Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu
Nama venue final Liga Champions diambil dari bekas stadion yang hancur semasa Perang Saudara.
TURNAMEN Eropa rasa Inggris. Laiknya final Europa League ketika mempertemukan Arsenal vs Chelsea di partai puncak, laga puncak Liga Champions musim ini pun bertajuk “All-England Final”. Liverpool akan berhadapan dengan Tottenham Hotspur. Kedua tim sama-sama “bangkit dari kubur”.
Liverpool membalikkan keadaan usai mengalahkan Barcelona 4-0 di semifinal leg kedua. Di leg pertama, Liverpool keok 0-3. Spurs setali tiga uang. Setelah dibungkam Ajax Amsterdam 0-1 di kandang sendiri, tim besutan Mauricio Pochettino itu menang 3-2 di laga tandang. Meski agregatnya 3-3, keuntungan gol tandang cukup membuat Spurs menyingkirkan wakil Belanda itu.
Namun, euforia hebat yang melanda Liverpudlian dan fans Spurs mesti dibendung dulu. Kedigdayaan sebagai jawara Eropa dan siapa yang paling berhak mewakili prestis sepakbola Inggris musim ini masih harus ditentukan di Estadio Metropolitano, Madrid, 1 Juni 2019 (2 Juni WIB) nanti.
Semua mata akan tertuju ke venue tersebut untuk menyaksikan ke tangan siapa trofi “Si Kuping Besar” bakal jatuh. Momen ini juga akan jadi sejarah baru buat stadion “muda” di antara venue-venue berbintang empat kategori standar UEFA itu. Sejak 2017, stadion di ibukota Spanyol itu jadi kandang Atlético Madrid, sebagai ganti Estadio Vicente Calderón yang bakal disulap jadi taman kota.
Menukil situs espanaestadios.com, 15 Desember 2018, stadion rancangan duet arsitek Antonio Cruz dan Antonio Ortiz dari firma arsitektur Cruz y Ortiz Arquitectos itu mulanya dibangun pemerintah kota pada 1990 dan rampung tiga tahun kemudian dengan memakan biaya 45 juta euro. Saat diresmikan pada 6 September 1994, stadion dinamai Estadio de la Comunidad de Madrid. Kapasitasnya kala itu hanya 20 ribu penonton.
Tujuan dibangunnya stadion itu mulanya sebagai “senjata” Dewan Olahraga Kota Madrid dalam bidding tuan rumah Kejuaraan Dunia Atletik 1997. Upaya itu akhirnya gagal lantaran Federasi Asosiasi Atletik Internasional (IAAF) lebih memilih Olympic Stadium Athens, Yunani. Usaha Madrid untuk bidding Olimpiade 2016 dengan mengganti nama stadion jadi Estadio Olímpico de Madrid juga mentah karena Komite Olimpiade Internasional (IOC) menjatuhkan pilihan ke Rio de Janeiro (Brasil) ketimbang Madrid.
Tiada gelaran megah di stadion ini sejak gagal jadi tuan rumah dua ajang itu. Pada 2016, kepemilikan stadion beralih ke tangan manajemen Atlético Madrid dari pemkot Madrid. Stadion lantas direnovasi dengan dana 240 juta euro. Kapasitasnya bertambah jadi 68 ribu penonton dan laga pertamanya, Atlético Madrid vs Málaga, digelar pada 16 September 2017 dengan disaksikan langsung Raja Felipe VI.
Baca juga: Senandung Pelipur Lara dan Pemantik Asa
Nama stadion lalu diubah lagi jadi Wanda Metropolitano. Penyematan “Wanda” merupakan kompensasi sponsorship kepada Wanda Group, perusahaan real estat asal China. Metropolitano diambil untuk menghidupkan warisan sejarah stadion tua Atlético sepanjang 1923-1946 dan 1943-1966 sebelum pindah ke Vicente Calderón yang kala itu masih bernama Estadio Manzanares. Namun, oleh masyarakat setempat stadion berkapasitas 68 ribu itu dijuluki “La Peineta” alias sisir lantaran bentuk atapnya menyerupai sisir khas Spanyol.
Saksi Bisu Perang Saudara
Nama “Metropolitano” dalam stadion baru di atas berasal dari bekas stadion kedua milik Atlético yang dibangun pada 1923. Mengutip Wakil Presiden Atlético Antonio Alonso di tulisannya, “The Internationalization of Club Atlético de Madrid S.A.D”, yang dihimpun Simon Chadwick dan David Arthur dalam International Cases in the Business of Sport, stadion baru ini jadi pengganti markas pertama Atlético, Campo de O’Donnell. O’Donnell sempat jadi sengketa lantaran namanya serupa dengan kandang Real Madrid.
“Stadion itu tetap terhitung jadi yang pertama setelah resmi berpisah dengan Athletic Bilbao pada 1921 dan stadion itu di masanya menjadi stadion berkapasitas terbesar di Spanyol,” sebut Alonso.
Berkapasitas 25 ribu penonton dan jadi yang terbesar membuat stadion rancangan arsitek José María Castell itu jadi kebanggaan kota Madrid. Stadion yang berada di lingkungan Universitas Madrid itu pembangunannya rampung pada 13 Mei 1923. Laga perdananya, Atlético kontra Real Sociedad, berakhir 2-1 untuk tuan rumah.
Baca juga: Luzhniki Ikon Kejayaan Negeri Tirai Besi
Dinamakan Estadio Metropolitano de Madrid lantaran stadion ini didirikan seiring pembangunan kompleks Colonia del Metropolitano. Maka selain Atlético sebagai penyewa, stadion ini juga jadi rumah bagi Racing Club de Madrid (bubar pada 1932) dan Real Sociedad Gímnastica. Kala itu Metropolitano belum sepenuhnya milik Atlético, statusnya kepemilikannya masih di bawah Konsorsium Colonia Metropolitano yang dipegang Otamendi Bersaudara: Joaquín, Miguel, José María dan Julián.
Selain dipakai untuk laga-laga kandang Atlético, Metropolitano juga sempat dipakai timnas Spanyol. Dua kali laga persahabatan dihelat di stadion ini, yakni kala Spanyol menjamu Inggris pada 10 Oktober 1929 dan Austria pada 19 Januari 1936.
Lima bulan setelah laga kontra Austria, Perang Saudara Spanyol pecah. Metropolitano jadi saksi bisu pertumpahan darah lantaran kompleks universitas jadi medan laga pertempuran antara Pasukan Republik dan Pasukan Nasionalis, 15-23 November 1936, yang populer dengan Pertempuran Ciudad Universitaria.
“Perang Saudara pecah pada musim panas (Juli 1936) dan konflik itu menyeret Stadion Metropolitano hingga menjadikannya rusak menjadi puing-puing. Stadionnya baru kembali dibangun pada 1942,” tulis Charles Parrish dan John Nauright dalam Soccer Around the World: A Cultural Guide to the World’s Favorite Sport.
Usai perang, Otamendi bersaudara tak mampu membangun kembali Metropolitano. Ia akhirnya dibeli Patronato de Huérfanos del Aire dan diperbaiki pada 1941.
Atlético baru membeli stadion ini pada 15 April 1950. Empat tahun berselang Metropolitano direnovasi hingga bisa menampung 50 ribu penonton. Namun, berbarengan dengan pindahnya Atlético ke Stadion Manzanares (kemudian disebut Estadio Vicente Calderón) pada 1966, Metropolitano lantas ditinggalkan. Ia diratakan dengan tanah untuk kemudian disulap jadi gedung apartemen dan perkantoran.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar