Adakah Udang di Balik Gelar Pahlawan Nasional?
Indonesia negeri yang bertaburan pahlawan. Bagaimana muasal ceritanya dan kepentingan rezim?
INDONESIA adalah negara dengan jumlah pahlawan terbanyak di dunia. Saat ini sebanyak 173 nama menghiasi album Pahlawan Nasional. Jumlahnya akan terus bertambah. Sebabnya, setiap tahun menjelang Hari Pahlawan, selalu ada nama baru.
Sejak kapan ritual gelar pahlawan ini bermula?
Sejarawan Prancis Denys Lombard mencatat, ide untuk memunculkan sosok pahlawan digagas pada penghujung 1950. Saat itu ada keinginan merehabilitasi semua korban kesewenang-wenangan Belanda. Dalam memori masyarakat mereka adalah orang-orang yang berani menentang kompeni dan ada di berbagai daerah. Masyarakat menghargainya dengan beberapa cara. Potret tokoh-tokoh yang dianggap pahlawan diusung. Biografi mereka dibuat dengan kisah yang diperindah. Nama-nama tertentu bahkan diabadikan sebagai nama jalan.
“Agar prakarsa-prakarsa itu dapat ikut memperkuat ideologi persatuan, sejak 1959 Sukarno memutuskan untuk menyusun sebuah daftar resmi ‘Pahlawan Nasional’,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-batas Pembaratan.
Abdul Muis, sastrawan-cum-politisi Sarekat Islam, menjadi yang pertama menerima gelar ini. Belum jelas alasannya. Tak berselang lama, masih di tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan dan pendiri Indische Partij, serta Surjopranoto, tokoh perburuhan yang juga kakak sulung Ki Hadjar Dewantara, ditetapkan sebagai pahlawan.
Jumlah pahlawan kemudian terus bertambah.
“Sukarno sering menggunakan hak istimewanya sebagai presiden untuk mengusulkan kandidat-kandidat pahlawan dan untuk menyatakan mereka sebagai pahlawan tanpa mempertimbangkan atau persetujuan sebelumnya oleh komite yang berwenang,” tulis sejarawan Jerman Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional dari Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru 1959-1993” termuat di Outward Appearances suntingan Henk Schulte Nordholt. Ini bisa dilihat dari pemberian gelar Pahlawan Revolusi pasca-Gerakan 30 September 1965.
Kepentingan politik juga mendasari pengangkatan Tan Malaka dan Alimin sebagai pahlawan. Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis sebagai pahlawan berdasarkan kepentingan strategis: menempatkan wakil dari ideologi komunis dalam Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).
Gelar pahlawan Tan dan Alimin tak pernah dicabut, kendati nama mereka pernah tak muncul dalam daftar Pahlawan Nasional yang terbit pada masa Orde Baru.
Di era Sukarno, hampir semua pahlawan berasal dari masa pergerakan nasional dan kebanyakan dari Pulau Jawa. Hanya empat dari 33 pahlawan yang tercatat hidup dan berjuang pada masa sebelumnya: Sisingamangaradja XII, Tjut Meutia, Tjut Njak Dien, dan Pakubuwono VI. Keempatnya dilihat sebagai eksponen-eksponen perlawanan antikolonial regional.
Sosok paling tua di antara tokoh gerakan nasional adalah Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam. Sedangkan yang termuda Jenderal Sudirman. Sutan Sjahrir menjadi nama terakhir yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional era Sukarno.
Di masa Soeharto, keputusan pengangkatan pahlawan lebih ketat daripada rezim sebelumnya. Bedanya, varian tokoh pahlawan diperluas, baik secara historis maupun geografis. Kendati demikian, kepentingan politik tak luput dari pertimbangan.
Menurut Schreiner, sejarah hubungan antara rakyat Indonesia dan Belanda dikonseptualisasi sebagai suatu sejarah perjuangan antikolonial yang memuncak pada kebangkitan rezim Orde Baru.
Nama pertama yang dinominasikan rezim Soeharto adalah Laksamana Martadinata pada 1966. Martadinata adalah tokoh yang mendukung Soeharto sesaat setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Gelar yang sama juga diberikan kepada Basuki Rachmat pada 1969, salah satu dari tiga jenderal yang menjadi saksi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), simbol tonggak berdirinya Orde Baru. Pengangkatan juga terjadi pada Siti Hartinah, yang tak lain istri Soeharto.
Sebaliknya, sejumlah tokoh yang layak mendapat gelar pahlawan justru sempat gagal karena bersikap kritis terhadap rezim Orde Baru. Ini dialami Bung Tomo, pejuang dalam Pertempuran Surabaya. Bung Tomo baru diakui sebagai pahlawan tahun 2008.
Kontroversi juga muncul ketika Soeharto memberikan gelar Pahlawan Proklamasi kepada dwitunggal Sukarno-Mohammad Hatta pada 1986. Masalahnya, selain undang-undang tak mengaturnya, gelar itu justru membelenggu nama besar dan mereduksi peran keduanya secara sendiri-sendiri maupun dalam konteks peristiwa sejarah –hanya pada peristiwa proklamasi.
Setelah reformasi, kontroversi masih mengiringi pemberian gelar pahlawan. Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Padahal UU No 20/2009 menyebut Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang pernah diberikan, yakni Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamasi, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera.
Yang menarik lagi, sekarang nama-nama Pahlawan Ampera juga tak tercantum, misalnya dalam buku Profil Pahlawan Nasional yang dikeluarkan Kementerian Sosial tahun 2016. Apakah mereka masih Pahlawan Nasional?
Hartono Laras hanya memberikan jawaban singkat: “(Kalau) menurut UU No. 20 Tahun 2009... Pahlawan Nasional.”
Kontroversi yang tak pernah surut tentu saja usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, mantan presiden.
“Pahlawan itu keputusan politik sebetulnya. Ada simbol sosial di sana. Pada intinya, pahlawan itu ada dua sisi. Pertama akademik, kedua politik. Penentunya itu politik karena itu yang menentukan pemerintah,” ujar Abdul Syukur, sejarawan Universitas Negeri Jakarta yang juga anggota Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar