Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris
Sepakterjang Gatut Kusumo Hadi. Pelajar pejuang, pemuda sosialis dan sineas film legendaris.
SENYUM tersungging di bibir Thea Susetia Kusumo ketika menerima Historia di kediaman sederhananya, Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Meski keriput telah menghiasi wajahnya, stamina Thea tak pernah kendur ketika menceritakan suaminya, Gatut Kusumo Hadi.
“Ibu Thea ini bekas dosen bahasa Inggris di Unesa. Dulu beliau dosen bahasa Inggris pertama di Surabaya ini. Makanya masih bisa tinggal di perumdos sini,” ujar Dhahana Adi Pungkas, penulis buku Surabaya Punya Cerita, yang mengantar Historia.
Maka, dengan senang hati perempuan sepuh nan ramah itu membuka kembali laci ingatannya perihal sang suami dan menceritakannya. Memang, Gatut sang suami hampir mustahil dikenal generasi milenial. Namun, jika menyebut film legendaris Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati!, anak-anak muda generasi 1990-an pasti banyak yang tahu. Saban 17 Agustusan dan 10 November (HUT RI dan Hari Pahlawan), film itu kerap diputar TVRI.
Pelajar-Laskar Menggelar Layar
Gatut Kusumo lahir di Purwokerto pada 13 Februari 1928. Dia sempat kesulitan melangsungkan pendidikannya di Surabaya. Semasa sekolah menengah, dia mesti “menukar” pena dan bukunya dengan senjata untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Gatut bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pelajar Darmo 49 kala Pertempuran Surabaya meletus.
Setelah Surabaya dikuasai Sekutu, Gatut ikut menyingkir dan bergerilya di Malang dan Blitar sebagai serdadu TRIP. Pasca-revolusi, Gatut Kusumo berdinas di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), tapi hanya bertahan empat tahun. “Enggak kuat (betah) dia. Lalu kemudian metu (keluar). Katanya, ‘Ya jadi tentara aku nyaluti (hormat) terus ke perwira yang lebih tinggi, lebih baik keluar’,” ujar Thea mengikuti perkataan mendiang suaminya.
Baca juga: Inggris butuh 23 hari menguasai Surabaya pasca-Pertempuran 10 November
Gatut yang pensiun dengan pangkat terakhir letnan satu memilih kembali ke Malang untuk melanjutkan sekolah. Waktu luangnya yang banyak setelah lulus Sekolah Menengah Tinggi (SMT) dan keluar dari Universitas Indonesia dimanfaatkannya untuk membaca banyak buku.
“Sempat juga disekolahkan ke Universitas Indonesia, tapi ya enggak betah juga, enggak sampai selesai. Dia enggak suka kerja. Dia enggak kerja apa-apa setelah lulus. Hidup dari pensiun tentara ya enggak akeh (banyak). Cuma cukup buat dia sendiri. Makanya dia mau ketika diajak bikin film (Penyeberangan) itu. Ya untuk cari uang. Dia anak paling tua di keluarganya. Ibunya hanya tinggal sendiri dengan dua adiknya yang masih harus dibantu sekolahnya,” imbuh Thea.
Gatut belajar perfilman secara otodidak. Selain membaca buku, dia rajin berdiskusi dengan Nyak Abbas Akup, tokoh perfilman nasional yang malang melintang sejak 1952 bersama Perfini. “(Gatut, red.) Juga belajar dari Nyak Abbas yang senang dengan karakternya Pak Gatut. Makanya mereka bisa dekat,” lanjut Thea, yang diperistri Gatut pada Oktober 1969 meski telah kenal sejak di Malang.
Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Pada 1964, Gatut memulai debutnya di perfilman. Debut itu berangkat dari keinginan rekan-rekan Gatut di TRIP yang ingin mendokumentasikan perjuangan mereka dengan sebuah film. Lantaran Gatut yang paling rajin menulis, dia dipercaya menulis script dan menyutradarai film itu.
Film itu akhirnya rampung dan dirilis tahun 1966. “Judulnya Penyeberangan. Itu lho, kisah pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dengan Meriam Blorok-nya. Toh dia kan juga pelakunya sendiri,” tutur Thea.
Gatut, yang juga menjadi pendiri Akademi Seni Rupa (Aksera), kemudian dipercaya menjadi penulis naskah serial Aku Cinta Indonesia (1985) sebanyak 15 episode. Pada 1990, Pemda Jawa Timur mempercayakan Gatut menggarap film Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati!. Dia berperan sebagai penulis naskah sekaligus sutradara meski di credit filmnya nama Gatut dituliskan sebagai asisten sutradara –sutradara resminya disandang Imam Tantowi.
Baca juga: Fragmen Pertempuran Surabaya dalam film racikan Gatut Kusumo
Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! menjadi prestasi tertinggi Gatut dalam dunia perfilman. Hingga kini, film tersebut masih jadi satu-satunya film yang menggambarkan Pertempuran Surabaya, akhir Oktober-10 November 1945.
Sosialis Sejati Sampai Mati
Selain menggandrungi film dan seni, dalam politik Gatut mengagumi ideologi sosialisme. Benih kekagumannya pada pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Sjahrir, kata Thea, sudah mulai tumbuh sejak masih bergerilya di Jawa Timur.
“Orang-orang terdekatnya bilang Pak Gatut seorang sosialis sejati. Dia fanatik sekali sama Sjahrir. Pikirannya selaras, bahwa musuhnya sosialisme kan feodalisme. Tapi bagaimanapun orang Jawa ada feodalnya. Itu yang ingin dia kikis, bahwa semua orang itu derajatnya sama. Feodalisme membiarkan orang-orang yang di atas berbuat semaunya. Itu yang enggak bisa ditolelir Pak Gatut,” kata Thea.
Pasca-keluar dari UI, Gatut bergabung menjadi kader seksi pemuda PSI. Di konferensi 27 November 1954, dia terpilih jadi Ketua Gerakan Pemuda Sosialis (GPS). “Konferensi (seksi pemuda PSI) berkeputusan bulat meleburkan seluruh organisasi pemuda sosialis di Indonesia dalam satu wadah bernama GPS dengan dipimpin Gatut Kusumohadi dan Suwandi Citut,” tulis Suratkabar Pedoman, 30 November 1954.
“Dia menjadi ketua umum (GPS) sedari awal sampai dia meninggal (1996). Walau kemudian PSI dilarang (sejak 17 Agustus 1960), tapi kan pertemuan-pertemuan sayap-sayap partainya masih ada. Karena PSI dilibas Bung Karno dan kemudian Pak Harto enggak pernah ada pemilihan (Ketum GPS) lagi, maka jabatannya tak pernah digantikan orang lain,” sambung Thea.
Di era Orde Baru (Orba), Gatut lebih sering memberi ceramah politik ke kampus-kampus. Pada 15 Januari 1974, Gatut berada di Jakarta. Dia lalu pulang ke Surabaya menggunakan kereta malam, tiba di Surabaya pada 16 Januari pagi. Setelah menemui istrinya di rumahnya, Jalan Pucang Anom Timur I Nomor 19, Gatut langsung menjenguk ibunya di Jalan WR Supratman. Saat itulah beberapa tentara menjemputnya dan menahannya di rumah tahanan Kodam VIII/Brawijaya (kini Kodam V/Brawijaya).
Baca juga: Partai kaum sosialis bubar di pengujung zaman revolusi
Pemerintah Orba gerah dengan oposisi para eks-PSI yang kerap mengkiritik korupsi para pejabat. Asisten pribadi presiden, Ali Murtopo, menunjuk hidung para bekas PSI sebagai dalang Malari.
Kisah tentang penahanan Gatut diabadikan Thea dalam memoarnya, “Jalan yang Kulalui”. Thea antara lain melukiskan bagaimana kesulitan menemui suaminya di dalam penjara di Surabaya.
“Aku hanya boleh menjenguknya sekali seminggu, setiap Kamis. Oleh karenanya aku selalu minta izin IKIP (kini Unesa) untuk tidak masuk setiap Kamis. Dia ditahan bersama 40 orang lainnya, baik orang-orang Marhaenis maupun para bekas PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar Thea dalam memoarnya.
Gatut dibebaskan pada medio September karena militer ternyata tak menemukan indikasi keterlibatan Gatut dalam provokasi Peristiwa Malari. Satu faktor lain yang ikut membuat Gatut bebas adalah, campurtangan Dar Mortir, perempuan-veteran yang dihormati para perwira tinggi TNI di Jawa Timur.
“Bu Dar Mortir pejuang wanita yang paling dikenal di Surabaya. Pak Gatut sendiri masih keponakannya Bu Dar Mortir, tapi sudah dianggap seperti adik kandungnya. Makanya sama perwira-perwira yang menahannya, Bu Dar Mortir bilang: ‘Kapan adikku dibebaskan!’,” tutur Thea.
Setelah bebas, Gatut menyibukkan diri dengan aktif berkesenian di Dewan Kesenian Surabaya dan sesekali masih aktif di perfilman. Pada 19 Juni 1996, Gatut menghembuskan nafas terakhir setelah jatuh sakit komplikasi stroke dan pendarahan otak. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sepuluh November Surabaya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar