Fernando Signorini "Si Buta" yang Setia Dampingi Maradona
Pelatih pribadi Diego Maradona berjuluk “Si Buta”. Setia mendampingi dalam suka maupun duka.
SUATU pagi di Stadio San Paolo pada musim panas 1985 jelang musim Serie A 1985-1986. Sejumlah pemain SSC Napoli berlatih skema permainan di setengah bidang lapangan. Namun sang bintang Diego Maradona tak ikut. Ia mengkhususkan diri latihan untuk menggenjot stamina di trek lari.
Seiring Maradona mengayunkan kaki melintasi trek lari, sesosok pria kurus berkaus kuning, Fernando Signorini, dengan cermat menghitung waktu di jam tangan digitalnya. Setelah mencatatkan sesuatu di buku kecilnya usai Maradona selesai satu putaran, Signorini mengecek denyut nadi di leher Maradona. Begitu seterusnya hingga Maradona tumbang kelelahan.
“Fernando Signorini, seorang master, seorang jenius. Fernando tidak hanya mengajarkan caranya berlatih kepada saya tetapi juga bagaimana caranya melatih pikiran saya,” kata Maradona dalam narasi yang mengiringi footage yang turut disajikan dalam film dokumenter Diego Maradona: Rebel, Hero, Hustler, God (2019).
Lantas, siapakah Signorini?
“Si Buta” yang Setia
Walaupun tak punya bakat sepakbola sedari lahir, Signorini tak mau jauh dari olahraga paling populer itu. Maka sejak muda pria kelahiran Lincoln, Buenos Aires, Argentina pada 7 Desember 1950 itu sudah bercita-cita jadi pelatih di dunia sepakbola.
Di perguruan tinggi, Signorini memilih program studi pendidikan fisik. Karier Signorini mulai dikenal kalangan sepakbola Argentina setelah jadi teman dekat César Luis Menotti, pelatih Timnas Argentina ketika menjuarai Piala Dunia 1978, kala sang pelatih menukangi Barcelona (1983-1984).
“Saat sedang di Barcelona, saya ingin menyaksikan sesi latihan tetapi tak bisa dapat akses. Sampai akhirnya ada seorang teman yang mengenali saya dan memberikan akses masuk. Dia yang mengenalkan saya kepada César. Sejak saat itu pintu (stadion) Camp Nou selalu terbuka bagi saya kapan pun saya mau datang,” tutur Signorini dalam wawancaranya dengan NTR Guadalajara, 12 September 2016.
Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona
Saat itu Signorini sudah mengenal Maradona. Perkenalan keduanya terjadi saat Maradona sedang dalam perawatan akibat cedera engkel kiri pada September 1983. Keduanya kian akrab lantaran istri Signorini adalah instruktur tenis Claudia Villafañe (pacar Maradona) dan Lalo (adik Maradona). Pada suatu kesempatan, Claudia mengundang Signorini dan istrinya untuk bertandang ke rumah Maradona ketika sang pemain tengah dalam masa pemulihan.
“Di saat itu juga Signorini ditawari pekerjaan sebagai pelatih pribadi Maradona melalui rekomendasi Claudia. Signorini mengatakan: ‘Saya bilang ke Diego jika merekrut seorang yang belum lama dikenal seperti saya sebagai pelatih pribadi, justru akan membuatnya terbuka pada kritik. Dia bilang tidak peduli dan dia butuh saya. Saya terkesima. Dia menawarkan pekerjaan yang paling diperebutkan semua orang,’” ungkap Jimmy Burns dalam Maradona: The Hand of God.
Baca juga: Lima Pelatih Barcelona dari Belanda
Sempat minta waktu untuk berpikir, Signorini akhirnya setuju mendampingi Maradona. Dia bahkan bersedia mengambil pekerjaan itu sampai durasi panjang tanpa hitam di atas putih.
“Dia menawarkan saya untuk menandatangani sebuah kontrak dan saya katakan, ‘tidak.’ Karena pekerjaan ini butuh hubungan dengan tingkat kejujuran yang besar, kesetiaan yang besar, jadi kami menghabiskan hampir 11 tahun tanpa menandatangani apapun dan tanpa harus mengklaim sesuatu di antara kami,” imbuh Signorini.
“Si Buta” di Balik Kebintangan Maradona
Selain berkat dokter tim, pemulihan fisik Maradona bisa lebih cepat berkat latihan-latihan kebugaran yang diberikan Signorini. Maka meski cedera parah, Maradona sudah bisa kembali merumput tiga bulan kemudian.
Ketika Maradona hijrah ke Napoli, Signorini sebagai pelatih pribadi turut serta. Berkat tangan dingin Signorinilah Maradona mengalami transformasi fisik dan stamina untuk menghadapi gaya permainan di Italia yang masih asing bagi Maradona.
“Saya memulai persiapan diri secara fisik –saya paham bahwa untuk menang di sepakbola Italia, saya butuh (kondisi) tubuh yang berbeda. Bek-bek Italia tidaklah seperti bek-bek Spanyol. Saya harus beradaptasi secara perlahan dan di situlah peran pelatih fisik saya, Fernando Signorini, menjadi krusial. Saya memanggilnya dengan sebutan ‘El Ciego’ (si buta) karena dia tak bisa melihat seekor sapi di dalam kamar mandi, tetapi dia tahu lebih banyak tentang latihan fisik dari orang lain,” sambung Maradona dalam otobiografinya.
Baca juga: Diego Maradona dalam Kenangan
Perlahan, Maradona mulai paham bagaimana cara menyimpan tenaga untuk memaksimalkan tekniknya. Setelah tiga laga pertama berseragam Napoli berakhir dengan hasil buruk, perlahan Maradona mulai mampu menaklukkan bek-bek Italia yang terkenal tangguh lagi keras.
“Sepakbola Italia dimainkan dengan ritme berbeda. Permainannya lebih keras. Saya harus beradaptasi, menemukan kecepatan yang berbeda dan timing yang tepat. Saya harus bisa menyimpan tenaga. Karena jika saya berlari cepat maka teknik saya takkan berguna. Saya harus menemukan keseimbangan yang tidak mudah,” tambahnya.
Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina
Hasil bimbingan Signorini sangat kentara di musim kedua Maradona. Sang bintang mengantarkan Napoli bertengger di urutan ketiga klasemen akhir Serie A 1985-1986. Maradona pun langsung jadi pujaan publik Italia.
Namun di sisi lain, Maradona mulai sering foya-foya di kehidupan malam. Dia juga makin kecanduan kokain setelah punya hubungan dekat dengan mafia dari keluarga Giuliano.
Pada titik itulah Signorini melihat anak asuhnya seolah punya kepribadian ganda, antara Diego dan Maradona. Signorini insyaf bahwa dia harus “menetralisir” fisik Maradona yang sudah tercemar narkoba dan memperbaiki gaya hidupnya serta pikirannya yang tak sehat jelang Piala Dunia 1986. Terlebih, pikiran Maradona mulai terusik kabar bahwa pasangan selingkuhannya, Cristiana Sinagra, mengandung anak Maradona.
“Di musim kedua peta sepakbola Italia mulai berubah. Napoli berada di posisi tiga klasemen liga dan Diego sudah jadi penyerang top. Akan tetapi saya ingin memberi pengertian ke dalam kepalanya bahwa target utamanya adalah Piala Dunia. Ketika berangkat ke Meksiko Diego juga sudah tahu kehamilan Cristiana. Itu sangat mengganggu pikirannya. Beruntung, saya dibantu ayah Diego yang membuat Diego tetap bisa fokus,” ujar Signorini.
Baca juga: Arsene Wenger dan Lima Pelatih Terawet Sejagat
Di Piala Dunia 1986, Maradona diistimewakan pelatih Timnas Argentina Carlos Bilardo. Selain diperbolehkan tetap ditemani Signorini, dia juga diizinkan membawa terapisnya, Victor Galindes.
“Sementara pemain lainnya menjalani program latihan ketat seperti biasanya, termasuk aturan istirahat dan jam rekreasi, Maradona diperbolehkan didampingi Signorini dan Galindes, serta izin untuk melakukan latihan yang fleksibel sesuai kebutuhannya demi menjaga pikiran positifnya. Bilardo mengatakan: ‘Saya sadar sedari awal bahwa dia harus menjalani latihan yang beda dari yang lain. Di skuad, ada Maradona dan ada para pemain yang lain,’” tambah Burns.
Hasil penganakemasan Maradona tak sia-sia. Argentina dibawanya juara Piala Dunia 1986 setelah di final mengalahkan Jerman Barat 3-2. Pencapaian Maradona makin sempurna ketika dia membawa Napoli meraih gelar pertamanya di Liga Italia pada 1986-1987.
Publik Napoli pun dibuatnya bangga. Maradona makin “disembah”.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Namun, pujian besar itu membuat Maradona makin terlena. Selain hura-hura, dia kian dalam masuk ke lingkaran setan narkoba. Hal itu membuat Signorini khawatir pada anak asuhnya.
“Sudah lama saya menyadari ada sosok Diego dan ada Maradona. Pemujaan terhadapnya membuatnya tidak nyaman. Dia merasa masih sebagai Diego, anak miskin dari Villa Fiorito. Tetapi dengan pemujaan seperti itu, (sosok) Maradona harus mengambil alih. Tetapi makin jelas lewat perilakunya bahwa kokain juga makin mempengaruhinya. Saya bilang padanya bahwa dia butuh bantuan. Maka saya bersama Claudia mendatangi sebuah klinik rehabilitasi. Saya juga melaporkan hal ini kepada Presiden (Napoli, Corrado) Ferlaino,” ujar Signorini.
Pekerjaan berat Signorini kian bertambah karena dia dituntut memulihkan kondisi fisik Maradona jelang Piala Dunia 1990 dan Piala Dunia 1994. Akibatnya, Signorini sampai harus membawa Maradona ke sebuah tempat terpencil di Argentina jelang persiapan ke Piala Dunia 1994.
“Saya memilih sebuah tempat terpencil itu demi menggenjot semangat spartannya. Lokasinya tak punya TV yang bagus dan tanpa air panas. Satu-satunya kemewahannya sekadar radio kecil untuk mendengarkan musik dan siaran sepakbola. Saya ingat bicara pada Diego setibanya di tempat itu, jika dia ingin jadi pemain top lagi, dia harus mulai dari bawah, dari tempat seperti Villa Fiorito demi memiliki rasa lapar lagi,” lanjutnya.
Baca juga: Argentina dan Trofi yang Dirindukan
Sial, di Piala Dunia 1994 pascalaga penyisihan Grup D kontra Nigeria, 25 Juni 1994, Maradona tak lolos drug test dan dinyatakan positif terkandung zat terlarang di sampel urinenya.
“Bukan hal mengejutkan urinenya mengandung jejak kokain. Semua orang sudah tahu kecanduannya. Tetapi otoritas sepakbola melihat hal itu sebagai kesempatan sempurna untuk menyingkirkannya,” kenang Signorini.
Ketika Signorini menyampaikan kabar bahwa Maradona disanksi, bukan main terpukulnya sang bintang. Di kamarnya di Babson College, Boston, Maradona tak berhenti meringkuk dan menangis histeris di lantai kamar mandi.
“Ibarat dunia Diego runtuh seketika. Dia menangis dari jiwanya yang terdalam, benar-benar tak terkendali,” ujar Signorini mengingat momen itu.
Sejak saat itu, kebintangan Maradona memudar. Setelah publik Italia di Piala Dunia 1990, kini seluruh dunia mulai membenci Maradona.
Kendati begitu, Signorini setia di sisi Maradona. Dia terus mendampinginya sampai Maradona mengakhiri kariernya di Boca Juniors 1997.
“Kehidupan Diego penuh hal luar biasa dan juga hal buruk. Diego tidak ada hubungannya dengan Maradona. Tetapi Maradona menyeret Diego ke mana-mana,” tandas Signorini.
Baca juga: Klenik di Balik Final Piala Dunia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar