Kontroversi Identias Gender Atlet di Olimpiade
Olimpiade Paris 2024 memunculkan kontroversi identitas gender yang menimpa atlet Aljazair Imane Khelif. Dulu atlet lari Stella Walsh dan Helen Stephens juga mengalami hal yang sama.
ATLET Aljazair Imane Khelif yang bertanding dalam cabang tinju Olimpiade Paris 2024 menjadi sorotan publik dunia. Kontroversi muncul ketika Khelif mengalahkan petinju Angela Carini dari Italia di babak 16 besar kelas welter putri hanya dalam waktu 46 detik. Ini kemudian memunculkan pro dan kontra, sebab tak sedikit orang yang meragukan identitas gender Khelif karena kekuatannya dianggap seperti pria.
Kontroversi itu mendorong sejumlah pihak angkat bicara. Pihak Aljazair membantah tudingan yang menyebut Khelif bukan wanita. Juru bicara International Olympic Committee (IOC), Mark Adams juga menegaskan bahwa tidak ada catatan mengenai transgender dalam riwayat sang atlet. Khelif sendiri menegaskan bahwa dia adalah wanita tulen. Pro dan kontra terkait jenis kelamin Khelif membuat Carini buka suara. Dia meminta maaf kepada Khelif atas kontroversi yang muncul setelah keduanya bertanding.
Keraguan terhadap identitas gender atlet wanita bukan kali ini saja terjadi. Di masa lalu, sejumlah atlet seperti Stella Walsh dan Helen Stephens juga pernah menjadi sorotan publik karena penampilan serta keahliannya di lapangan dianggap seperti laki-laki.
Baca juga:
Stella Walsh pernah dijuluki sebagai salah satu pelari cepat terbaik di dunia. Nahas, dia meninggal dunia karena menjadi korban perampokan pada 4 Desember 1980. Hasil otopsinya mengungkapkan bahwa Stella memiliki alat kelamin yang ambigu. Hal ini memicu kontroversi setelah disiarkan stasiun televisi lokal di Amerika Serikat.
“Stasiun TV lokal menyiarkan rincian dari laporan otopsi, termasuk fakta bahwa Stella tidak memiliki rahim, uretra yang tidak normal, dan penis yang tidak berfungsi dan tidak berkembang. Ketika dirilis, laporan yang sebenarnya menyatakan bahwa ‘mayoritas selnya memiliki kromosom X dan Y yang normal, dan sebagian kecil selnya mengandung kromosom X tunggal’,” tulis Joanna Harper dalam Sporting Gender: The History, Science, and Stories of Transgender and Intersex Athletes.
Publisitas negatif terkait identitas gender Stella bermunculan setelah hasil otopsi dirilis. Ia dituding melakukan penipuan. Tagline “Stella was a fella” digunakan berulang kali, dan sejak saat itu nama Stella kerap dikaitkan dengan kasus-kasus kecurangan yang paling terkenal dalam olahraga.
Menurut Vanessa Heggie dalam “Subjective Sex: Science, Medicine, and Sex Tests in Sports”, termuat di Routledge Handbook of Sport, Gender, and Sexuality, Stella yang lahir di Polandia pada 1911 dan tumbuh besar di Amerika Serikat sejak tahun 1912 menjalani hidupnya sebagai perempuan. “Identitas gendernya baru dipertanyakan setelah kematiannya, di mana otopsi mengungkapkan beberapa ciri-ciri seksual yang tidak jelas,” tulisnya.
Baca juga:
Kendati hasil otopsi mengejutkan banyak pihak, tak sedikit orang yang telah lama meragukan identitas gender Stella. Penyebabnya karena penampilan dan kemampuan berlari cepat sang atlet dianggap seperti pria.
Kesuksesan Stella meraih medali emas di Olimpiade Los Angeles 1932 di nomor 100 meter tak hanya dicurigai sejumlah orang, tetapi juga menjadi perbincangan di kalangan atlet. Selain meraih medali emas, Stella yang tergabung dalam kontingen Polandia juga mencatatkan rekor baru, yakni finis dalam waktu 11,9 detik. Kemenangan ini disambut suka cita oleh rakyat Polandia. Namun, banyak orang di luar Polandia yang tidak senang dengan keberhasilan Stella.
Harper menulis, tinggi badan, otot, dan fitur wajahnya yang maskulin dikombinasikan untuk menarik perhatian yang tidak diinginkan. Mary Carew dari Amerika Serikat, atlet tim estafet 4x100 meter peraih medali emas, menyebut Stella sebagai “wanita yang jantan”. Sedangkan Hilda Strike, pelari Kanada yang dijagokan meraih medali di nomor 100 meter, mencurigai Stella karena dia jarang menginap di hotel bersama para wanita lain dan selalu mengenakan pakaian olahraganya; dan manajer tim Kanada menyebut Stella sebagai “gadis Polandia bersuara serak dengan tubuh kekar”.
Di sisi lain, orang-orang yang tumbuh bersama Stella memahami bahwa dia “berbeda” dari gadis-gadis lainnya. “Beberapa orang berbicara tentang ‘cacat lahir’ atau ‘mutasi’ ketika membahas tentang alat kelaminnya yang tidak biasa. Sementara yang lain memahami bahwa Stella adalah seorang hermafrodit,” tulis Harper. Wajah dan sosok Stella yang seperti laki-laki juga menyebabkan dia dicap “tomboi” dan mengakibatkan perundungan. Karena hal inilah dia tumbuh menjadi gadis yang sangat pemalu.
Setelah kematian Stella pada 1980, Max Dohle dalam “They Say I’m Not a Girl”: Case Studies of Gender Verification in Elite Sports menyebut IOC sempat mempertimbangkan untuk mencabut medali Stella seiring dengan terkuaknya hasil otopsi jenazah sang atlet. Wacana tersebut mendapat kritik dari Helen Stephens, pelari Amerika Serikat yang menjadi rival Stella dalam Olimpiade Berlin 1936. Menurutnya, merampas medali yang telah diberikan adalah tindakan yang kejam. Selain itu, dia menganggap bahwa Stella bukanlah seorang pria. Pada akhirnya, tahun 1991 Kongres Atletik memutuskan bahwa rekor yang telah dicatatkan oleh Stella tak akan dihapus dan medali yang telah diberikan kepadanya tak akan diambil kembali.
Tak hanya Stella, kontroversi gender atlet Olimpiade juga pernah dialami Helen Stephens, yang meraih posisi pertama dalam lomba lari 100 meter putri di Olimpiade Berlin 1936. Sebuah media Polandia secara terang-terangan mempertanyakan apakah dia benar-benar seorang wanita. Rasa penasaran publik terhadap jenis kelamin Helen membuat sang atlet buka suara. Dia menyebut dirinya telah menjalani pemeriksaan jenis kelamin yang dilakukan oleh dokter IOC. Menurutnya, hasil pemeriksaan itu cukup untuk membuktikan bahwa dia seorang wanita. Sebab, para atlet harus lebih dahulu menjalani pemeriksaan ini dan baru diizinkan bertanding di Olimpiade bila dinyatakan lolos pemeriksaan jenis kelamin.
Meski begitu kontroversi yang mempertanyakan jenis kelamin Helen masih belum mereda. Pembahasan ini justru semakin memanas setelah majalah Amerika, Look edisi Januari 1937, menerbitkan artikel yang menampilkan foto Helen yang kurang menarik dengan judul “Apakah ini Pria atau Wanita?” Helen yang dinobatkan sebagai atlet wanita Amerika paling berprestasi tahun 1936 oleh Associated Press mengajukan tuntutan hukum. Dia menggugat dan memenangkan putusan sebesar US$5.500.
Kasus-kasus ambiguitas gender yang membayangi atlet mendorong otoritas olahraga internasional memberlakukan tes gender dan pemeriksaan jenis kelamin. Dipandang sebagai solusi untuk mewujudkan kompetisi yang adil, tes ini juga tak luput dari silang pendapat berbagai pihak yang beberapa di antaranya menyoroti cara-cara biologis, sosial, dan budaya dalam memahami perbedaan tubuh.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar