Selayang Pandang Sepakbola Afghanistan
Masa depan sepakbola di bawah rezim Taliban berpotensi suram. Trauma eksekusi mati di tengah stadion dikhawatirkan terulang.
AFGHANISTAN yang sejak sebulan lalu kembali dikuasai Taliban makin hari makin tak bersahabat terhadap atlet-atlet perempuan, khususnya sepakbola. Rombongan pengungsi pesepakbola putri Afghanistan terus mengalir ke sejumlah negara, salah satunya ke Pakistan. Di Afghanistan, masa depan para pesepakbola putri itu suram. Taliban melarang perempuan aktif dalam olahraga.
Mengutip IB Times, Rabu (15/9/2021), pemerintah Pakistan menyambut rombongan 75 orang yang terdiri dari para pesepakbola putri junior Afghanistan kelompok usia U-14, U-16, dan U-18 beserta tim pelatih dan keluarga mereka. Mereka termasuk rombongan pengungsi yang tak bisa dievakuasi lewat jalur udara pasca-serangan bom di Bandara Kabul pada akhir Agustus 2021. Beruntung, permintaan tolong untuk dievakuasi dari negeri kelahiran mereka dijawab LSM Football for Peace yang berbasis di London, Inggris, kemudian diteruskan ke pemerintah Pakistan.
“Saya menerima permintaan untuk menyelamatkan mereka dari LSM berbasis Inggris lainnya, lalu saya menulis surat kepada Perdana Menteri (Pakistan) Imran Khan yang lantas mengeluarkan izin bagi mereka datang ke Pakistan,” kata duta pembangunan global LSM Football for Peace, Naveed Haider, dikutip IB Times.
Baca juga: Para Ibu di Lapangan Hijau
Untuk bisa melintasi perbatasan Afghanistan-Pakistan, mereka terpaksa mengenakan burqa dan cadar dalam perjalanan pada Selasa (14/9/2021) malam. Perjalanan mereka berakhir di Lahore pada Rabu (15/9/2021) pagi. Mereka langsung berganti pakaian dan menerima kalungan bunga dari perwakilan pemerintah Pakistan.
“Kami menyambut tim sepakbola putri Afghanistan setelah mereka tiba di Perbatasan Torkham dari Afghanistan. Para pemain memiliki paspor Afghanistan dan visa Pakistan yang sah dan kemudian diterima Nouman Nadeem dari PFF (induk sepakbola Pakistan),” ungkap Fawad Chaudhry, menteri informasi dan penyiaran Pakistan, di akun Twitter-nya, @fawadchaudhry, Rabu (15/9/2021) pagi.
Ke-75 pengungsi itu jadi gelombang kedua pesepakbola putri yang memilih kabur dari rezim Taliban. Pada 24 Agustus 2021, 77 orang yang termasuk pemain timnas senior putri Afghanistan bersama keluarga mereka lebih beruntung karena bisa dievakuasi dengan pesawat ke Australia. Evakuasi mereka dibantu mantan kapten tim Khalida Popal dan dua eks-pelatih timnas putri Afghanistan asal Amerika Serikat, Haley Carter dan Kelly Lindsey.
Sementara di sepakbola putra, para pesepakbola Afghanistan benasib tidak jelas setelah musim ini. Kompetisi resmi terakhir yang bergulir hanya Herat Premier League. Laga terakhirnya yakni laga penentu juara antara Attack Energy Club kontra Herat Money Changers, 19 Agustus 2021, atau empat hari setelah Taliban memasuki Kabul.
Kala Afghanistan Mengenal Sepakbola
Sepakbola jadi olahraga impor paling popular di Afghanistan selain kriket. Keduanya mulai eksis di tanah “Khorasan” pada akhir abad ke-19 walau hanya terbatas dimainkan para serdadu garnisun British India di Kabul.
Kriket dan sepakbola baru dikenalkan pada masyarakat Kabul dan sekitarnya tak lama setelah pengakuan kedaulatan Afghanistan pada 8 Agustus 1919 (Traktat Anglo-Afghan). Menurut sejarawan cum peneliti budaya Afghanistan Profesor Louis Dupree dalam bukunya, Afghanistan, hal itu dimulai oleh Emir Afghanistan Habibullah Khan yang menggalakkan olahraga tenar di kalangan elite Eropa seperti golf, kriket, dan tenis ke negerinya. Sarana-sarananya turut dibangun sebagai fasilitas para ekspatriat Eropa yang datang untuk melakukan pembangunan pabrik, jembatan, hingga sekolah-sekolah modern di awal rezimnya.
“Baru kemudian beberapa olahraga kontak fisik turut diperkenalkan. Olahraga semacam ini bisa lebih diterima masyararakat karena jadi wadah kompetisi yang sengit untuk mempertaruhkan kebanggaan individu maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Di antaranya basket, sepakbola, voli, dan hoki,” tulis Dupree.
Rezim Habibullah memulainya dari lingkungan sekolah. Sejumlah instruktur sepakbola didatangkan dari Britania Raya untuk melatih tim sepakbola yang dibentuk di empat sekolah setingkat SMA: Maktab Habibiyeh, Maktab Esteghlal, Tafrih Team, dan Mohajer Team.
Menukil data RSSSF, turnamen pertama yang mengikusertakan keempat tim sekolah itu pertamakali digelar pada 1923. Belum diketahui siapa yang memenangkannya. Di tahun yang sama, induk sepakbola Afghanistan Football Federation (AFF) dibentuk beserta tim nasionalnya. Lalu, Ghazi Stadium sebagai stadion pertama di Afghanistan merdeka dibangun di timur Kabul. Nama “Ghazi” yang berarti “pahlawan” diambil untuk mengenang kejayaan Emirat Afghanistan dalam Perang Inggris-Afghan Ketiga (6 Mei-8 Agustus 1919).
Meski begitu, timnas Afghanistan baru eksis di atas kertas. Penyebabnya, perkembangan sepakbolanya masih sangat lamban dan masih terpusat di ibukota Kabul. Klub sepakbola pertama baru hadir pada 1934 di Kabul, yakni Mahmoudiyeh FC. Karena belum ada klub lain, pada 1937 Mahmoudiyeh FC terpaksa mencari lawan untuk melakoni 18 laga persahabatan ke negara tetangga, India. Mahmoudiyeh FC jadi tulang punggung Timnas Afghanistan kala melakukan laga internasional pertamanya kontra Iran pada 25 Agustus 1941. Laga di Ghazi Stadium itu berkesudahan imbang tanpa gol.
Baca juga: Qatar di Gelanggang Sepakbola
Seiring waktu, klub-klub lain bermunculan hingga bisa dibentuk sebuah kompetisi berformat liga, Kabul City League, pada 1946. Pasca-Perang Dunia II, sepakbola di Afghanistan berkembang pesat. Alasannya karena sepakbola bisa lebih menerima keragaman etnis. Sementara, kriket kala itu masih didominasi etnis Pashtun.
Olimpiade Inggris 1948 menjadi debut internasional timnas Afghanistan. Di tahun yang sama, Afghanistan diterima jadi anggota FIFA.
“Afghanistan lebih dulu jadi anggota FIFA pada 1948 dan baru kemudian jadi anggota AFC (Konfederasi Sepakbola Asia) pada 1954. Mereka tampil di Olimpiade 1948 meski hanya sekali bertanding karena kalah 6-0 dari Luksemburg di babak penyisihan,” ungkap Tom Dunmore dalam Historical Dictionary of Soccer.
Di tingkat regional, tim “Singa Khorasan” (julukan timnas Afghanistan) sejatinya punya kans untuk unjuk gigi di Piala Asia 1956 dan 1964. Namun alasan politis membuat Afghanistan memilih mundur ketimbang berhadapan dengan Israel.
Di Bawah Rezim Taliban
Pada awal 1970-an, kompetisi sepakbola mulai menjalar ke Herat, Kandahar, dan Mazar-e-Sharif. Masing-masing kota mendirikan liganya sendiri. Alhasil Kabul City League tak lagi jadi satu-satunya kompetisi di Afghanistan.
“Kurang suksesnya Afghanistan di pentas internasional juga tak lain karena kekacauan organisasi domestik sepakbolanya, terlebih setelah invasi Rusia pada 1979. Di bawah rezim Taliban sejak 1996-2001 pun para pemain Afghanistan dilarang mengenakan baju lengan pendek dan celana pendek. Hasilnya Afghanistan tak tampil di pentas internasional antara 1984-2002,” sambung Dunmore.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa
Di bawah rezim Taliban pada 1990-an itu pula banyak pesepakbola Afghanistan, terutama yang bermain di klub-klub yang berbasis di Kabul dan sekitarnya, mengalami trauma. Sebab, Taliban acap menggunakan Ghazi Stadium sebagai arena menghukum para tahanan politik maupun tahanan kasus hukum umum. Kadang eksekusi itu berlangsung sebelum, saat turun minum, atau setelah pertandingan.
“Pernah ada seorang pencuri yang dipotong tangannya. Sepasang lelaki dan perempuan yang melakukan seks di luar nikah, diberi 100 kali cambukan dan dipaksa menikah. Saya juga menyaksikan sendiri banyak tahanan yang dipenggal dan ditembak mati. Orang-orang Afghanistan takkan bisa melupakan kenangan buruk ini,” kenang Presiden Komite Olimpiade Afghanistan Letjen Mohammad Zaher Aghbar dikutip The Hindu, 14 Januari 2012.
Pascarezim Taliban runtuh pada 2001, sepakbola Afghanistan dibangun lagi dari puing-puing kehancurannya. Timnasnya bisa dibentuk dan berlaga di pentas internasional walau harus mengungsi ke negara-negara lain gegara Perang Afghanistan (2001-2021).
Tim Singa Khorasan mulai mentas di Asian Games pada 2002, Piala Emas SAFF (Federasi Sepakbola Asia Selatan), sejak 2003, Piala Asia mulai 2004, hingga Kualifikasi Piala Dunia sejak 2006.
Sedangkan sepakbola putri kembali bergulir pada 2007 dengan diadakannya seleksi untuk pembentukan timnas putri oleh Komite Olimpiade Afghanistan. Seleksi diikuti oleh para pemain dari sekolah-sekolah di Kabul.
Pesat pertumbuhan persepakbolaan Afghanistan itu mencapai titik terang pada 2012. Saat itu pemerintah Republik Islam Afghanistan turun tangan mendanai pembentukan Afghan Premier League (APL). Klub-klub yang lahir di luar kota Kabul pun bermunculan untuk melakoni liga lintas kota dan provinsi. Stadion-stadion baru bermunculan di Kandahar, Khost, hingga Jalalabad.
Baru setahun berjalan, APL sudah mampu meracik timnas yang lebih berkualitas. Setelah jadi runner-up pada 2011, Sandjar Ahmadi dkk. sukses menjuarai Kejuaraan SAFF 2013. Dua tahun berikutnya, “Singa Khorasan” kembali jadi finalis.
Namun, perkembangan dan prestasi sepakbola Afghanistan terancam jalan di tempat atau bahkan melangkah mundur setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021. Sementara sepakbola putra masih belum jelas nasibnya, sepakbola putri Afghanistan terpaksa mati suri karena larangan perempuan beraktivitas dalam olahraga. Hampir semua pemainnya di segala kelompok umur sudah mengungsi ke luar Afghanistan. Padahal, perkembangan mereka cukup menjanjikan. Mereka mampu mencapai semi-final Kejuaraan SAFF 2012.
“Sangat menyakitkan bagi saya untuk mengatakan bahwa jersey sebagai identitas nasional yang sudah mereka dapatkan susah payah, harus ditinggalkan. Saya ingat pertamakali mengenakannya. Saya tak bisa menjelaskan dengan kata-kata karena itu jadi perasaan terbesar. Kami merasa bahagia, bangga, dan merasa sebagai pemenang dan sekarang saya harus bilang pada para pemain untuk membakar jersey mereka?” tandas Khalida Popal, kapten timnas putri Afghanistan periode 2008-2011, kepada The Guardian, 20 Agustus 2021.
Baca juga: Sepakbola Kaum Hawa Merentang Masa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar