Jawa dan enam divisi di Sumatera.
Untuk mengetatkan organisasi, sepuluh divisi di Jawa dibagi menjadi tiga komandemen yang dipimpin seorang mayor jenderal. Pembentukan komandemen ini tak berjalan lancar. Sejumlah divisi tak mau mengakui panglima komandemennya. Alasannya beragam: dari perbedaan latar belakang, wawasan, hingga sentimen anti-KNIL.
“Hanya di Jawa Barat, komandemen yang berfungsi cukup baik. Komandemen itu dipimpin oleh bekas kapten KNIL Didi Kartasasmita, dengan ‘kadet Bandung’ Abdul Haris Nasution sebagai kepala stafnya, dan sampai tingkat tertentu menerapkan disiplin dan perencanaan militer menurut norma-norma militer Belanda yang segera menjadi ciri TKR Jawa Barat,” tulis Sundhaussen.
Komandemen kemudian dibubarkan. Oerip lalu menggagas konferensi para perwira, yang agenda pertemuannya bertambah dengan pemilihan panglima besar. Dia gagal terpilih melalui suatu pemilihan yang dramatis. Soedirman menjadi panglima besar, sedangkan Oerip tetap menjadi Kepala Staf Umum.
Kekalahan itu tak menyurutkan niat Oerip untuk memperbaiki organisasi militer. Dia memimpin Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara, yang ditetapkan presiden pada Februari 1946. Salah satu agendanya meleburkan laskar-laskar atau badan-badan perjuangan ke dalam TKR. Setelah upaya yang sulit, dan harus berhadapan dengan kepentingan politik, Oerip menyelesaikan tugasnya dengan baik. Pada 3 Juni 1947, Presiden Sukarno menetapkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar