Ketika Indonesia jadi Pelampiasan Maradona
Maradona menebus kekecewaannya di Piala Dunia Yunior 1979. Melibas semua lawan di hadapannya, termasuk Timnas Indonesia.
FIFA matchday antara timnas Indonesia versus Argentina jadi partai yang paling ditunggu publik di tanah air. Kendati bukan dalam rangka kompetisi resmi, laga yang akan bergulir di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada Senin (19/6/2023) malam itu jadi pertemuan perdana tim senior kedua negara. Di level U-20, tim Garuda Muda sudah pernah merasakan bagaimana tak berdayanya mereka saat bersua Argentina di Kejuaraan Dunia Yunior (kini Piala Dunia U-20) 1979 di Jepang.
Kosasih Kartadiredja salah satu saksi matanya. Ia memang bukan bagian dari skuad yunior Indonesia yang diarsiteki Soetjipto Soentoro 44 tahun silam itu, tapi hadir di Kejuaraan Dunia Yunior 1979 itu sebagai pengadil lapangan, kendati peraturan saat itu tentu menghindarkannya bertugas di laga-laga yang satu grup dengan Indonesia.
Indonesia sendiri tergabung di Grup B bersama tiga raksasa sepakbola: Argentina, Polandia, dan Yugoslavia. Sementara, Kosasih kebagian jatah bertugas di laga Spanyol vs Aljazair (Grup A) sebagai wasit utama, serta duel Uni Soviet vs Hungaria (Grup D) dan partai Spanyol vs Meksiko (Grup A) sebagai hakim garis.
Namun tiga hari sebelum melakoni tugas pertamanya, Kosasih tentu ikut menyaksikan bagaimana timnas Indonesia dijadikan bulan-bulanan Diego Maradona cs. Pada laga yang berlangsung di Stadion Omiya pada 26 Agustus 1979 itu, Argentina menghajar Indonesia lima gol tanpa balas, di mana dua gol di antaranya dari Maradona.
“Iya dulu bisa ikut di Kejuaraan Dunia (1979). Saya tidak ikut mimpin Maradona di pertandingannya karena (timnas) PSSI main di grup yang sama,” kenang Kosasih saat ditemui Historia medio Februari 2019.
Legenda hidup timnas Bambang Nurdiansyah juga punya memori tentang laga itu. Saat berkisah di program “Okezone Kick Off”, Jumat (16/6/2023), Bambang yang turut dalam skuad 1979 menyatakan tim Indonesia saat itu bukan hanya kalah kelas dari Argentina tapi juga dari tiga tim lain di Grup B.
“Gini lho, yang dilawan siapa, Bos? Kita hari pertama 5-0 (kalah dari Argentina). Hari kedua 6-0 (kalah dari Polandia). Hari ketiga 5-0 (kalah dari Yugoslavia). Jadi sampai 16 kali kebobolan. Mas Cipto (pelatih Soetjipto Soentoro, red.) juga bilang waktu itu bukan Argentinanya, kita lawan Maradona. Setelah juara Piala Dunia (1978), dunia sudah menyoroti Maradona. Yang pasti menurut saya, Maradona itu bayi ajaib,” kenang Bambang.
Baca juga: Diego Maradona dalam Kenangan
Sedari dulu hingga kini, perbandingan antara Indonesia dan Argentina bak langit dan bumi. Maka, Bambang hanya berharap di kesempatan kali ini, setidaknya para pemain di bawah asuhan Shin Tae-yong (STY) bisa mengambil pengalaman terbaik, apapun hasil akhirnya di SUGBK.
“Yang pasti (FIFA matchday Indonesia vs Argentina) ini jadi pengalaman berharga buat pemain nasional kita. Manfaatkan sebaik-baiknya. Mereka juara dunia lho. Memang seharusnya kita sering bertanding dengan tim yang levelnya di atas kita. Karena nanti kalau berhadapan dengan tim yang selevel, enggak ada alasan mental, nervous, grogi, atau demam panggung lagi. Walau Argentina (skuadnya) enggak all-out, tapi kan cara main mereka tetap luar biasa,” imbuhnya.
Pembuktian Menotti dan Maradona
Yang terjadi empat dekade lewat tentu suasananya berbeda dengan hari ini. Salah satunya adalah pada 1979 Maradona tampil, hari ini sang “megabintang” Lionel Messi batal hadir merumput di SUGBK.
Lepas laga persahabatan antara Argentina kontra Australia di Beijing, China pada 15 Juni 2023, Messi memastikan takkan datang ke Indonesia. Alasannya, ingin berlibur dengan keluarganya. Selain Messi, dua punggawa utama Argentina lain juga absen: Ángel Di María dan Nicolás Otamendi.
“Sejak awal kan kita pertandingan tim nasional Indonesia dan tim nasional Argentina. Kalau timnas Indonesia sama Messi saja berarti pertandingan tim nasional dan Messi All-Stars. Beda,” ujar Ketum PSSI Erick Thohir di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 13 Juni 2023.
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
Hal senada diungkapkan coach STY pada kesempatan berbeda. Kendati skuad Argentina yang ditukangi Lionel Scaloni merotasi timnya, tetap saja sistem dan permainan Argentina takkan berubah.
“Meski ada rotasi, sebetulnya sama saja. Mereka tim kuat. Semua main di luar negeri. Tidak ada Messi dan Di María juga mereka tetap tim terbaik di dunia,” tutur STY, dikutip laman PSSI, Minggu (18/3/2023).
Perbedaan lain, laga hari ini sekadar laga persahabatan, sedangkan duel Indonesia vs Argentina empat dekade silam justru jadi ajang pembuktian Maradona yang sempat ditinggal dalam skuad Argentina di Piala Dunia 1978. Pun buat entrenador (pelatih) César Luis Menotti, ajang tersebut jadi pembuktiannya bahwa trofi Piala Dunia 1978 yang diraih di negeri sendiri bukan sekadar keberuntungan.
“Setahun setelah kemenangan Piala Dunia 1978 jadi momen Menotti membuktikan diri bahwa Piala Dunia (1978) bukan keberuntungan, makanya dia ambil tugas kepelatihan di skuad yunior di Kejuaraan Dunia Yunior FIFA 1979 di Jepang,” tulis Andreas Campomar dalam ¡Golazo!: A History of Latin American Football.
Baca juga: Mengenang Aksi Maradona di Jakarta
Di Piala Dunia 1978, Menotti tak memasukkan nama Maradona di daftar skuad. Padahal, sebelumnya Maradona yang berusia 16 tahun kala itu sudah melakoni debut di timnas senior pada 27 Februari 1977 di laga persahabatan kontra Hungaria.
Menotti beralasan Maradona masih terlalu muda. Maradona pun amat kecewa.
“Saya pikir, saya siap bermain di Piala Dunia 1978. Saat tahu tidak terpilih, saya menangis hebat. Saya tak pernah dan tak akan mau memaafkan Menotti gara-gara itu. Tetapi saya tidak membencinya. Tidak memaafkan bukan berarti membenci. Namun terlepas dari hal itu saya juga takkan pernah melupakan bimbingan-bimbingannya yang bijak kepada saya selama ini,” kata Maradona dalam otobiografinya, Yo Soy el Diego.
Kendati keputusan Menotti itu jadi kontroversi, Menotti punya “kekuasaan” absolut. Keputusannya tiada bisa diganggu-gugat lantaran ia diberi kepercayaan penuh oleh diktator juta militer sayap kanan yang berkuasa, Jorge Videla.
“Junta militer memberi Menotti semua hal yang ia inginkan selama ia memimpin tim nasional (Argentina). Dia juga yang mewanti-wanti agar tidak satu pun pemain berkarier di luar negeri sampai akhir Piala Dunia 1978, terkecuali untuk Mario Kempes karena ia sudah keburu meneken kontrak dengan Valencia (La Liga Spanyol),” tulis jurnalis senior Guillem Balagué dalam Maradona: The Boy. The Rebel. The God.
Namun kekecewaan Maradona seketika mereda saat ia dipilih Menotti ke skuad Argentina di Kejuaraan Dunia Yunior FIFA 1979. Tidak hanya jadi andalan, Menotti mempercayakan ban kapten kepada Maradona.
Maradona pun tak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan padanya. Dengan kepercayaan diri tinggi, ia memimpin rekan-rekannya menggilas tiga kontestan di Grup B.
“Ini akan menjadi turnamenmu dan seluruh dunia akan jadi saksinya!” cetus Menotti memompa semangat Maradona, dikutip Matt dan Tom Oldfield dalam Maradona: Classic Football Heroes.
Maradona juga menularkan semangat itu kepada rekan-rekannya. “Jika tim senior bisa memenangkan Piala Dunia, kita pun juga bisa!” ujar sang bintang.
Perjalanan Maradona dkk. bermula dengan menggilas Indonesia, 5-0. Maradona menyumbangkan dua gol, sementara Ramón Díaz menceploskan tiga gol ke gawang Endang Tirtana. Mundari Karya yang ditugasi coach Soetjipto untuk mengawal Maradona, tak bisa berbuat banyak.
“Mundari Karya dilatih khusus untuk mengawal Maradona. Di tengah main, pelatih kita menegur Mundari. Mundari berdalil, ‘Mas, mukanya sama semua.’ Padahal kan ada nomornya (Nomor 10 Maradona),” sambung Bambang menirukan alasan rekannya.
Baca juga: Argentina dan Trofi yang Dirindukan
Di laga berikutnya, Argentina menekuk Yugoslavia, 1-0; dan menghajar Polandia, 4-1. Mereka lolos ke perempatfinal sebagai juara grup untuk kemudian bersua Aljazair yang dianggap Menotti jadi ujian Argentina sesungguhnya.
“Baiklah, laga-laga berat akan dimulai sekarang!” seru Menotti yang kembali menyuntikkan spirit ke para pemainnya.
Argentina melewati Aljazair dengan superior via kemenangan 5-0. Pun di semifinal, di mana Maradona cs. ditantang Uruguay. Lagi-lagi Ramón Díaz dan Maradona menunjukkan tajinya dengan masing-masing menyumbang sebutir gol untuk kemenangan 2-0 Argentina. Menyisakan Uni Soviet sebagai “raja terakhir” untuk dihadapi di partai final di Stadion Nasional Tokyo, 7 September 1979.
“Apa alasan kamu semua datang ke Jepang? Saya berangkat ke Jepang untuk jadi juara dunia, bukan finis kedua (runner-up). Bangunlah, Argentina! Mari kita bermain dan menghibur 35 ribu penonton Jepang di tribun stadion” seru Menotti jelang laga final.
Ekspektasi itu pun jadi kenyataan. Maradona cs. pulang dengan buah tangan trofi juara. Lewat 90 menit laga sengit, Argentina membekuk Uni Soviet, 3-1. Maradona juga menyetor salah satu gol kemenangan.
“Kalian semua sudah memenuhi ekspektasi saya,” tukas Menotti yang bangga akan prestasi anak-anak asuhnya.
Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona
Tambahkan komentar
Belum ada komentar